Jumat, 12 Februari 2016

RESPIRASI



BAB I
PENDAHULUAN

A.        Latar Belakang
Ayat Al Qur'an berkaitan dengan Ilmu Fisiologi Respirasi, semoga bermanfaat: “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. ”(QS.Al An’am : 125). Pada ayat ini terdapat korelasi yang konkrit dengan ilmu fisiologi (fungsi-fungsi organ tubuh). Dimana didalam ilmu fisiologi respirasi kita ketahui bahwa minimnya tekanan udara dan oksigen terjadi setiap kali bertambah ketinggian seseorang dari permukaan bumi. Keadaan ini menyebabkan kesempitan dan kesulitan pada dada untuk bernafas (sesak nafas).
Pernafasan merupakan upaya memasukkan dan mengeluarkan udara ke/dari dalam paru-paru, selain itu juga melibatkan proses pertukaran gas yang meliputi pengambilan oksigen dari lingkungan dan pembuangan karbon dioksida ke lingkungan. Pertukaran gas ini terjadi antara udara dalam paru-paru dan darah, serta antara darah dan sel-sel.
Bernafas bisa diartikan sebagai suatu proses menghirup udara dan menghembuskan udara. Udara yang diperlukan untuk melakukan pernafasan adalah udara yang banyak mengandung oksigen. Sementara itu, udara yang kita hembuskan adalah berupa karbondioksida dan uap air dari sisa-sisa metabolisme yang terjadi di dalam tubuh kita. Udara yang masuk ke dalam tubuh kita akan digunakan oleh tubuh kita untuk melakukan proses oksidasi biologis, yaitu proses pemecahan molekul gula yang diuraikan menjadi molekul yang sederhana sehingga diperoleh energi uap air dan karbondioksida.
Pernafasan pada manusia, tidak terjadi secara langsung, artinya udara yang diperlukan untuk proses pernafasan tidak berdifusi melalui kulit, melainkan melalui perantara alat-alat pernafasan. Difusi udara pernafasan baru akan terjadi pada gelembung paru-paru (Alveolus).
Energi penting bagi aktivitas sel yang ditujukan untuk mempertahankan hidup, misalnya sintesis protein dan transportasi aktif menembus membran plasma. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan O2  secara kontinu untuk menunjang reaksi-reaksi kimia yang menghasilkan energi. CO2 yang dihasilkan oleh reaksi-reaksi tersebut harus dieliminasi dari tubuh dengan kecepatan yang sama dengan pembentukannya agar tidak terjadi fluktuasi pH yang berbahaya (yaitu, untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa), karena CO2 menghasilkan asam karbonat.

B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka secara garis besar dapat disusun beberapa rumusan masalah yang akan dibahas di dalam makalah ini antara lain:
1.        Apa definisi dari pernafasan?
2.        Mengetahui organ-organ pada sistem pernafasan manusia?
3.        Bagaimanakah proses sistem pernafasan manusia?
4.        Bagaimanakah mekanisme sistem pernafasan pada manusia?
5.        Bagaimanakah pertukaran gas pernafasan manusia?
6.        Bagaimanakah transportasi gas pernafasan manusia?
7.        Bagaimanakah kontrol pernafasan manusia?
8.        Bagaimanakah dampak penyakit dari sistem pernafasan manusia?
9.        Bagaimanakah cara mengatasi penyakit pada sistem pernafasan pada manusia?
10.    Lks dan jawaban?
11.    Apa saja miskonsepsi yang terdapat pada materi sistem pernafasan?
12.    Video mengenai sistem pernafasan pada manusia?
C.        Tujuan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah
1.        Untuk mengetahui definisi dari pernafasan pada manusia.
2.        Untuk mengetahui organ-organ pada pernafasan manusia.
3.        Untuk memahami proses sistem pernafasan manusia.
4.        Untuk memahami mekanisme sistem pernafasan manusia.
5.        Untuk memahami pertukaran gas pernafasan manusia.
6.        Untuk memahami transportasi gas pernafasan manusia.
7.        Untuk mengetahui kontrol pernafasan manusia.
8.        Untuk mengetahui dampak penyakit pada sistem pernafasan manusia.
9.        Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi penyakit pada pernafasan manusia.
10.    Untuk mengetahui miskonsepsi pada materi pernafasan manusia.

E.        Manfaat
Dengan membaca makalah ini diharapkan ada tambahan pengetahuan dan  akan mempunyai gambaran yang utuh tentang sistem pernafasan manusia serta beberapa diantaranya penyakit yang diderita pada pernafasan manusia serta bagaimana cara mengatasi penyakit yang diderita pada pernafasan manusia. Dan mampu mengembangkannya kembali sebagai bahan dalam proses belajar mengajar di kelas atau  di sekolah masing-masing.
 
BAB II
PEMBAHASAN

2. Pengertian Pernafasan
Pernafasan merupakan sebagai suatu proses menghirup udara dan menghembuskan udara. Udara yang diperlukan untuk melakukan pernafasan adalah udara yang banyak mengandung oksigen. Sementara itu, udara yang kita hembuskan adaalah berupa karbondioksida dan uap air dari sisa-sisa metabolisme yang terjadi di dalam tubuh kita. Udara yang masuk ke dalam tubuh kita akan digunakan oleh tubuh kita untuk melakukan proses oksidasi biologis, yaitu proses pemecahan molekul gula yang diuraikan menjadi molekul yang sederhana sehingga diperoleh energi uap air dan karbondioksida.
2.1. Sistem pernafasan tidak berpartisipasi dalam semua langkah Respirasi
            Fungsi utama pernafasan adalah untuk memperoleh O2 agar dapat digunakan oleh sel-sel tubuh dan mengeliminasi CO2 yang dihasilkan oleh sel. Sebagian besar orang menganggap bahwa pernafasan sebagai proses menarik dan mengeluarkan nafas. Namun, dalam fisiologi, pernafasan memiliki makna yang lebih luas. Respirasi internal atau seluler mengacu kepada proses metabolisme intrasel yang berlangsung di dalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan menghasilkan CO2 ­­selama penyerapan energi dari molekul nutrien. Kuosien pernafasan (respiratory quotient, R.Q) yaitu perbandingan rasio CO yang dihasilkan terhadap O2 yang dikonsumsi. Jika yang digunakan adalah karbohidrat, RQ adalah 1, yaitu setiap molekul O2 ­yang dikonsumsi, dihasilkan satu molekul CO: C­6­­12­­­+ 6CO­+ 6H­O+ ATP. Untuk pemakaian lemak, RQ adalah 0,7; untuk protein 0,8. Untuk makanan yang lazim dikonsumsi di Amerika Serikat mengandung­­ campuran ketiga nutrein tersebut, konsumsi O­ istirahat rata-rata adalah sekitar 250 ml/menit, dan CO yang dihasilkan rata-rata adalah 200 ml/menit, untuk RQ rata-rata 0,8.
            Repirasi eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam pertukaran O2 dan CO antara lingkungan eksternal dan sel tubuh seperti pada Gambar 2.1.1 Pernafasan eksternal meliputi:
  1. Udara secara bergantian bergerak masuk-keluar paru sehingga dapat terjadi pertukaran antara atmosfer (lingkungan eksternal) dan kantung udara (alveolus) paru. Pertukaran ini dilaksanakan oleh kerja mekanis pernafasan atau ventilasi. Kecepatan pernafasan diatur sedemikian rupa, sehingga aliran udara antara atmosfer dan alveolus disesuaikan dengan kebutuhan metabolik tubuh untuk menyerap O2 ­­dan mengeluarkan CO2­­.
  2. O2 dan CO antara udara di alveolus dan darah di dalam kapiler pulmonalis melalui proses difusi.
  3. O2 dan CO diangkut oleh darah antara paru dan jaringan.
  4. Pertukaran O2 dan CO terjadi antara jaringan dan darah melalui proses difusi melintasi kapiler sistemik (jaringan).

Gambar 2.1.1 Pernafasan Eksternal dan Internal
Sumber: Sherwood. 2001: 412

Sistem pernafasan tidak melakukan keempat langkah pernafasan tersebut, sistem ini hanya terlibat dengan ventilasi dan pertukaran O2 dan CO2 ­antara paru dan darah. Sistem sirkulasi menjalankan proses pernafasan selanjutnya.
            Sistem pernafasan juga melakukan fungsi nonrespirasi sebagai berikut:
Ø  Menyediakan jalan untuk mengeluarkan air dan panas. Udara atmosfer yang dihirup dilembabkan dan dihangatkan oleh jalan napas sebelum udara tersebut dikeluarkan. Pelembaban udara yang dihirup ini penting dilakukan agar dinding alveolus tidak mengering. O2 dan CO tidak dapat berdifusi melintasi membran yang kering.
Ø  Meningkatkan aliran balik vena.
Ø  Berperan dalam memelihara keseimbangan asam basa normal dengan mengubah jumlah CO2 penghasil asam (H­) yang dikeluarkan.
Ø  Memungkinkan kita bicara, menyanyi, dan vokalisasi lain.
Ø  Mempertahankan tubuh dari invasi bahan asing.
Ø  Mengeluarkan, memodifikasi, mengaktifkan, atau mengaktifkan berbagai bahan yang melewati sirkulasi paru. Semua darah yang kembali ke jantung dari jaringan harus melewati paru sebelum dikembalikan ke sirkulasi sistemik. Paru, dengan demikian, memiliki letak yang unik untuk secara parsial atau total menyingkirkan bahan-bahan tertentu yang telah ditambahkan ke dalam darah di tingkat jaringan sebelum bahan-bahan tersebut memiliki kesempatan mencapai bagian tubuh lain melalui sistem arteri. Sebagai contoh, prostaglandin, sekumpulan zat perantara kimiawi yang dikeluarkan oleh banyak jaringan untuk memperantarai respon lokal tertentu dapat tumpah ke dalam darah tetapi dinonaktifkan pada saat melewati paru, sehingga zat-zat tersebut tidak menimbulkan efek sistemik. Di pihak lain, paru mengaktifkan angiotensi II, suatu hormon yang berperan penting dalam mengatur konsentrasi Na+ ­­di cairan ekstrasel.
Ø  Hidung, bagian sistem pernafasan berfungsi sebagai organ penghirup.
2.2. Saluran Pernafasan Menyalurkan Udara antara Atmosfer dan  Alveolus
Sistem pernafasan mencakup saluran pernafasan yang berjalan ke paru- paru itu sendiri, dan struktur toraks (dada) yang terlibat menimbulkan gerakan udara masuk-keluar paru melalui saluran yang mengangkut udara antara atmosfer dan alveolus, tempat terakhir yang merupakan satu-satunya tempat pertukaran gas-gas antara udara dan darah dapat berlangsung seperti Gambar 2.1.2 Saluran pernafasan berawal di saluran hidung (nasal). Saluran hidung berjalan ke faring (tenggorokan), yang berfungsi sebagai saluran bersama bagi sistem pernafasan maupun sistem pencernaan. Terdapat dua saluran yang berjalan dari faring ke trakea (windpipe), tempat lewatnya udara ke paru, dan esofagus, saluran tempat lewatnya makanan ke lambung. Udara dalam keadaan normal masuk ke faring melalui hidung, tetapi udara juga dapat masuk melalui mulut jika hidung bisa tersumbat. Jadi jika anda dapat bernafas melalui mulut sewaktu anda terkena pilek. Karena faring berfungsi sebagai saluran bersama untuk makanan dan udara, terdapat mekanisme-mekanisme refleks untuk menutup trakea selama proses menelan, sehingga makanan masuk ke esofagus dan tidak ke saluran nafas. Esofagus tetap tertutup, kecuali sewaktu menelan, untuk mencegah udara masuk ke lambung sewaktu kita bernafas.
Laring (kota suara) yang terletak di pintu masuk trakea memiliki penonjolan di bagian anterior yang membentuk jakun (adams apple). Pita suara, dua pita jaringan elastik yang terentang di bukaan laring, dapat diregangkan dan diposisikan dalam berbagai bentuk oleh otot-otot laring. Pada saat udara mengalir melewati pita suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar untuk menghasilkan bermacam-macam bunyi. Lidah, bibir, dan langit-langit lunak memodifikasi bunyi menjadi pola-pola suara mengambil posisi rapat satu sama lain untuk menutup pintu masuk ke trakea.
Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri yang masing-masing masuk ke paru kanan dan kiri. Di dalam setiap paru, bronkus terus bercabang-cabang menjadi saluran nafas yang semakin sempit, pendek, dan banyak seperti percabangan pohon. Cabang kecil di kenal sebagai bronkiolus. Di ujung-ujung bronkiolus terkumpul alveolus, kantung udara kecil tempat terjadinya pertukaran gas-gas antara udara dan darah.
Agar udara dapat masuk-keluar bagian paru tempat terjadinya pertukaran gas tersebut, keseluruhan saluran pernafasan dari pintu masuk melalui bronkiolus terminal ke alveolus harus tetap terbuka. Trakea dan bronkus besar merupakan saluran yang tidak berotot dan cukup kaku yang dikelilingi oleh serangkaian cincin tulang rawan yang mencegah kompresi saluran tersebut. Bronkiolus yang lebih kecil tidak memiliki tulang rawan yang dapat menahan tetap terbuka. Dinding bronkiolus mengandung otot polos yang dipersyarafi oleh sistem saraf otonom dan peka terhadap hormon dan zat kimia lokal tertentu. Faktor-faktor ini, dengan mengubah-ubah derajat kontraksi otot polos bronkiolus (serat kaliber saluran pernafasan halus ini), mampu mengatur jumlah udara yang mengalir antara atmosfer dan setiap kelompok alveolus.
2.3 Alveolus Tempat Pertukaran Gas adalah Suatu Kantung Udara Kecil, Berdinding Tipis, dan dapat Mengembang yang Dikelilingi oleh Kapiler Paru
Paru memiliki struktur ideal untuk melaksanakan fungsinya melakukan pertukaran gas. Menurut hukum difusi fick, semakin pendek jarak yang ditempuh melewati tempat difusi terjadi, semakin tinggi kecepatan difusi (Campbell. 2004: 62). Demikian juga, semakin besar luas permukaan tempat berlangsungnya difusi, semakin tinggi kecepatan difusi.
Alveolus adalah kantung udara berdinding tipis, dapat mengembang, dan berbentuk seperti anggur yang terdapat di ujung percabangan saluran pernafasan sepertti Gambar 2.3.1 Dinding alveolus terdiri dari satu lapisan sel alveolus tipe 1 yang gepeng. Jaringan padat kapiler paru yang mengelilingi setiap alveolus juga hanya setebal satu lapisan sel. Ruang interstisium antara alveolus dan jaringan kapiler di sekitarnya membentuk suatu sawar yang sangat tipis dengan ketebalan 0,2 µm yang memisahkan udara di dalam alveolus dan darah di dalam kapiler paru. Ketipisan sawar tersebut mempermudah pertukaran gas.
Selain itu, pertemuan udara-darah di alveolus membentuk permukaan yang sangat luas untuk pertukaran gas. Di paru terdapat sekitar 300 juta alveolus, masing-masing bergaris tengah sekitar 300 µm(1/3 mm). Sedemikian padatnya jaringan kapiler paru sehingga setiap alveolus dikelilingi oleh suatu lapisan darah yang hampir kontinu. Dengan demikian luas permukaan total paru sekitar 75 m2. Sebaliknya, apabila paru terdiri dari hanya sebuah ruang berongga dengan ukuran sama dan tidak terbagi-bagi menjadi satuan-satuan alveolus yang sangat banyak tersebut, luas permukaan totalnya hanya akan mencapai 1/100 m2.
Selain sel tipe 1 yang tipis dan membentuk dinding alveolus, epitel alveolus juga mengandung sel alveolus tipe 2 yang merupakan surfaktan paru, suatu kompleks fosfolipoprotein yang mempermudah pengembangan (ekspansi) paru. Di dalam lumen kantung udara juga terdapat makrofag alveolus untuk pertahanan tubuh.
Di dinding alveolus terdapat pori-pori kohn berukuran kecil yang memungkinkan aliran udara antara alveolus-alveolus yang berdekatan, suatu proses yang dikenal sebagai ventilasi kolateral. Saluran-saluran ini penting untuk mengalirkan udara segar ke suatu alveolus yang salurannya tersumbat akibat penyakit.
Gambar 2.3.1. Alveolus
Sumber: Sherwood. 2001: 414

2.4. Paru Menempati sebagian Besar Rongga Toraks
Terdapat dua buah paru, masing-masing dibagi menjadi beberapa lobus dan dipasok oleh satu bronkus. Jaringan paru itu sendiri terdiri dari serangkaian saluran nafas yang bercabang-cabang, yaitu alveolus, pembuluh darah paru, dan sejumlah besar jaringan ikat elastik. Satu-satunya otot di dalam paru adalah otot polos di dinding arteriol dan bronkiolus, keduanya dapat dikontrol. Tidak terdapat otot di dalam dinding alveolus yang menyebabkan alveolus mengembang atau menciut selama proses bernafas. Perubahan volume paru ditimbulkan oleh perubahan dimensi-dimensi toraks (Tim Penyusun Karya Pembina. 2011: 58).
Paru menempati sebagian besar volume rongga toraks (dada), struktur lain yang terdapat di dalamnya hanyalah jantung dan pembuluh-pembuluh terkait, esofagus, timus, dan beberapa saraf. Dinding dada luar (toraks) dibentuk dari 12 pasang iga yang melengkung dan menyatu di strenum (tulang dada) di sebelah anterior dan vertebra torakalis (tulang punggung) di posterior. Sangkar iga membentuk tulang pelindung bagi paru dan jantung. Diafragma yang membentuk dasar (lantai) rongga toraks, adalah lembaran besar otot rangka berbentuk kubah yang memisahkan secara total rongga toraks. Diafragma hanya ditembus oleh esofagus dan pembuluh darah yang melintas di antara rongga toraks dan abdomen. Rongga toraks ditutup di daerah leher oleh otot-otot dan jaringan ikat. Satu-satunya komunikasi toraks dan atmosfer adalah melalui saluran pernafasan ke dalam alveolus. Seperti paru, dinding dada mengandung sejumlah besar jaringan ikat elastik.
2.5.Terdapat Kantung Pleura yang Memisahkan Paru dari Dinding Dada
Terdapat kantung tertutup berdinding ganda yang disebut kantung pleura (pleura sac) seperti Gambar 2.5.1 yang memisahkan tiap-tiap paru dari dinding toraks dan struktur di sekitarnya. Dalam ilustrasi, ukuran rongga pleura di dalam kantung sangat diperbesar untuk mempermudah visualisasi, pada kenyataannya lapisan-lapisan kantung pleura berkontak satu sama lain. Permukaan pleura mengeluarkan cairan intrapleura encer yang membasahi permukaan pleura sewaktu kedua permukaan saling bergeser satu sama lain saat gerakan bernafas. Pleuritis (pleurisy), peradangan kantung pleura menyebabkan rasa nyeri sewaktu bernafas karena setiap pengembangan atau penciutan paru menyebabkan “friction rub”.
Gambar 2.5.1 Kantung Pleura
Sumber: Sherwood. 2001: 415
3. Organ-organ pada sistem pernafasan manusia
3.1. Hidung
Hidung terdiri dari bagian internal dan bagian external. Bagian external adalah bagian yang menonjol ke depan wajah, lebih kecil bila dibandingkan dengan bagian internalnya yang terletak diatas atap mulut. Interior hidung merupakan lubang dan dipisahkan oleh septum nasi menjadi cavum sinister dan dexter. Hidung berfungsi sebagai jalan lewat udara dari dan menuju paru, menyaring udara dan menghangatkan, membasahkan, dan uji kimia substansi yang mungkin melukai selaput mukosa saluran pernafasan, juga berfungsi sebagai organ pembau, karena reseptor olfaktorius terletak di dalam mukosa hidung dan ikut membantu dalam bersuara.
3.2. Faring
Pernafasan berawal di saluran hidung (nasal) Saluran hidung berjalan ke  tenggorokan (Faring) , yang berfungsi sebagai saluran bersama bagi sistem pernafasan maupun sistem pencernaan. Pada faring juga di gunakan sebagai alat artikulasi bunyi, juga terdapat organ sexsual sekunder pada pria atau sering dikenal dengan jakun.  Terdapat dua saluran yang berjalan dari faring ke trakea (windpipe), tempat lewatnya udara ke paru, dan esofagus, saluran tempat lewatnya makanan ke lambung. Udara dalam keadaan normal masuk ke faring melalui hidung, tetapi udara juga dapat masuk melalui mulut jika hidung bisa tersumbat. Jadi jika anda dapat bernafas melalui mulut sewaktu anda terkena pilek. Karena faring berfungsi sebagai saluran bersama untuk makanan dan udara, terdapat mekanisme-mekanisme refleks untuk menutup trakea selama proses menelan, sehingga makanan masuk ke esofagus dan tidak ke saluran nafas. Esofagus tetap tertutup, kecuali sewaktu menelan, untuk mencegah udara masuk ke lambung sewaktu kita bernafas. Karena faring berfungsi sebagai saluran pernafasan dan saluran pencernaan, karena baik udara maupun makanan harus melaluinya sebelum mencapai tujuannya, dan ia memainkan peranan penting dalam bersuara misalnya hanya dengan perubahan bentuk faring saja dapat berbeda suara yang dihasilkannya.
3.3. Laring
Laring yang terletak di pintu masuk trakea memiliki penonjolan di bagian anterior yang membentuk jakun (adams apple). Pita suara, dua pita jaringan elastik yang terentang di bukaan laring, dapat diregangkan dan diposisikan dalam berbagai bentuk oleh otot-otot laring. Antara faring dan tenggorokan terdapat struktur yang disebut laring. Laring merupakan tempat melekatnya pita suara. Pada saat kamu berbicara, pita suara akan mengencang atau mengendor. Fungsi laring untuk menghasilkan suara, nada yang dihasilkan ditentukan oleh panjang dan tegangan tali suara, memendeknya tegangan tali suara menghasilkan nada tinggi, sedangkan nada rendah karena tali suara relax. Beberapa struktur lain membantu laring dalam menghasilkan suara dengan adanya resonansi. Yaitu ukuran dan bentuk hidung, mulut, dan sinus tulang ikut membantu menentukan mutu suara. Suara dihasilkan apabila udara bergerak melewati pita suara dan menyebabkan terjadinya getaran. Pita suara pada laki-laki lebih panjang dibanding pita suara perempuan. Pada saat udara mengalir melewati pita suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar untuk menghasilkan bermacam-macam bunyi. Lidah, bibir, dan langit-langit lunak memodifikasi bunyi menjadi pola-pola suara mengambil posisi rapat satu sama lain untuk menutup pintu masuk ke trakea.
3.4. Trakea
 Trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri yang masing-masing masuk ke paru kanan dan kiri. Di dalam setiap paru, bronkus terus bercabang-cabang menjadi saluran nafas yang semakin sempit, pendek, dan banyak seperti percabangan pohon. Cabang kecil di kenal sebagai bronkiolus. Di ujung-ujung bronkiolus terkumpul alveolus, kantung udara kecil tempat terjadinya pertukaran gas-gas antara udara dan darah. Trakea tersusun atas empat lapisan, yaitu lapisan mukosa, lapisan submukosa, lapisan tulang rawan, dan lapisan adventitia. Lapisan mukosa terdiri atas sel-sel epitel berlapis semu bersilia yang mengandung sel goblet penghasil lendir (mucus). Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat. Lapisan tulang rawan terdiri atas kurang lebih 18 tulang rawan berbentuk huruf C. Lapisan adventitia terdiri atas jaringan ikat. Dinding trakea dilapisi oleh epitel berlapis banyak palsu bersilia. Epitel ini mensekresikan lendir di dinding trakea. Fungsi utamanya yaitu merupakan jalan satu-satunya bagi udara dari dan ke paru.
Trachea di bagian bawah dibagi menjadi dua yaitu bronchi primer, kiri dan kanan, yang kanan sedikit lebih besar dan lebih vertical dari yang kiri, inilah sebabnya mengapa seringkali benda asing tersangkut di brochi kanan. Strukturnya menyerupai struktur trachea. Setiap bronchi primer masuk paru pada sisi masing-masing dan segera dibagi menjadi cabang yang lebih kecil disebut brochi sekunder. Bronchi sekunder terus bercabang-cabang membentuk bronchioli.  Bronchioli bercabang terus menjadi saluran yang terus semakin kecil, akhirnya sampai pada cabang akhir mikroskopi yang dibagi menjadi ductus alveolaris, dan berakhir pada beberapa kantung alveol, yang terdiri dari banyak alveoli. Agar udara dapat masuk-keluar bagian paru tempat terjadinya pertukaran gas tersebut, keseluruhan saluran pernafasan dari pintu masuk melalui bronkiolus terminal ke alveolus harus tetap terbuka. Trakea dan bronkus besar merupakan saluran yang tidak berotot dan cukup kaku yang dikelilingi oleh serangkaian cincin tulang rawan yang mencegah kompresi saluran tersebut. Bronkiolus yang lebih kecil tidak memiliki tulang rawan yang dapat menahan tetap terbuka.
3.4. Bronkus
Setelah melalui trakea, saluran bercabang dua. Kedua cabang tersebut dinamakan bronkus. Setiap bronkus terhubung dengan paru-paru sebelah kanan dan kiri. Bronkus bercabang-cabang lagi, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus Perhatikan gambar 3.4. di bawah ini:
Gambar 3.4.
Dinding bronkus juga dilapisi lapisan sel epitel selapis silindris bersilia. Di sekitar alveolus terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah. Bronkus, bronkious, dan alveolus membentuk satu struktur yang disebut paru-paru. Dinding bronkiolus mengandung otot polos yang dipersyarafi oleh sistem saraf otonom dan peka terhadap hormon dan zat kimia lokal tertentu. Faktor-faktor ini, dengan mengubah-ubah derajat kontraksi otot polos bronkiolus (serat kaliber saluran pernafasan halus ini), mampu mengatur jumlah udara yang mengalir antara atmosfer dan setiap kelompok alveolus. Bronkiolus bermuara pada alveoli (tunggal: alveolus), struktur berbentuk bola-bola mungil yang diliputi oleh pembuluh-pembuluh darah. Epitel pipih yang melapisi alveoli memudahkan darah di dalam kapiler-kapiler darah mengikat oksigen dari udara dalam rongga alveolus.
3.5. Paru-paru
Paru-paru merupakan organ yang berbentuk kerucut, cukup besar menjadi bagian pleural cavum thoracicus dengan sempurna. Meluas dari diafragma ke titik sedikit di atas clavicula dan terletak berhadapan dengan rusuk interior maupun posterior. Permukaan medial setiap paru agak konkaf memberikan tempat bagi struktur mediastinal dan bagi jantung, namun kekonkafannya lebih besar yang kiri dari pada yang kanan karena posisi jantung. Bronchi primer dan pembuluh darah paru memasuki setiap paru melalui celah pada permukaan medialnya yang disebut hilum. Bronchi primer dan pembuluh Darah ini diikat bersama oleh jaringan ikat membentuk akar paru.
Permukaan inferior paru melebar, bagian yang pada diafragma merupakan basis, sedangkan tepi atasnya sebagai apex. Paru kiri dibagi oleh fissura menjadi dua lobi, yaitu superior, medial, dan inferior. Dibagian dalamnya setia paru terdiri dari jutaan alveoli. Pleura viseral menyelubungi permukaan luar paru dan menempel padanya seperti kulit apel menempel apelnya. Paru dengan alveoli yang berdinding tipis itu melengkapi tempat bagi udara memasukinya dan cukup dekat berhubungan dengan darah dalam kapiler untuk mempertukarkan gas-gas.
4. Proses sistem pernafasan manusia
Proses pernapasan pada manusia dimulai dari hidung. Udara yang diisap pada waktu menarik nafas (inspirasi) biasanya masuk melalui lubang hidung (nares) kiri dan kanan selain melalui mulut. Pada saat masuk, udara disaring oleh bulu hidung yang terdapat di bagian dalam lubang hidung. Perhatikan gambar 4.1 berikut mengenai gerakan diafragma sewaktu bernafas:
Gambar 4.1 Gerakan diafragma sewaktu bernafas
Pernafasan dada, Bersamaan dengan kontraksi otot diafragma, otot-otot tulang rusuk juga berkontraksi sehingga rongga dada mengembang. Hal ini disebut pernapasan dada Perhatikan gambar 4.2 mengenai pernafasan dada sebagai berikut:
Gambar 4.2 Pernafasan dada
Akibat mengembangnya rongga dada, maka tekanan dalam rongga dada menjadi berkurang, sehingga udara dari luar masuk melalui hidung selanjutnya melalui saluran pernapasan akhirnya udara masuk ke dalam paru-paru, sehingga paru-paru mengembang. Perhatikan gambar 4.3 berikut mengenai jalannya proses pernafasan dada yaitu sebagai berikut:
Gambar 4.3 Proses Pernafasa dada
Pernafasan Perut, Setelah melewati rongga hidung, udara masuk ke kerongkongan bagian atas (naro-pharinx) lalu kebawah untuk selanjutnya masuk tenggorokan (larynx). Semula kedudukan diafragma melengkung keatas sekarang menjadi lurus sehingga rongga dada menjadi mengembang. Hal ini disebut pernapasan perut. Perhatikan gambar 4.4. mengenai pernafasan perut yaitu sebagai berikut:
Gambar 4.4 pernafasan perut
Selanjutnya udara yang mengandung gas karbon dioksida akan dikeluarkan melalui hidung kembali. Pengeluaran napas disebabkan karena melemasnya otot diafragma dan otot-otot rusuk dan juga dibantu dengan berkontraksinya otot perut. Diafragma menjadi melengkung ke atas, tulang-tulang rusuk turun ke bawah dan bergerak ke arah dalam, akibatnya rongga dada mengecil sehingga tekanan dalam rongga dada naik. Dengan naiknya tekanan dalam rongga dada, maka udara dari dalam paru-paru keluar melewati saluran pernapasan. Perhatikan jalannya proses pernafasan perut pada gambar 4.5
Gambar 4.5 Jalannya proses pernafasan perut
5. Mekanisme Sistem pernafasan manusia
Kita dapat menahan nafas secara sadar dalam waktu singkat atau juga bernafas lebih cepat dan lebih dalam. Akan tetapi hampir setiap waktu, terdapat mekanisme otomatis yang mengatur pernafasan kita. Kontrol otonom tersebut menjamin bahwa kerja sistem respirasi dikoordinasikan dengan kerja sistem kardiovaskuler. Pernafasan yang dalam dan cepat dan cara berlebihan mengeluarkan banyak sekali karbondioksida dari darah sehingga pusat pernafasan untuk sementara waktu berhenti mengirimkan imfuls ke otot rusuk dan diafragma. Pernafasan akan berhenti sampai kadar karbondioksida meningkat cukup banyak untuk menghidupkan kembali pusat pernafasan.
Kemudian pusat pernafasan merespon terhadap berbagai ragam sinyal saraf dan sinyal kimia, menyesuaikan laju dan kedalaman pernafasan untuk memenuhi permintaan tubuh yang berubah. Akan tetapi, kontrol pernafasan hanya akan efektif jika dikoordinasikan dengan kontrol sistem sirkulasi. Selama olahraga, misalnya curah jantung akan disesuaikan dengann laju pernafasan yang meningkat, yang akan meningkatkan suplai oksigen dan pengeluaran karbondioksida ketika darah  mengalir melalui paru-paru.
Mekanisme pernafasan manusia meliputi proses Inspirasi dan ekspirasi, Inspirasi yaitu pemasukan udara ke paru-paru sedangkan ekspirasi yaitu pengeluaran udara dari paru-paru. Secara garis besarn mekanismenya dapat dibedakan sebagai berikut.
  1. Fase inspirasi. Fase ini berupa berkontraksinya otot antar tulang rusuk sehingga rongga dada membesar, akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih kecil daripada tekanan di luar sehingga udara luar yang kaya oksigen masuk. Perhatikan gambar 5.1. Mengenai mekanisme Inspirasi yaitu sebagai berikut:
Gambar 5.1. Mekanisme Inspirasi
  1. Fase ekspirasi. Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara tulang rusuk ke posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga dada menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih besar daripada tekanan luar, sehingga udara dalam rongga dada yang kaya karbon dioksida keluar. Perhatikan gambar 5.2. mengenai mekanisme ekspirasi yaitu sebagai berikut:
                       Gambar 5.2.  Mekanisme Ekspirasi
Kapasitas volume paru-paru terdiri dari volume tidal dan volume residu. Pada volume tidal banyaknya udara yang masuk dan keluar pada paru-paru selama pernafasan normal yaitu (500ml). Volume tidal dipengaruhi yaitu: Berat badan seseorang, jenis kelamin, usia dan kondisi fisik. Sedangkan pada volume residu, banyaknya udara yang tertinggal di paru-paru (1200ml). Perhatikan gambar 5.3. yang menunjukkan kapasitas volume paru-paru yaitu:
         Gambar 5.3: kapasitas volume paru-paru
5.4. Hubungan Timbal Balik antara Tekanan Atmosfer, Tekanan Intra-Alveolus, dan Tekanan Intrapleura Penting dalam Mekanika Pernafasan
Udara cenderung bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah yaitu menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan keluar paru selama proses bernafas dengan mengikuti penurunan gradien tekanan yang berubah berselang-seling antara alveolus dan atmosfer akibat aktivitas siklik otot-otot pernafasan. Terdapat 3 tekanan berbeda yang penting pada ventilasi seperti pada Gambar 5.4.1:
1.      Tekanan atmosfer (barometik) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di atmosfer terhadap benda-benda di permukaan bumi. Di ketinggian permukaan laut, tekanan ini sama dengan 760 mmHg. Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan ketinggian di atas permukaan laut karena kolom udara di atas permukaan bumi menurun. Dapat terjadi fluktuasi minor tekanan atmosfer akibat perubahan kondisi-kondisi cuaca (yaitu pada saat tekanan barometrik meningkat atau menurun).
2.      Tekanan intra-alveolus yang juga dikenal sebagai tekanan intrapulmonalis adalah tekanan di dalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui saluran pernafasan, udara dengan cepat mengalir mengikuti penurunan gradien tekanan setiap kali terjadi perbedaan antara tekanan intra-alveolus dan tekanan atmosfer, udara terus mengalir sampai tekanan keduanya seimbang (ekuilibrium).
3.      Tekanan intrapleura adalah tekanan di dalam kantung pleura. Tekanan ini juga dikenal sebagai tekanan intra toraks yaitu tekanan yang terjadi di luar paru di dalam rongga toraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih kecil dari pada tekanan atmosfer, rata-rata 756 mmHg saat istirahat. Seperti tekanan darah yang dicacat dengan menggunakan tekanan atmosfer sebagai titik rujukan (yaitu tekanan sistolik 120 mmHg adalah 120 mmHg lebih besar dari pada tekanan atmosfer 760 mmHg atau dalam realitas 880 mmHg), 756 mmHg kadang-kadang disebut sebagai tekanan -4 mmHg walau sebenarnya tidak ada tekanan negatif absolut. Tekanan -4 mmHg adalah tekanan negatif jika dibandingkan dengan tekanan atmosfer normal yang 760 mmHg. Untuk menghindar kebingungan, kita akan menggunakan nilai positif absolut di seluruh pembicaraan mengenai pernapasan.
Gambar 5.4.1. Tekanan Ventilasi
Sumber: Sherwood. 2001: 416

Tekanan interpleura tidak diseimbangkan dengan tekanan atmosfer atau intra-alveolus, karena tidak terdapat hubungan langsung antara rongga pleura dan atmosfer atau paru. Karena kantung pleura adalah suatu kantung tertutup tanpa lubang, udara tidak dapat masuk atau keluar walaupun terdapat gradien konsentrasi antara kantung itu dan sekitarnya. Ventilasi paru atau juga dikenal bernafas adalah proses pertukaran gas antara atmosfer dengan alveoli paru. Udara mengalir di antara atmosfer dan paru karena alsan yang sama dengan aliran darah di seluruh tubuh, yaitu adanya perbedaan tekanan. Kita menghirup nafas bila tekanan di dalam paru lebih rendah dari pada tekanan udara di dalam atmosfer. Kita menghembue nafas bila tekanan di dalam lebih besar dari pada tekanan di atmosfer.
5.5. Kohesivitas Cairan Intrapleura dan Gradien Tekanan Transmural Menjaga Dinding Toraks dan Paru Berhadapan Erat, Walaupun Paru Berukuran Lebih Kecil dari pada Toraks.
Rongga toraks lebih besar dari pada paru yang tidak teregang karena dinding toraks tumbuh lebih cepat dari pada paru selama masa perkembangan. Namun, dua gaya kohesivitas cairan intrapleura dan gradien tekanan transmural menahan dinding toraks dan paru dalam keadaan berhadapan erat, meregangkan paru untuk mengisi rongga toraks yang lebih besar (Sugiarti. 2000: 45).
Molekul-molekul air polar di dalam cairan intrapleura bertahan dari peregangan karena adanya gaya tarik menarik antar sesama mereka. Kohesivitas cairan intrapleura yang ditimbulkan cenderung menahan kedua permukaan pleura menyatu. Dengan demikian cairan intrapleura secara lepas dapat dianggap sebagai “perekat” antara dinding toraks dan paru. Pernahkan anda mencoba memisahkan dua permukaan licin yang direkatkan oleh lapisan tipis cairan, misalnya dua kaca objek yang basah? Jika demikian, anda akan mengetahui bahwa kedua permukaan tersebut bertindak seolah-olah mereka direkatkan oleh lapisan tipis air. Walaupun anda dapat menggeser-geser kedua kaca objek tersebut dengan mudah (seperti cairan intrapleura yang memungkinkan pergerakan paru terhadap permukaan interior dinding dada). Anda harus berusaha keras untuk memisahkan keduanya, karena molekul-molekul di dalam cairan antara tersebut menahan peregangan. Hubungan ini ikut berperan menentukan kenyataan bahwa pergerakan perubahan dimensi-dimensi paru yaitu ketika toraks mengembangkan paru karena melekat ke dinding toraks akibat kohesivitas cairan intrapleura juga mengembang.
Alasan yang lebih penting mengapa paru mengikuti gerakan dinding dada adalah adanya gradien tekanan transmural yang melintasi dinding paru seperti Gambar 5.5.1. Tekanan intra-alveolus yang setara dengan tekanan atmosfer sebesar 760 mmHg lebih besar daripada tekanan intrapleura sebesar 756 mmHg sehingga di dinding paru gaya menekan ke arah luar lebih besar dari pada gaya tekan ke arah dalam. Perbedaan tekanan netto ke arah luar ini yaitu gradien tekanan transmural  mendorong paru ke arah luar, meregangkan atau mengembangkan paru sehingga paru selalu terdorong untuk mengembang mengisi rongga toraks.
Gambar 5.5.1. Gradien Transmural
Sumber: Sherwood. 2001: 417
Gradien tekanan transmural serupa juga terdapat di antara kedua sisi dinding toraks. Tekanan atmosfer yang menekan dinding toraks ke arah dalam lebih besar dari pada tekanan interpleura yang mendorong dinding tersebut ke arah luar sehingga dinding dada cenderung “menciut” atau terkompresi dibandingkan dengan apa yang akan terjadi apabila dada tidak mengalami tekanan tersebut. Namun efek gradien tekanan transmural di dinding paru jauh lebih menonjol, karena jaringan paru yang mudah teregang jauh lebih terpengaruh oleh perbedaan tekanan yang sedang tersebut dibandingkan dengan dinding toraks yang lebih kaku.
Karena baik dinding paru maupun dinding dada tidak berada dalam posisi alami mereka sewaktu keduanya berhadapan erat satu sama lain, keduanya terus menerus berusaha mencapai dimensi-dimensi inheren mereka. Paru yang teregang cenderung tertarik ke arah dalam menjauhi dinding dada, sementara dinding dada yang tertekan cenderung bergerak ke arah luar menjauhi paru. Namun gradien tekanan transmural dan kohesivitas cairan intrapleura mencegah kedua struktur tersebut saling menjahui. Pengembangan rongga pleura yang kecil ini cukup menyebabkan penurunan tekanan di dalam rongga ini sebesar 4 mmHg, sehingga tekanan intrapleura berada dalam tekanan sub atmosfer sebesar 756 mmHg.
Untuk memahami bagaimana peningkatan ringan volume intrapleura menyebabkan penurunan tekanan intrapleura. Hukum Boyle menyatakan bahwa pada setiap suhu konstan, tekanan yang ditimbulkan oleh gas berbanding terbalik dengan volume gas yaitu sewaktu volume gas meningkat, tekanan yang ditimbulkan oleh gas berkurang setara dan sebaliknya, tekanan meningkat secara proporsional sewaktu volume berkurang. Karena hubungan tekanan-volume yang terbalik ini, jika volume rongga pleura sedikit meningkat akibat tarikan berlawanan dari dinding paru dan dinding toraks, tekanan intrapleura menjadi sedikit lebih kecil dari pada tekanan atmosfer.
Perlu diketahui bahwa terdapat hubungan timbal balik antara gradien tekanan transmural dan tekanan intrapleura sub atmosfer. Paru teregang dan toraks tertekan karena terdapat gradien tekanan transmural di kedua dinding akibat adanya tekanan intrapleura sub atmosfer. Tekanan intrapleura, sebaliknya bersifat sub atmosfer karena paru yang teregang dan toraks yang tertekan cenderung saling menjahui satu sama lain sedikit mengembang rongga pleura dan menurunkan tekanan intrapleura di bawah tekanan atmosfer.
Apabila tekanan intrapleura disamakan dengan tekanan atmosfer, gradien tekanan transmural akan hilang. Akibatnya paru dan toraks akan terpisah dan mencari dimensi-dimensi inheren mereka sendiri. Hal inilah yang sebenarnya terjadi apabila udara dibiarkan masuk ke dalam rongga pleura, suatu keadaan yang dikenal dengan sebagai pneumotoraks (“udara di dalam dada”) seperti pada Gambar 5.5.2. (Kohesivitas cairan intrapleura tidak dapat menahan dinding paru dan toraks melekat satu sama lain apabila tidak terdapat gradien tekanan transmural).
Gambar 5.5.2. Gradien Transmural
Sumber: Sherwood. 2001: 419

Dalam keadaan normal, udara tidak masuk ke dalam rongga pleura karena tidak terdapat hubungan antara rongga tersebut dengan atmosfer atau alveolus. Namun, jika dinding dada dilubangi (misalnya, akibat iga yang patah atau luka tusuk), udara akan menyerbu masuk ke dalam rongga pleura dari tekanan atmosfer yang lebih tinggi mengikuti penurunan gradien tekanan udara. Tekanan intrapleura dan intra-alveolus sekarang seimbang dengan tekanan atmosfer sehingga gradien tekanan transmural tidak lagi ada baik di dinding dada maupun dinding paru, paru akan kolaps dan menyebabkan keadaan atelektasis. Demikian juga dinding toraks akan mengembang ke ukuran inherennya tetapi tidak menimbulkan konsekuensi lebih berat dibandingkan dengan kolaps paru. Demikian juga pneumotoraks dan kolaps paru dapat terjadi apabila udara masuk ke dalam rongga pleura melalui suatu lubang di paru yang disebabkan oleh proses penyakit.
5.6. Bulk Flow Udara ke dalam dan ke Luar Paru Terjadi karena Perubahan Siklis Tekanan Intra-Alveolus yang Secara Tidak Langsung Ditimbulkan oleh Aktivitas Otot Pernafasan
Karena udara mengalir mengikuti penurunan gradien tekanan, tekanan intra-alveolus harus lebih rendah dari pada tekanan atmosfer agar udara mengalir masuk ke paru selama inspirasi. Demikian juga, tekanan intra-alveolus harus lebih besar dari pada tekanan atmosfer agar udara mengalir ke luar paru selama ekspirasi. Tekanan intra-alveolus dapat diubah dengan mengubah-ubah volume paru sesuai hukum Boyle. Otot-otot yang melaksanakan proses bernafas (ventilasi) tidak secara langsung bekerja pada paru untuk mengubah volumenya. Otot-otot ini mengubah volume rongga toraks yang menyebabkan perubahan volume paru karena dinding toraks dan paru menyatu oleh kohesivitas cairan intrapleura dan gradien tekanan transmural.
Satu siklus pernafasan yaitu satu tarikan nafas (inspirasi) dan satu pengeluaran nafas (ekspirasi). Sebelum ada udara yang mengalir, dan tekanan intra-alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Pada awal inspirasi, otot-otot inspirasi  diafragma dan otot antariga eksternal terangsang untuk berkontraksi sehingga terjadi pembesaran rongga toraks seperti pada Gambar 5.6.1. Otot inspirasi utama adalah diafragma, suatu lembaran otot rangka yang membentuk dasar rongga toraks dan dipersarafi oleh saraf frenikus. Diafragma yang melemas berbentuk kubah yang menonjol ke atas ke dalam rongga toraks. Sewaktu berkontraksi karena stimulasi saraf frenikus, diafragma bergerak ke bawah dan memperbesar volume rongga toraks dengan menambah panjang vertikalnya. Dinding abdomen, jika melemas, dapat melihat menonjol ke depan sewaktu inspirasi karena diafragma yang turun mendorong isi abdomen ke bawah dan ke depan.
Gambar 5.6.1. Anatomi Otot-otot Pernafasan
Sumber: Sherwood. 2001: 420

Terdapat dua set otot interkostalis yang terletak  di antara iga, otot antariga eksternal berada di atas otot antariga internal. Sewaktu otot antariga eksternal, yang serat-seratnya berjalan ke arah bawah dan depan antar iga-iga yang berdekatan, berkontraksi, iga terangkat ke atas dan ke luar dan semakin memperbesar rongga toraks dalam dimensi anteroposterior (depan-belakang) dan laterolateral (sisi-ke-sisi). Otot-otot antariga diaktifkan oleh saraf interkostalis seperti Gambar 5.6.2.
Gambar 5.6.2. Akativitas Otot-otot Inspirasi dan Ekspirasi
Sumber: Sherwood. 2001: 421
Pada saat rongga toraks mengembang, paru juga dipaksa mengembang untuk mengisi rongga toraks yang membesar. Sewaktu paru mengembang, tekanan intra-alveolus menurun karena molekul dalam jumlah yang sama kini menempati volume paru yang lebih besar. Pada inspirasi bias, tekanan intra-alveolus menurun 1 mmHg menjadi 759 mmHg seperti pada Gambar 5.6.3. Karena tekanan intra-alveolus sekarang lebih rendah dari pada tekanan atmosfer, udara mengalir masuk ke paru mengikuti penurunan gradien tekanan dari tinggi ke rendah. Udara terus mengalir ke dalam paru sampai tidak lagi terdapat gradien yaitu sampai tekanan intra alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Dengan demikian pengembangan paru bukan disebabkan oleh perpindahan udara di dalam paru melainkan udara mengalir ke dalam paru kerena turunnya tekanan intra-alveolus akibat paru yang mengembang.
Gambar 5.6.3. Volume Paru dan Tekanan Intra-Alveolus Inspirasi dan Ekspirasi
Sumber: Sherwood. 2001: 422
Selama inspirasi, tekanan intrapleura turun ke 754 mmHg akibat pengembangan toraks. Peningkatan gradien tekanan transmural yang terjadi selama inspirasi memastikan bahwa paru teregang untuk mengisi rongga toraks yang mengembang.
Inspirasi yang lebih dalam (lebih banyak udara yang masuk) dapat dilakukan dengan mengkontraksikan diafragma dan otot antariga eksternal secara lebih kuat dan dengan mengaktifkan otot-otot inspirasi tambahan (accessory inspiratory muscles) untuk semakin memperbesar rongga toraks. Konstraksi otot-otot tambahan ini yang terletak di leher, mengangkat strenum dan dua iga pertama, memperbesar bagian rongga toraks. Pada saat rongga toraks semakin membesar volumenya dibandingkan dengan keadaan istirahat, paru juga semakin membesar sehingga tekanan intra-alveolus semakin turun. Akibatnya terjadi peningkatan aliran udara masuk paru sebelum terjadi keseimbangan dengan tekanan atmosfer yaitu penafasan menjadi lebih dalam.
Pada akhir inspirasi, otot-otot inspirasi melemas. Saat melemas, diafragma kembali kebentuknya seperti kubah. Sewaktu otot antariga eksternal melemas, sangkar iga yang terangkat turun karena adanya gaya gravitasi sewaktu otot antariga eksternal dan dinding dada dan paru yang teregang kembali menciut ke ukuran pra inspirasi mereka karena adanya sifat elastik seperti membuka balon yang sebelumnya sudah ditiup. Sewaktu paru menciut dan berkurang volumenya, tekanan intra-alveolus meningkat kerena jumlah molekul udara yang lebih besar yang terkandung di dalam volume paru yang besar pada akhir inspirasi sekarang terkompresi ke dalam volume udara yang lebih kecil. Pada ekspirasi istirahat tekanan intra-alveolus meningkat sekitar 1 mmHg diatas tekanan atmosfer 760 mmHg. Udara sekarang keluar paru mengikuti penurunan gradien tekanan dari tekanan intra-alveolus yang tinggi ke tekanan atmosfer yang lebih rendah. Aliran keluar udara berhenti jika tekanan intra-alveolus menjadi sama dengan tekanan atmosfer dan tidak lagi terdapat gradien tekanan.
Dalam keadaan normal, ekspirasi adalah suatu proses pasif karena terjadi akibat penciutan elastik paru saat otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan konstraksi otot atau pengeluaran energi. Sebaliknya, inspirasi selalu aktif karena hanya ditimbulkan oleh konstraksi otot-otot inspirasi dan menggunakan energi. Untuk mengosongkan paru secara lebih sempurna dan lebih cepat dari pada yang terjadi selama bernafas tenang, ekspirasi dapat menjadi aktif. Tekanan intra-alveolus haru semakin ditingkatkan di atas tekanan atmosfer dibandingkan dengan yang dapat ditimbulkan oleh relaksasi otot inspirasi dan penciutan paru. Untuk melakukan ekspirasi aktif atau paksa, otot ekspirasi harus berkontraksi untuk semakin mengurangi volume rongga toraks dan paru. Otot ekspirasi terpenting adalah (yang mulanya tampak sulit dipercaya) adalah otot-otot di dinding abdomen. Sewaktu otot-otot abdomen ini berkontraksi, terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen yang menimbulkan gaya ke atas pada diafragma, mengakibatkan diafragma.
Semakin terangkat ke rongga toraks dibandingkan dengan posisi istirahatnya, sehingga semakin memperkecil ukuran vertikal rongga toraks. Otot-otot ekspirasi lain adalah otot antariga internal, yang kontraksinya menarik iga-iga ke bawah dan ke dalam, meratakan dinding dada dan semakin memperkecil ukuran rongga toraks, aksi otot-otot ini berlawanan dengan aksi otot antariga eksternal.
Sewaktu kontraksi aktif otot-otot ekspirasi semakin mengurangi volume rongga toraks, volume paru juga semakin berkurang karena paru tidak harus teregang banyak untuk mengisi volume rongga toraks yang lebih kecil yaitu paru diperbolehkan menciut lebih kecil. Tekanan intra-alveolus menjadi semakin meningkat karena udara di dalam paru ditempatkan di dalam volume yang lebih kecil. Perbedaan antara tekanan intra-alveolus dan atmosfer semakin besar dibandingkan saat ekspirasi pasif sehingga lebih banyak udara keluar mengikuti penurunan gradien tekanan sebelum keseimbangan tercapai. Dengan cara ini, paru mengalami pengosongan lebih sempurna selama ekspirasi aktif paksa dibandingkan selama ekspirasi pasif tenang.
Selama ekspirasi paksa, tekanan intrapleura melebihi tekanan atmosfer, tetapi paru tidak kolaps. Kerena tekanan intra-alveolus juga meningkat setara gradien tekanan transmural tetap ada di dinding paru sehingga paru tetap teregang untuk mengisi rongga toraks. Apabila tekanan di dalam toraks meningkat 10 mmHg, tekanan intrapleura menjadi 766 mmHg dan tekanan intra-alveolus menjadi 770 mmHg masih terdapat perbedaan tekanan 4 mmHg. Karena diafragma adalah otot inspirasi utama dan relaksasinya menyebabkan ekspirasi, paralisis otot-otot antariga saja tidak terlalu mempengaruhi pernafasan saat istirahat. Namun gangguan saraf atau otot menyebabkan paralisis pernafasan. Untungnya, saraf frenikus berasal dari korda spinalis di daerah leher dan kemudian turun ke diafragma di dasar toraks, dan bukan berasal dari daerah torakalis. Oleh karena itu, orang yang mengalami paralisis total di bawah leher yang di akibatkan oleh terputusnya korda spinalis masih mampu bernafas walaupun seluruh otot rangka di badan dan anggota badan tidak lagi dapat digunakan.
5.7. Saluran Pernafasan Menjadi Sangat Penting Dalam Menentukan Laju Aliran Apabila Saluran Pernafasan Mengalami Penyempitan Akibat Proses Penyakit
Aliran udara masuk dan keluar paru sebagai fungsi besarnya gradien tekanan antara alveolus dan atmosfer, dengan gradien tekanan berubah-ubah akibat perubahan ukuran rongga toraks dan diikuti ukuran paru. Namun seperti aliran darah melalui pembuluh darah yang tergantung tidak saja pada gradien tetapi juga pada resistensi terhadap aliran yang di timbulkan oleh pembuluh
F=ΔP/R
Penentuan utama resistensi terhadap aliran udara adalah jari-jari saluran pernafasan. Pada pembahasan sebelumnya mengenai laju aliran udara yang ditimbulkan oleh gradien tekanan, kita mengabaikan resistensi  saluran pernafasan karena pada sistem pernafasan yang sehat, jari-jari saluran pernafasan cukup besar sehingga resistensi sangat rendah. Dalam keadaan normal gradien tekanan antara alveolus dan atmosfer merupakan faktor utama penentu laju aliran udara. Saluran pernafasan memiliki resistensi yang rendah sehingga dalam keadaan normal hanya diperlukan gradien tekanan yang sangat kecil (1–2 mmHg) untuk menghasilkan laju aliran udara yang kuat masuk keluar paru.
Dalam keadaan normal, penyesuaian ukuran saluran pernafasan dapat dilakukan oleh pengaturan sistem saraf otonom agar memenuhi kebutuhan tubuh. Stimulasi parasimpatis yang terjadi selama situasi tenang-rileks saat kebutuhan akan aliran udara tidak tinggi meningkatkan kontraksi otot polos bronkiolus yang meningkatkan resistensi saluran pernafasan dengan menimbulkan bronkokonstriksi. Sebaliknya, stimulasi simpatis dan dalam tingkat yang lebih besar hormon terkait, epinefrin menimbulkan bronkodilatasi (bronkodilasi) dan penurunan resistensi saluran pernafasan dengan menyebabkan relaksasi otot polos bronkiolus seperti pada Tabel 5.7. Selama periode dominasi simpatis pada saat kebutuhan akan penyerapan O­2 ­sedang atau akan meningkat terjadi bronkodilatasi untuk memastikan bahwa gradien tekanan yang diciptakan oleh aktivitas otot-otot pernafasan mampu mencapai laju aliran udara maksimum dengan resistensi minimum. Karena efek bronkodilatasi ini, epinefrin atau obat serupa bermanfaat untuk melawan konstriksi saluran pernafasan pada pasien-pasien dengan spasme bronkial.
Tabel 5.7. Faktor Resistensi Saluran Pernafasan
Otot
Hasil kontraksi
Waktu stimulasi untuk berkontraksi
Otot-otot Inspirasi
Diafragma
Bergerak turun, meningkatkan dimensi vertikal rongga toraks
Setiap inspirasi, otot primer inspirasi
Otot-otot antariga eksternal
Mengangkat iga ke arah depan dan ke arah luar, memperbesar rongga toraks dalam dimensi depan-ke-belakang dan sisi-ke-sisi
Setiap inspirasi berperan komplementer sekunder terhadap aksi primer diafragma
Otot-otot leher (skalenus sternokleidomastoideus)
Mengangkat sternum dan dua iga pertama memperbesar bagian atas rongga toraks
Hanya pada saat inspirasi paksa, otot inspirasi tambahan
Otot-otot Ekspirasi
Otot-otot abdomen
Meningkatkan tekanan intra-abdomen yang menimbulkan gaya ke atas pada diafragma untuk mengurangi dimensi vertikal rongga toraks
Hanya pada saat ekspirasi aktif (paksa)
Otot-otot antariga internal
Mendatarkan toraks dengan menarik iga-iga ke bawah dan ke dalam, menurunkan ukuran depan-belakang dan samping rongga toraks
Hanya sewaktu ekspirasi aktif (paksa)

            Resistensi menjadi sangat penting bagi aliran udara apabila lumen saluran pernafasan menyempit akibat penyakit. Kita semua pernah mengalami secara sementara efek yang ditimbulkan peningkatan resistensi saluran pernafasan pada bernafas ketika kita mengalami pilek. Kita menyadari betapa sulitnya menghasilkan laju aliran udara yang kuat melalui “hidung yang tersumbat”. Sewaktu saluran hidung tersebut menyempit akibat pembengkakan dan penimbunan mukus.
            Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM, cronic obstructive pulmonary disease) sekelompok penyakit baru yang ditandai oleh peningkatan resistensi saluran pernafasan akibat penyempitan lumen saluran pernafasan bagian bawah. Apabila resistensi saluran pernafasan meningkat, harus tercipta gradien tekanan yang lebih besar agar laju aliran udara dapat dipertahankan normal. Jika resistensi berlipat dua akibat penyempitan saluran pernafasan, ΔP harus digandakan melalui peningkatan kerja otot respirasi untuk menghasilkan laju aliran udara masuk-keluar paru yang sama dengan yang berlangsung pada pernafasan orang normal dalam keadaan istirahat sehingga pasein PPMO harus lebih keras untuk bernafas.
Penyakit paru obstruktif menahun mencakup tiga penyakit kronik (jangka-panjang): asma, bronkitis kronik, dan efisema. Pada asma, obstruksi saluran pernafasan disebabkan oleh 1) konstriksi berlebihan saluran pernafasan halus karena spasme otot polos di dinding saluran pernafasan yang diinduksi oleh alergi. 2) penyumbatan saluran pernafasan oleh sekresi berlebihan mukus yang sangat kental. 3) penebalan dinding saluran pernafasan akibat peradangan dan edema yang diinduksi oleh histamin.
            Bronkitis kronik adalah peradangan kronik saluran pernafasan bagian bawah yang umumnya dicetuskan oleh pajanan berulang ke asap rokok, udara berpolusi, alergi. Sebagai respon terhadap iritasi kronik, saluran pernafasan menyempit akibat penebalan edematosa kronik bagian dalam saluran pernafasan disertai produksi berlebihan mukus yang kental. Walaupun pengidap sering batuk karena iritasi kronik, mukus penyumbat sering tidak dapat seluruhnya dikeluarkan terutama karena eskalator mukus siliaris lumpuh oleh iritan. Sering terjadi infeksi paru oleh bakteri karena mukus yang tertimbun merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
Efisema ditandai oleh kolapsnya saluran pernafasan halus dan rusaknya dinding alveolus. Keadaan ireversibel ini dapat timbul melalui dua cara. Yang tersering, efisema timbul akibat pengeluaran berlebih enzim-enzim destruktif misalnya tripsin dari makrofag alveolus sebagai respons terhadap asap rokok atau iritan kimiawi inhalan lainnya. Paru dalam keadaan normal terlindung dari kerusakan akibat enzim ini oleh antitripsin suatu protein yang menghambat tripsin. Namun sekresi berlebihan enzim destruktif tersebut sebagai respons terhadap iritasi kronik dapat mengalahkan kemampuan protektif antitripsin sehingga enzim-enzim tersebut tidak saja menghancurkan benda asing tetapi juga jaringan paru. Hilangnya jaringan paru menyebabkan dinding alveolus jebol dan saluran pernafasan halus kolaps yang merupakan ciri khas emfisema. Yang lebih jarang efisema timbul akibat ketidakkemampuan genetik membentuk antitripsin sehingga jaringan paru tidak terlindung dan secara gradual mengalami disintegrasi akibat pengaruh enzim-enzim makrofag walaupun berjumlah sedikit dan tidak terjadi kronik ke iritan-iritan inhalan.
Jika resistensi saluran pernafasan meningkat akibat penyakit paru obstruktif manahun, ekspirasi akan lebih sulit dilakukan dari pada inspirasi. Saluran pernafasan yang lebih kecil karena tidak memiliki cincin tulang rawan yang menahan saluran pernafasan besar terbuka, ditahan terbuka oleh gradien tekanan transmural yang meregangkan alveolus. Ekspansi rongga toraks selama ekspirasi, serupa dengan pengembangan alveolus sehingga resistensi saluran pernafasan lebih rendah selama inspirasi dibandingkan dengan selama ekspirasi. Pada orang normal, resistensi saluran pernafasan selalu rendah sehingga sedikit variasi yang terjadi selama inspirasi dan ekspirasi tidak terasa. Namun, apabila resistensi saluran pernafasan meningkat secara bermakna seperti selama serangan asma, perbedaan antara inspirasi dan ekspirasi akan sangat terasa. Pengidap asma lebih mengalami kesulitan mengeluarkan napas dari pada menarik nafas yang menimbulkan “mengi” (wheezing) khas pada saat udara dipaksa keluar melalui saluran pernafasan yang sempit.
Pada orang normal saluran pernafasan kecil kolaps dan aliran keluar udara lebih lanjut terhenti hanya pada volume udara paru yang sangat rendah. Karena kolaps saluran pernafasan ini, paru tidak pernah dapat dikosongkan secara sempurna.
5.8. Terdapat Kontrol Lokal yang Bekerja pada Otot Polos Saluran Pernafasan dan Arteriol untuk Mencocokkan Aliran Darah dengan Aliran Udara Semaksimal Mungkin
Otot polos arteriol dan bronkiolus juga peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya terutama terhadap konsentrasi CO­. Jika sebuah alveolus kurang mendapat aliran udara (ventilasi) dibandingkan dengan aliran darahnya (perfusi), konsentrasi CO­ di alveolus dan jaringan sekitarnya akan meningkat karena lebih banyak CO­ yang disalurkan oleh darah ke alveolus dibandingkan dengan yang dikeluarkan ke atmosfer. Peningkatan lokal CO­ ini bekerja langsung pada otot polos bronkiolus yang bersangkutan untuk melemahkan saluran pernafasan yang mengaliri alveolus tersebut. Penurunan resistensi saluran pernafasan yang kemudian terjadi akan meningkatkan laju aliran udara ke alveolus yang bersangkutan sehingga aliran udara setara dengan aliran darah. Penurunan lokal CO­ di sebuah alveolus yang menerima terlalu banyak udara dibandingkan darah akan secara langsung meningkatkan aktivitas kontraktil otot polos saluran nafas yang bersangkutan menyebabkan saluran yang mengalir ke alveolus yang kelebihan udara tersebut berkontraksi. Hal ini mengakibatkan aliran udara ke alveolus berkurang.
Efek lokal serupa pada otot polos vaskuler paru juga terjadi bersamaan untuk mencocokan aliran darah dengan aliran udara semaksimal mungkin. Seperti pada sirkulasi sistemik, distribusi curah jantung ke berbagai jaringan kapiler alveolus dapat dikontrol dengan menyesuaikan resistensi terhadap aliran darah melalui arteriol paru tertentu. Apabila alveolus tertentu aliran darah lebih besar dari pada aliran udara, kadar O­ di alveolus dan jaringan sekitarnya akan turun dibawah normal karena lebih banyak O­ yang diekstrasi dari alveolus oleh darah yang jumlahnya meningkat. Penurunan lokal konsentrasi O­ menyebabkan vasokon striksi arteriol paru yang memperdarahi jaringan kapiler yang bersangkutan, akibatnya penurunan aliran darah agar sesuai dengan aliran udara yang berkurang. Sebaliknya peningkatan konsentrasi O­ alveolus akibat ketidakcocokan aliran udara yang besar dengan aliran darah yang kecil akan menyebabkan vasodilatasi paru, yang meningkatkan aliran darah agar sesuai dengan aliran udara. Efek lokal O­2 ­pada otot polos arteriol padu adalah kebalikan dari efek pada otot polos arteriol sistemik. Pada sirkulasi sistemik, penurunan O­ di jaringan menyebabkan vasodilatasi lokal untuk meningkatkan aliran darah ke daerah yang kekurangan tersebut.
Kedua mekanisme untuk mencocokan aliran udara dan darah bekerja secara bersamaan sehingga dalam keadaan normal darah dan udara yang tersia-sia sangatlah sedikit. Karena efek gravitasi terdapat perbedaan regional dalam ventilasi dan perfusi dari atas ke bawah paru. Aliran udara dan darah dipermukaan alveolus tertentu biasanya dibuat secocok mungkin melalui mekanisme kontrol lokal tersebut sehingga pertukaran O­2 ­dan CO­efesien.
5.9. Sifat Elastik Paru disebabkan oleh Adanya Serat-Serat Jaringan Ikat Elastik dan Tegangan Permukaan Alveolus
Siklus pernafasan paru secara bergantian mengembang selama inspirasi dan menciut selama ekspirasi. Elastisitas paru melibatkan dua konsep yang saling berkaitan: recoil elastik dan compliance. Recoil elastik (penciutan elastik) mengacu kepada seberapa mudah paru kembali ke bentuknya setelah diregangkan. Sifat ini menentukan kembalinya paru ke volume pra inspirasi sewaktu otot-otot inspirasi melemas di akhir inspirasi.
Compliance mengacu kepada seberapa besar usaha yang diperlukan untuk meregangkan atau mengembangkan paru. Hal ini analog dengan seberapa keras meniup balon dibandingkan dengan untuk mengembangkan paru. Secara spesifik, compliance adalah ukuran tingkat perubahan volume paru yang ditimbulkan oleh gradien tekanan transmural (gaya yang meregangkan paru) tertentu. Untuk peningkatan perbedaan tekanan tertentu, paru dengan compliance yang tinggi akan mengembang lebih besar daripada paru yang compliance-nya rendah. Dengan kata lain, semakin rendah compliance paru, semakin besar gradien tekanan transmural yang harus dibentuk selama inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Pada gilirannya, gradien tekanan transmural yang lebih besar dari normal dapat dicapai hanya dengan membuat tekanan intrapleura lebih subatmosferik dibndingkan dengan biasanya. Hal ini dilakukan dengan ekspansi toraks yang lebih besar melalui kontraksi otot yang lebih kuat. Dengan demikian, semakin rendah compliance paru, semakin besar kerja yang diperlukan untuk menghasilkan inflasi dalam derajat tertentu. Paru yang compliance-nya rendah disebut sebagai paru “kaku”, karena tidak memiliki daya regang seperti paru normal. Compliance pernapasan dapat menurun akibat adanya beberapa faktor, misalnya digantikannya jaringan paru normal oleh jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi serat asbestos atau iritan serupa.
Sifat elastik paru terutama bergantung pada dua faktor. Jaringan ikat paru yang sangat elastik dan tegangan permukaan alveolus. Jaringan ikat paru mengandung sejumlah besar serat elastin. Selain memperlihatkan sifat elastik, serat-serat ini juga tersusun dalam suatu jaringan yang semakin memperkuat daya elastik tersebut, seperti benang pada selembar kain rajutan yang dapat diregangkan. Keseluruhan kain tersebut (atau paru) lebih dapat diregangkan dan cenderung kembali ke bentuk semula dibandingkan dengan tiap-tiap benang (serat elastin) asal kain tersebut dianyam.
Faktor yang lebih penting lagi yang mempengaruhi sifat elastik paru adalah tegangan permukaan alveolus yang diperlihatkan oleh lapisan cairan tipis yang meliputi semua alveolus. Pada pertemuan air-udara, molekul-molekul air di permukaan melekat lebih erat ke molekul air di sekitarnya dibandingkan ke udara di atas permukaan. Tarik-menarik yang seimbang ini menciptakan suatu gaya yang dikenal sebagai tegangan permukaan di permukaan cairan. Tegangan permukaan menimbulkan dua efek. Pertama, lapisan cairan menahan setiap gaya yang meningkatkan luas permukannya; yaitu, lapisan tersebut melawan ekspansi alveolus karena molekul-molekul air permukaan menentang memisahkan mereka. Dengan demikian, semakin besar tegangan permukaan, semakin rendah compliance paru. Kedua, luas permukaan cairan cenderung menjadi sekecil-kecilnya karena molekul-molekul air permukaan, yang lebih tertarik satu sama lain. Dengan demikian, tegangan permukaan cairan yang melapisi sebuah alveolus cenderung memperkecil ukuran alveolus, dan memeras udara yang berada di dalamnya seperti Gambar 5.9. Sifat ini bersama dengan adanya serat elastin, menyebabkan paru menaiki kembali ke ukuran prainspirasinya setelah inspirasi berakhir.
Gambar 5.9. Tegangan Permukaan Alveolus
Sumber: Sherwood. 2001: 427

5.10. Surfaktan Paru Menurunkan Tegangan Permukaan dan Berperan dalam Stabilitas Paru
Gaya-gaya kohesi antara molekul-molekul air sedemikian kuatnya, sehingga apabila alveolus hanya dilapisi oleh air, tegangan permukaan akan menjadi sedemikian besar, dan paru akan kolaps; gaya recoil yang ditimbulkan oleh serat-serat elastin dan tingginya tegangan permukaan akan mengalahkan gaya regang yang ditimbulkan oleh gradien tekanan transmural. Selain itu, compliance paru menjadi sangat rendah, sehingga diperlukan kerja otot yang melelahkan untuk meregangkan dan mengembangkan alveolus.
Besarnya tegangan permukaan yang ditimbulkan oleh air murni dalam keadaan normal dilawan oleh surfaktan paru yang disekresikanoleh sel-sel alveolus tipe II. Surfaktan paru yang terselip di antara molekul-molekul air dalam cairan yang melapisi alveolus akan menurunkan tegangan permukaan alveolus karena gaya kohesif antara sebuah molekul air dengan sebuah molekul surfaktan sangat rendah. Dengan menurunkan tegangan permukaan alveolus, surfaktan paru memberi dua keuntungan penting: (1) meningkatkan compliance paru, sehingga mengurangi kerja yang diperlukan untuk mengembangkan paru; dan (2) menurunkan kecenderungan paru menciut, sehingga paru tidak mudah kolaps.
Peran surfaktan paru dalam menurunkan kecenderungan alveolus untuk menciut, sehingga mencegah alveolus kolaps, penting untuk memelihara stabilitas paru. Pembagian paru menjadi sedemikian banyak kantung udara memberikan keuntungan berupa peningkatan luar biasa luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran O2 dan CO2, tetapi hal ini juga menimbulkan masalah pemeliharaan stabilitas semua alveolus tersebut. Ingatlah bahwa tekanan yang dihasilkan oleh tegangan permukaan alveolus memiliki arah ke dalam dan memeras udara yang terdapat di dalam alveolus. Apabila alveolus dipandang sebagai gelembung sferis, menurut hukum LaPlace, kekuatan tekanan ke arah dalam yang menyebabkan kolapsnya alveolus berbanding lurus dengan tegangan permukaan dan berbanding terbalik dengan jari-jari gelembung:
P =
Dengan,
P = tekanan ke arah dalam yang menyebabkan kolaps
T = tegangan permukaan
r  = jari-jari gelembung (alveolus)
Karena tekanan ke arah dalam berbanding terbalik dengan jari-jari, semakin kecil alveolus, semakin kecil jari-jarinya dan semakin besar kecenderungan alveolus kolaps pada tegangan permukaan tertentu. Dengan demikian, apabila dua alveolus yang ukurannya berbeda tetapi tegangan permukaannya sama berhubungan dengan saluran pernapasan yang sama, alveolus yang lebih kecil – memiliki kecenderungan kolaps dan mengalirkan udaranya ke alveolus yang lebih besar seperti Gambar 5.10.1. Namun alveolus kecil dalam keadaan normal tidak kolaps dan meniupkan udaranya ke alveolus besar, karena surfaktan paru lebih mengurangi tegangan permukaan alveolus kecil dibandingkan dengan mengurangi tegangan permukaan alveolus besar. Surfaktan paru menurunkan tegangan permukaan alveolus kecil lebih besar karena molekul-molekul surfaktan berada lebih berdekatan satu sama lain di alveolus yang lebih kecil.

Gambar 5.10.1. Peran Sufaktan Paru
Sumber: Sherwood. 2001: 429
Semakin besar alveolus, semakin menyebar molekul-molekul surfaktannya, sehingga efek surfaktan pada tegangan permukaan juga berkurang. Penurunan tegangan permukaan di alveolus kecil ynag ditimbulkan oleh surfaktan mengalahkan efek kecilnya jari-jari alveolus tersebut dalam menentukan tekanan kolaps. Dengan demikian, keberadaan surfaktan menyebabkan tekanan kolaps di alveolus-alveolus kecil setara dengan tekanan yang terdapat di alveolus besar dan memperkecil kecenderungan alveolus kecil kolaps dan mengalirkan udaranya ke alveolus besar. Dengan demikian, surfaktan paru membantu menstabilkan ukuran alveolus dan membantu alveolus tersebut agar tetap terbuka dan ikut serta dalam pertukaran gas.
Faktor kedua yang berperan dalam stabilitas alveolus adalah interdependensi alveolus-alveolus yang berdekatan. Setiap alveolus dikelilingi oleh alveolus lain, yang berhubungan dengannya melalui jaringan ikat. Jika sebuah alveolus mulai kolaps, alveolus di sekitarnya akan teregang karena dinding mereka tertarik ke arah alveolus yang sedang kolaps tersebut seperti Gambar 5.10.2. Sebaliknya, alveolus-alveolus ini, karena menahan peregangan, menimbulkan gaya yang mengembangkan alveolus yang sedang kolaps tersebut dan dengan demikian menjaganya agar tetap terbuka. Fenomena ini, yang dapat dipersamakan dengan “tarik tambang” yang seimbang antara alveolus-alveolus yang berdekatan, disebut sebagai interdependensi.
Gambar 5.10.2.. Interdepensi Alveolus
Sumber: Sherwood. 2001: 430
5.11. Defisiensi Surfaktan Paru Merupakan Penyebab Sindrom Distres Pernapasan   pada Bayi Baru Lahir.
Paru janin yang sedang berkembang biasanyan belum memiliki kemampuan untuk mensintesis surfaktan paru sampai kehamilan tahap akhir. Khususnya, pada bayi yang lahir prematur, surfaktan paru mungkin tidak cukup untuk mengurangi tegangan permukaan alveolus ke tingkat yang dapat ditoleransi. Kumpulan gejala yang timbul kemudian disebut sebagai sindrom distres pernapasan pada bayi baru lahir (newborn respiratory distress syndrome). Untuk mengalahkan tingginya tegangan permukaan dan mengembangkan paru yang sangat rendah compliance-nya tersebut diperlukan usaha inspirasi yang sangat kuat. Yang semakin menimbulkan dilema adalah kenyataan bahwa alveolus cenderung kolaps total akibat tidak memiliki surfaktan pada setiap ekspirasi, sehingga usaha bernapas semakin berat. Pada volume tertentu, usaha untuk mengembangkan sebuah alveolus yang kolaps akan lebih sulit (memerlukan gradien tekanan transmural yang lebih besar) daripada memperbesar sebuah alveolus yang sudah mengembang sebagian. Situasinya mirip dengan meniup sebuah balon baru. Akan lebih sulit meniupkan udara pertama ke dalam sebuah balon untuk mengembangkannya dibandingkan meniup tambahan udara ke dalam balon yang sudah mengembang sebagian. Pada sindrom distres pernapasan pada bayi baru lahir, bayi tersebut seolah-seolah harus meniup balon baru seiap kali bernapas. Pengembangan paru mungkin memerlukan gradien tekanan transmural 20 sampai 30 mmHg (dibandingkan dengan nilai normal sebesar 4 samapi 6 mmHg) untuk mengatasi kecenderungan kolapsnya alveolus yang kekurangan surfaktan. Masalah diperberat oleh kenyataan bahwa otot-otot bayi baru lahir masih lemah. Distres pernapasan yang terjadi pada defisiensi surfaktan dapat cepat menimbulkan kematian karena usaha bernapas menyebabkan kelelahan atau inadekuat untuk menunjang pertukaran gas yang efisien.
Penyakit yang mengancam nyawa ini mengenai sekitar 30.000 sampai 50.000 bayi baru lahir, terutama bayi prematur setiap tahun di Amerika Serikat. Sampai sel-sel penghasil surfaktan cukup matang, pasien harus mendapat terapi antara lain berupa peniupan udara ke dalam paru bayi dengan tekanan yang lebih besar daripada tekanan atmosfer, atau tekanan “positif”. Dengan meningkatkan tekanan atmosfer secara artifisial, dapat terbentuk gradien tekanan yang cukup besar untuk mendorong udara masuk ke dalam paru. Penelitian-penelitian klinis terakhir juga memperlihatkan keberhasilan terapi dengan pengganti surfaktan.
5.12. Dalam Keadaan Normal, Usaha Bernapas hanya Memerlukan 3% dari Pemakaian Energi Total
Selama bernapas tenang dan normal, otot-otot pernapasan harus bekerja selama inspirasi untuk mengembangkan paru melawan gaya-gaya elastik dan mengatasi resistensi saluran pernapasan, sementara ekspirasi adalah suatu proses pasif. Dalam keadaan normal, paru bersifat sangat tunduk (patuh) dan resistensi saluran pernapasan rendah, sehingga hanya sekitar 3% dari pernapasan energi total dipakai oleh tubuh untuk melakukan usaha benapas. Usaha bernapas dapat meningkat pada empat situasi yang berbeda:
1.      Apabila compliance paru menurun, diperlukan kerja lebih keras untuk mengembangkan paru.
2.      Apabila resistensi saluran pernapasan meningkat, diperlukan kerja lebih keras untuk menghasilkan gradien tekanan yang lebih besar untuk mengatasi resistensi, sehingga udara dapat mengalir secara adekuat.
3.      Apabila recoil elastik menurun, ekspirasi pasif mungkin tidak adekuat untuk mengeluarkan volume udara yang secara normal dihembuskan selama bernapas biasa. Dengan demikian, otot-otot abdomen harus bekerja untuk membantu mengosongkan paru, walaupun orang yang bersangkutan sedang beristirahat.
4.      Apabila terdapat peningkatan kebutuhan akan ventilasi, misalnya selama berolahraga, diperlukn kerja lebih keras untuk menghasilkan pernapasan yang lebih dalam (volume udara yang keluar-masuk setiap bernapas menjadi lebih besar) dan lebih cepat (frekuensi bernapas per menit meningkat).
Selama berolahraga berat, jumlah energi ang diperlukan untuk menjalankan ventilasi paru dapat meningkat sampai dua puluh lima kali lipat. Namun, karena pengeluaran energi total oleh tubuh meningkat sampai lima belas atau dua puluh kali lipat selama berolahraga berat, energi yang digunakan untuk melakukan ventilasi tetap hanya sekitar 5% dari pengeluaran energi total.
Sebaliknya, pada pasien yang compliance parunya rendah atau mengidap penyakit paru obstruktif, energi yang diperluka untuk bernapas bahkan ketika istirahat dapat meningkat sampai 30% dari pengeluaran energi total.  Pada kasus ini, kemampuan individu yang bersangkutan untuk berolahraga menurun drastis, karena bernapas itu sendiri sudah menjadi olahraga yang melelahkan.
5.13. Dalam Keadaan Normal, Paru Mengandung Sekitar 2 Sampai 2,5 Liter Udara Selama Siklus Respirasi, tetapi dapat di Isi Sampai 5,5 Liter atau Dikosongkan Sampai Tersisa 1 Liter.
Pada orang dewasa sehat, rata-rata jumlah maksimum udara yang dapat dikandung oleh kedua paru adalah sekitar 5,7 liter pada pria (4,2 liter pada wanita). Bentuk anatomis, usia, distensibilitas paru, dan ada atau tidaknya penyakit pernapasan mempengaruhi kapasitas paru total ini. Secara normal, selama proses bernapas biasa, paru tidak pernah mengalami pengembanagn maksimum atau penciutan yang mendekati volume minimumnya.
Dengan demikian, secara normal paru mengalami pengembangan tingkat sedang selama siklus pernapasan. Pada akhir respirasi tenang (biasa), paru masih mengandung sekitar 2.200 ml udara. Selama satu kali bernapas biasa dalam keadaan istirahat, sekitar 500 ml udara dihirup dan udara dalam jumlah yang sama dihembuskan, sehingga selama bernapas tentang volume paru bervariasi antara 2.200 ml pada akhir ekspirasi dan 2.700 ml pada akhir inspirasi seperti pada Gambar 5.13.1. Selama ekspirasi maksimum, volume paru dapat menurun sampai 1.200 ml pada pria (1.000 ml pada wanita), tetapi paru tidak akan pernah dapat dikosongkan secara total karena saluran pernapasan kecil akan kolaps selama ekspirasi paksa pada volemu paru yang rendah, sehingga aliran keluar udara lebih lanjut dicegah.
Gambar 5.13.1. Rentang Normal Volume Paru pada Pria Dewasa
Sumber: Sherwood. 2001: 431
Konsekuensi penting dari ketidakmampuan mengosongkan paru secara total tersebut adalah bahwa pertukaran gas antara darah yang mengalir ke paru dan udara alveolus yang tersisa dapat tetap berlangsung, bahkan selama ekspirasi maksimum. Malahan, tidak terjadi fluktuasi yang lebar dalam penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 oleh darah karena paru tidak mengalami pengosongan atau pengisian maksimum dalam setiap proses bernapas. Hal ini menyebabkan kandungan gas dalam darah yang keluar dari paru untuk disalurkan ke jaringan tetap konstan selama siklus pernapasan. Selain itu, ingatlah bahwa usaha yang diperlukan untuk mengembangkan alveolus yang sudah mengembang sebagian lebih lebih mudah daripada alveolus yang kolaps total.
Perubahan-perubahan volume paru yang terjadi selama bernapas dapat diukur dengan menggunakan spirometer. Pada dasarnya, sebuah spirometer terdiri dari tong berisi udara yang mengapung dalam wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara ke dalam tong tersebut melalui selang yang menghubungkan mulut ke wadah udara, tong akan naik dan turun di wadah air seperti pada Gambar 5.13.2. Naik-turunnya tong tersebut dapat dicatat sebagai spirogram, yang dikalibrasikan ke perubahan volume. Pena mencatat inspirasi sebagai defleksi ke atas dan ekspirasi sebagai defleksi ke bawah.

Gambar 5.13.2. Spirometer
Sumber: Sherwood. 2001: 431
Gambar 5.13.3. adalah contoh hipotetis sebuah spirogram dari seorang pria dewasa muda sehat.
Gambar 5.13.3. Spirogram Normal pada Pria Dewasa
Sumber: Sherwood. 2001: 431
Secara umum angka-angka untuk wanita lebih rendah. Volume paru dan kapasitas paru berikut ini (kapasitas paru adalah jumlah dari dua atau lebih volume paru) dapat ditentukan:
§  Tidal Volume (TV). Volume udara yang masuk atau keluar paru selama satu kali bernapas. Nilai rata-rata pada keadaan istirahat = 500 ml.
§  Volume Cadangan Inspirasi (inspiratory reserve volme, VCI). Volume tambahan yang dapat secara maksimal dihirup melebihi tidal volume istirahat. VCI dihasilkan oleh kontraksi maksimum diafragma, otot antariga eksternal, dan otot inspirasi tambahan. Nilai rata-ratanya = 3.000 ml.
§  Kapasitas Inspirasi (KI). Volume maksimum udara yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi normal tenang (KI = VCI + TV). Nilai rata-ratanya 3.500 ml.
§  Volume Cadangan Ekspirasi (expiratory reserve volume, VCE). Volume tambahan udara yang dapat secara aktif dikeluarkan oleh kontraksi maksimum melebihi udara yang dikeluarkan secara pasif pada akhir tidal volume biasa. Nilai rata-ratanya = 1.000 ml.
§  Volume Residual (VR). Volume minimum udara yang tersisa di paru bahkan  setelah ekspirasi masimum. Nilai rata-ratanya = 1.200 ml. Volume residual tidak dapat diukur secara langsung dengan spirometer karena volume udara ini tidak keluar-masuk paru. Namun, volume ini dapat diukur secara tidak langsung melalui teknik dilusi-gas berupa penghirupan (inspirasi) gas-pelacak (tracer gas) yang tidak berbahaya dalam jumlah tertentu, misalnya helium.
§  Kapasitas Residual Fungsional (KRF). Volume udara di paru pada akhir ekspirasi pasir normal (KRF = VCE + VR). Nilai rata-ratnya = 2.200 ml.
§  Kapasitas Vital (KV). Volume maksimum udara yang dapat dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah inspirasi maksimum. Subyek mulu-mula melakukan inspirasi maksimm, kemudian melakukan ekspirasi maksimum (KV = VCI + TV + VCE). KV mencerminkan perubahan volume maksimum yang dapat terjadi di dalam paru. Volume ini jarang dipakai karena kontraksi otot maksimum yang terlibat menimbulkan kelelahan, tetapi bermanfaat untuk menilai kapasitas fungsional paru. Nilai rata-ratanya = 4.500 ml.
§  Kapasitas Paru Total (KPT). Volume udara maksimum yang dapat ditampung oleh paru (KPT = KV + VR). Nilai rata-ratanya = 5.700 ml
§  Volume Ekspirasi Paksa dalam Satu Detik (forced expiratory volume, FEV1). Volume udara yang dapat diekspirasi selama detik pertama ekspirasi pada penentuan KV. Biasanya FEV1 adalah sekitar 80% udara yang dapat dipaksa keluar dari paru yang mengembang maksimum dapat dikeluarkan dalam 1 detik pertama. Pengukuran ini memberikan indikasi laju aliran udara maksimum yang dapat terjadi di paru.
Manfaat pengukuran berbagai volume dan kapasitas paru lebih dari sekedar pengetahuan akademik. Pengukuran tersebut memberikan petunjuk bagi dokter yang merawat berbagai penyakit saluran pernapasan. Terdapat dua kategori umum disfungsi pernapasan yang menimbulkan hasil spirometri yang abnormal penyakit paru obstruktif dan restriktif. Walaupun demikian, anda jangan beranggapan bahwa keduanya adalah satu-satunya kategori disfungsi pernapasan atau bahwa spirometri adalah satu-satunya uji fungsi paru. Penyakit lain yang mengenai fungsi pernapasan mencakup (1) penyakit yang mengganggu difusi O2 dan CO2 menembus membran paru; (2) penurunan ventilasi akibat kegagalan mekanis, seperti dada penyakit neuromuskulus yang mengenai otot-otot pernapasan, atau akibat penekanan pusat kontrol pernapasan oleh alkohol, obat, atau zat kimia lain; (3) gangguan aliran darah paru; atau (4) kelainan ventilasi/perfusi yang melibatkan ketidakcocokan udara dan darah, sehingga pertukaran gas menjadi idak efisien. Sebagian penyakit paru sebenarnya adalah campuran dari berbagai jenis gangguan fungsional. Untuk menentukan kelainan apa yang ada, dokter menggunakan berbagai uji fungsi pernapasan selain spirometri, termasuk pemeriksaan sinar-X, penentuan gas-darah, dan pemeriksaan untuk mengukur kapasitas membran kapiler alveolus.
5.14. Ventilasi Alveolus Lebih Rendah dari pada Ventilasi Paru karena Adanya Ruang-Mati
Berbagai perubahan volume hanya mencerminkan satu faktor dalam penentuan ventilasi paru atau minute ventilation, yaitu volume udara yang dihirup dan dihembuskan dalam satu menit. Faktor lain yang penting adalah frekuensi pernapasan (kecepatan bernapas), yang rata-rata sebesar dua belas kali napas per menit.
      Ventilasi paru  =          tidal volume     x          frekuensi pernapasan
        (ml/menit)                  (ml/napasa)                      (napas/menit)
            Pada tidal volume rata-rata sebesar 500 ml/napas dan frekuensi pernapasan 12 kali per menit, ventilasi paru adalah 6.000 ml atau 6 liter udara yang dihirup dan dihembuskan masuk-keluar paru dalam satu menit dibawah kondisi istirahat. Untuk jangka waktu yang singkat, seorang pria dewasa muda sehat dapat secara sengaja meningkatkan ventilasi paru total ini dua puluh lima kali lipat, menjadi 150 liter/menit. Untuk meningkatkan ventilasi paru, baik tidal volume maupun frekuensi pernapasan ditingkatkan, tetapi kedalaman bernapas lebih meningkat dibandingkan dengan frekuensi bernapas.
            Pada saat meningkatkan ventilasi paru, akan lebih menguntungkan jika yang ditingkatkan lebih besar adalah tidal volume dibandingkan dengan frekuensi pernapasan, karena adanya ruang-mati anatomik. Tidak semua udara yang dihirup akan mencapai tempat pertukaran gas di alveolus. Sebagian tetap tertinggal di saluran pernapasan, tidak ikut serta dalam pertukaran gas. Volume saluran pernapasan tersebut pada seorang dewasa adalah sekitar 150 ml. Volume ini dianggap sebagai ruang-mati anatomik (anatomic dead space atau ruang-rugi anatomik) karena udara di dalam saluran pernapasan tidak dapat dimanfaatkan untuk pertukaran gas. Ruang mati anatomik memiliki efek besar pada efisiensi ventilasi paru. Pada kenyataannya, walaupun udara yang masuk-keluar selama setiap kali bernapas adalah 500 ml, hanya 350 ml yang benar-benar dipertukarkan antara atmosfer dan alveolus karena 150 ml menempati ruang-mati anatomik seperti Gambar 5.14.1
Gambar 5.14.1 Efek Volume Ruang Mati
Sumber: Sherwood. 2001: 434
            Karena jumlah udara atmosfer yang mencapai alveolus dan benar-benar tersedia untuk pertukaran gas lebih penting daripada jumlah total udara yang masuk-keluar, ventilasi alveolus – volume udara yang dipertukarkan antara atmosfer dan alveolus per menit – lebih lebih penting dari ventilasi paru. Dalam menentukan ventilasi alveolus, jumlah udara yang masuk dan keluar ruang-mati anatomik harus harus diperhitungkan sebagai berikut:
          Ventilasi alveolus = (tidal volume – volume ruang mati) x frekuensi pernapasan
            Pada pernapasan tenang, ventilasi alveolus adalah 4.200 ml/menit [(500 ml/napas – 150 ml volume ruang-mati) x 12 napas/menit = 4.200 ml/menit], sementara ventilasi paru adalah 6.000 ml/menit.
            Untuk memahami seberapa penting volume ruang-mati dalam menentukan tingkat ventilasi alveolus, kajilah efek berbagai pola bernapas pada ventilasi alveolus di Tabel 5.14. Jika seseorang dengan sengaja bernapas dalam (sebagai contoh, tidal volume 1.200 ml) dan lambat (misalnya frekuensi pernapasan 5 kali/menit), ventilasi paru adalah 6.000 ml, sama seperti selama bernapas tenang pada keadaan istirahat, tetapi ventilasi alveolus meningkat menjadi 5.250 ml/menit dibandingkan pada saat istirahat yang sebesar 4.200 ml/menit. Sebaliknya, apabila seseorang secara sengaja bernapas dangkal (sebagai contoh, tidal volume 150 ml/menit) dan cepat (frekuensi 40 kali/menit), ventilasi paru akan tetap 6.000 ml/menit; tetapi ventilasi alveolus akan menjadi 0 ml/menit. Sebenarnya orang tersebut hanya menghirup dan menghembuskan udara ke ruang-mati anatomik tanpa adanya pertukaran udara antara atmosfer dan alveolus yang dapat berguna.
Tabel 5.14.2 Pengaruh Berbagai Pola Bernapas pada Ventilasi Alveolus
Pengaruh
Pola Bernapas
Tidal Volume (Munapas)
Frekuensi Pernapasan (Napas/Menit)
Volume Ruang-Mati (Ml)
Ventilasi Paru (Ml/Menit)*
Ventilasi Alveolus (Ml/Menit)**
Bernapas tenang pada saat istirahat

Bernapas lambat- dalam

Bernapas cepat-dangkal
500




1.200



150
12




5



40
150




150



150
6.000




6.000



6.000
4.200




5.250



0
*setara dengan tidal volume kali frekuensi pernapasan.
**setara dengan (tidal volume dikurangi volume ruang-mati) dikali frekuensi kecepatan     pernapasan
            Orang tersebut dapat mempertahankan pola bernapas seperti itu untuk selama beberapa menit saja sebelum kehilangan kesadaran, yakni pada saat pola bernapas akan kembali normal.
            Jelaslah sekarang bahwa peningkatan kedalaman bernapas yang lebih besar ketika ventilasi paru meningkat karena berolahraga secara refleks akan lebih bermanfaat daripada peningkatan frekuensi bernapas. Hal tersebut merupakan cara paling efisien untuk menaikan ventilasi alveolus. Jika tidal volume meningkat, keseluruhan peningkatan tersebut menyebabkan peningkatan ventilasi alveolus. Jika frekuensi bernapas meningkat, frekuensi udara yang tersia-sia di ruang-mati juga meningkat, karena setiap kali bernapas sebagian udara akan masuk-keluar ruang-mati. Karena kebutuhan berubah-ubah, ventilasi biasanya disesuaikan dengan tidal volume dan frekuensi bernapas yang memenuhi kebutuhan tersebut secara paling efisien dalam kaitannya dengan biaya energi.
            Kita menganggap bahwa semua udara atmosfer yang memasuk alveolus ikut serta dalam perukaran O2 dan CO2 dengan darah paru. Walaupun demikian, kecocokan antara udara dan darah tidak selalu sempurna, karena tidak semua alveolus secara merata mendapat ventilasi udara dan dialiri oleh darah. Setiap alveolus yang mendapat ventilasi namun tidak ikut serta dalam pertukaran gas dengan darah karena perfusinya tidak adekuat dianggap sebagai ruang-mati alveolus (alveolar dead-space). Pada orang normal, ruang-mati alveolus cukup kecil dan kurang penting, tetapi ruang ini dapat meningkat bahkan ke tingkat fatal pada beberapa jenis penyakit paru.
6.  Pertukaran Gas
6.1. Gas Berpindah Mengikuti Penurunan Gradien Tekanan
            Tujuan akhir bernapas adalah secara terus-menrus menyediakan pasokan O2 segar untuk diserap oleh darah dan mengelurkan CO2 dari darah. Darah berfungsi sebagai sistem transportasi untuk O2 dan CO2 antara paru dan jaringan, dengan sel jaringan mengekstraksi O2 dari darah dan mengeliminasi CO2 ke dalamnya. Pertukaran gas ditingkat kapiler paru dan kapiler jaringan terjadi melalui difusi pasif sederhana O­2 dan CO2 mengikuti penurunan gradien tekanan parsial. Tidak terdapat mekanisme transportasi aktif bagi kedua gas tersebut. Marilah kita membahas apa yang dimaksud dengan gradien tekanan parsial dan bagaimana gradien tersebut terbentuk.
            Udara atmosfer normal yang kering adalah campuran gas-gas yang mengandung sekitar 79% nitrogen (N2) dan 21% O2, dengan persentase CO2, uap H2O, gas lain, dan polutan hampir dapat diabaikan. Secara bersama-sama, gas-gas ini menghasilkan tekanan atmosfer total sebesar 760 mmHg pada ketinggian permukaan laut. Tekanan total ini setara dengan jumlah tekanan setiap gas dalam campuran tersebut. Tekanan yang ditimbulkan oleh gas tertentu berbanding lurus dengan persentase gas tersebut dalam campuran udara total. Setiap molekul gas, berapapun ukurannya, menimbulkan besar tekanan yang sama; sebagai contoh, sebuah molekul N2 menimbulkan teknanan yang sama besarnya dengan yang ditimbulkan oleh sebuah molekul O2. Karena 79%% udara terdiri dari molekul N2, 79% dari 760 mmHg tekanan atmosfer, atau 600 mmHg, ditimbulkan oleh molekul N2. Demikian juga, karena O2 mewakili 21% atmosfer, 21% dari tekanan atmosfer 760 mmHg, atau 160 mmHg, ditimbulkan oleh O2 seperti Gambar 6.1. Setiap tekanan yang secara independen ditimbulkan oleh gas tertentu di dalam campuran gas dikenal sebagai tekanan parsial, yang dinyatakan sebagai Pgas. Dengan demikian, tekanan parsial O2 di udara atmosfer, Po, dalam keadaan normal adalah 160 mmHg. Tekanan parsial CO2 di atmosfer, PCO2, dapat diabaikan, yaitu 0,3 mmHg.
Gambar 6.1. Konsep Tekanan Parsial
Sumber: Sherwood. 2001: 436
            Gas-gas yang larut dalam cairan, misalnya darah atau cairan tubuh lain, juga dianggap menimbulkan tekanan parsial. Jumlah gas yang akan larut dalam darah bergantung pada daya larut (solubilitas) gas dalam darah dan tekanan parsial gas dalam udara alveolus tempat darah terpajan. Karena daya larut O2 dan CO2 dalam darah konstan, jumlah O2 dan CO2 yang larut dalam darah kapiler paru berbanding lurus dengan PO2 dan PCO2 alveolus. Tekanan parsial alveolus dari suatu gas tertentu dapat dianggap “menahan” gas tersebut dalam larutan darah.
            Seperti pada kasus O2 tekanan parsial suatu gas dalam alveolus lebih tinggi daripada tekanan gas parsial gas tersebut dalam darah  yang memasuki kapiler paru, tekanan parsial alveolus yang lebih tinggi mendorong lebih banyak O2 masuk ke daam darah. Oksigen berdifusi dari alveolus dan larut dalam darah sampain PO2 darah setara dengan PO2 alveolus. Sebaliknya, apabila tekanan parsial suatu gas dalam alveolus lebih rendah daripada tekanan parsialnyanya di darah seperti yang terjadi pada CO2 tekanan parsial alveolus yang lebih rendah menyebabkan sebagian CO2 keluar dari larutan (jadi, tidak lagi terlarut) dalam darah. Setelah keluar dari larutan, CO2 berdifusi ke dalam alveolus PCO2 darah setara dengan PCO2 alveolus. Perbedaan tekanan parsial antara darah paru dan udara alveolus tersebut dikenal sebagai gradien tekanan parsial. Suatu gas selalu berdifusi mengikuti penurunan gradien tekanan parsial dari daerah dengan tekanan parsial tinggi ke daerah dengan tekanan parsial rendah, serupa dengan difusi mengikuti penurunan gradien konsentrasi.


6.2. Oksigen Masuk dan CO2 Keluar dari Darah di Paru Secara Pasif Mengikuti Penurunan Gradien Tekanan Parsial.
            Komposisi udara alveolus tidak sama dengan udara atmosfer yang dihirup karena dua alasan. Pertama, segera setelah udara atmosfer memasuki saluran pernapasan, udara tersebut mengalami kejenuhan H2O akibat pajanan ke saluran pernapasan yang lembab.
            Uap air juga menimbulkan tekanan parsial seperti gas lainnya. Pada suhu tubuh, tekanan parsial uap H2O adalah 47 mmHg. Pelembaban (humidifikasi) udara yang masuk pada dasarnya menyebabkan “Pengenceran” tekanan parsial gas-gas yang masuk sebesar 47 mmHg, karena jumlah tekanan parsial harus sama dengan tekanan atmosfer sebesar 760 mmHg. Pada udara lembab, P H2O = 47 mmHg, PN2 = 563 mmHg, dan PO2 = 150 mmHg.
            Kedua, PO2 alveolus juga lebih rendah daripada PO2 atmosfer karena udara inspirasi segar tercampur dengan sejumlah besar udara lama yang berada di paru da ruang mati pada akhir ekspirasi sebelumnya (kapasitas residual fungsional). Hanya sekitar sepertujuh udara alveolus total yang diganti oleh udara segar dari atmosfer setiap kali bernapas. Dengan demikian, pada akhir inspirasi, kurang dari 15% udara di alveolus yang merupakan udara segar. Akibat humidifikasi dan rendahnya tingkat pertukaran udara alveolus, PO2 alveolus rata-rata adalah 100 mmHg, dibandingkan dengan PO2 atmosfer sebesar 160 mmHg.
            Masuk akal apabila ada anggapan bahwa PO2 alveolus akan meningkat selama inspirasi dengan datangnya udara segar dan akan menurun selama ekspirasi. Namun, fluktuasi kecil PO2, hanya beberapa mmHg, terjdi karena dua alasan. Pertama, setiap kali bernapas, hanya sebagian kecil dari udara alveolus total yang dipertukarkan. Volume udara inspirasi ber- PO2-tinggi yang relatif kecil dengan cepat tercampur dengan udara yang tertahan di alveolus yang jumlahnya jauh lebih besar dan memiliki PO2 lebih rendah. Dengan demikian, O2 dalam udara inspirasi hanya dapat meningkatkan sedikit PO2 alveolus total. Bahkan peningkatan kecil PO2 ini akan hilang karena sebab lain. Oksigen secara terus-menerus berpindah melalui proses difusi pasif mengikuti penurunan gradien tekanan parsial dari alveolus ke dalam darah. Oksigen yang tiba di alveolus dalam udara inspirasi hanya menggantikan O2 yang berdifusi ke luar alveolus dan masuk ke dalam kapiler paru. Dengan demikian, PO2alveolus tetap konstan sekitar 100 mmHg sepanjang siklus pernapasan. Karena PO2 darah paru berada dalam keseimbangan dengan PO2 alveolus, PO2 darah juga akan berada dalam kisaran yang cukup konstan pada angka tersebut. Karenanya, selama siklus inspirasi jumlah O2 dalam darah yang tersedia untuk jaringan tidak banyak berubah-ubah.
Situasi serupa dalam arah berlawanan berlaku untuk CO2. Karbon dioksida, yang secara terus-menerus diproduksi oleh jaringan tubuh sebagai produk sisa metabolisme, secara konstan ditambahkan ke darah ditingkat kapiler sistemik. Di kapiler paru, CO2 berdifusi mengikuti penurunan gradien tekanan parsial dari darah ke dalam alveolus dan kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui ekspirasi. Seperti O2, PCO2 alveolus relatif konstan sepanjang siklus pernapasan, tetapi dengan angka yang lebih rendah, yaitu 40 mmHg. Ventilasi secara terus-menerus mengganti PO2 alveolus, sehingga tekanan gas tersebut relatif tinggi, dan  secara terus menerus mengeluarkan CO2, sehingga PCO2 alveolus relatif rendah. Dengan demikian, gradien tekanan parsial antara alveolus dan darah dapat dipertahankan, sehingga O2 dapat masuk ke darah dan CO2 keluar dari darah.
            Darah yang masuk ke kapiler paru adalah darah vena sistemik yang dipompa ke paru melalui arteri pulmonalis. Darah ini, yang baru kembali dari jaringan tubuh, mengandung O2 yang relatif rendah dengan PO2 40 mmHg, dan relatif mengandung banyak CO2, dengan PCO2 46 mmHg. Pada saat mengalir melalui kapiler-kapiler paru, darah ini terpajan ke udara alveolus seperti Gambar 6.2. Karena PO2 alveolus 100 mmHg (lebih tinggi daripada PO2 darah yang masuk ke paru yaitu 40 mmHg), O2 berdifusi mengikuti penurunan gradien tekanan parsial dari alveolus ke dalam darah sampai tidak lagi terdapat gradien. Pada saat meninggalkan kapiler paru, darah memiliki PO2 setara dengan PO2 alveolus, yaitu 100 mmHg. Gradien tekanan parsial untuk CO2 memiliki arah yang berlawanan. Darah yang masuk ke kapiler paru memiliki PCO2 46 mmHg, sementara PCO2 berada dalam keseimbangan alveolus dengan PCO2 alveolus. Dengan demikian, darah yang meninggalkan kapiler paru memiliki PCO2 40 mmHg. Sewaktu melewati paru, darah menyerap O2 dan menyerahkan CO2 hanya dengan proses difusi mengikuti penurunan gradien tekanan parsial yang terdapat antara darah dan alveolus.
Gambar 6.2. Pertukaran O2 dan CO2
Sumber: Sherwood. 2001: 437
            PO2 alveolus relatif tetap tinggi dan PCO2 alveolus relatif tetap rendah karena sebagian udara alveolus ditukar dengan udara atmosfer segar setiap kali bernapas. Sebaliknya, darah vena sistemik yang memasuki paru relatif kurang mengandung O2 dan banyak mengandung CO­­2, setelah melepaskan O2 dan menyerap CO2 di tingkat kapiler sistemik. Hal ini menciptakan gradien tekanan parsial antara udara dan alveolus dan darah kapiler paru yang menginduksi difusi pasif O2 ke dalam darah dan CO2  keluar dari darah sampai tekanan parsial di darah dan alveolus seimbang. Dengan demikian, darah yang meninggalkan paru relatif lebih banyak mengandung O2 dan lebih sedikit mengandung CO2 dibandingkan dengan tekanan parsial di sel-sel jaringan pengkonsumsi O2 dan penghasil CO2. Akibatnya, gradien tekanan parsial untuk pertukaran gas di tingkat jaringan mendorong perpindahan pasif O2 keluar dari darah dan masuk ke sel untuk menunjang kebutuhan metabolisme sel tersebut serta juga mendorong perpindahan CO2 ke dalam darah. Darah kemudian kembali ke paru untuk sekali lagi terisi O2 dan mengeluarkan CO2. PO2 dan PCO2 arteri sistematik biasanya relatif konstan setelah melakukan keseimbangan dengan tekanan parsial alveolus, yang pada dasarnya selalu konstan. Sebaliknya, PO2 dan PCO2 vena sistemik berubah-ubah, bergantung pada tingkat aktivitas metabolisme.
            Setelah meninggalkan paru, darah, yang sekarang memiliki PO2 100 mmHg dan PCO2 40 mmHg, kembali ke jantung untuk kemudian dipompa ke jaringan tubuh sebagai darah arteri sistematik.
            Perhatikan bahwa darah yang kembali ke paru masih mengandung CO2 (PCO2 darah vena sistematik = 40 mmHg) dan bahwa darah yang keluar dari paru masih mengandung CO2 (PO2 darah vena sistemik = 40 mmHg) dan bahwa darah yang keluar dari paru masih mengandung CO2 (PCO2  darah arteri sistemik = 40 mmHg). Tambahan O2 yang diangkut dalam darah melebihi jumlah normal yang diserahkan ke jaringan mencerminkan cadangan O2 yang dapat segera digunakan oleh sel-sel jaringan manakala kebutuhan O2 mereka meningkat. Karbon dioksida yang menetap dalam darah bahkan setelah darah melewati paru berperan penting pada keseimbanagan asam-basa tubuh, karena CO2 menghasilkan asam karbonat. Selain itu, PCO2 arteri penting untuk mengendalikan pernapasan. Mekanisme ini, akan dibahas kemudian.
            Jumlah O2 yang diserap oleh paru sesuai dengan jumlah yang diekstraksi dan digunakan oleh jaringan. Apabila jaringan melakukan metabolisme secara lebih aktif (misalnya pada saat berolahraga), lebih banyak O2 yang diekstraksi dari darah di tingkat jaringan, sehingga PO2 vena sistemik berkurang menjadi lebih rendah daripada 40 mmHg – misalnya PO2 menjadi 30 mmHg. Sewaktu darah ini kembali ke paru, terbentuk gradien PO2 yang lebih besar dari normal antara darah yang baru datang dan udara alveolus. Perbedaan PO2 antara alveolus dan darah sekarang menjadi 70 mmHg (PO2 alveolus 100 mmHg dan PO2 darah 30 mmHg), dibandingkan dengan gradien PO2 normal sebesar 60 mmHg (PO2 alveolus 100 mmHg dan PO2 darah 40 mmHg). Dengan demikian, lebih banyak O2 yang berdifusi dari alveolus ke dalam darah mengikuti penurunan gradien tekanan parsial sebelum PO2 darah setara dengan PO2 alveolus. Peningkatan perpindahan O2 ke dalam darah ini menggantikan peningkatan jumlah O2 yang dikonsumsi, sehingga penyerapan O2 sesuai dengan pemakaian O2 bahkan sewaktu konsumsi O2 ditingkatkan. Pada saat yang sama ketika lebih banyak O2 berdifusi dari alveolus ke dalam darah karena peningkatan gradien tekanan parsial, ventilasi terangsang sehingga O2 dari atmosfer yang masuk ke alveolus lebih cepat untuk mengganti O2 yang berdifusi ke dalam darah.
Demikian juga, jumlah CO2 dari darah yang dipindahkan ke alveolus sesuai dengan jumlah CO2 yang diserap di jaringan. Sekali lagi, peningkatan ventilasi yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas akan memastikan bahwa terjadi peningkatan jumlah CO2 yang disalurkan ke alveolus untuk dikeluarkan ke atmosfer.
6.3. Faktor di luar gradien tekanan parsial mempengaruhi kecepatan perpindahan gas.
            Kita telah membahas difusi O2 dan CO2 antara darah dan alveolus seolah-olah gradien tekanan parsial gas-gas ini merupakan penentu satu-satunya kecepatan difusi mereka. Ingatlah bahwa, menurut hukum difusi Fick, kecepatan difusi suatu gas melintasi selembar jaringan juga bergantung pada luas permukaan dan ketebalan membran yang harus dilewati gas serta koefisien difusi gas tertentu seperti pada Tabel 6.3. Dalam keadaan normal, perubahan kecepatan pertukaran gas terutamam ditentukan oleh perubahan gradien tekanan parsial antara darah dan alveolus, karena pada keadaan istirahat faktor lain ini relatif konstan.
Tabel 6.3 Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Pertukaran Gas Melintasi Membran Alveolus
Faktor yang Mempengaruhi Kecepatan Pertukaran Gas
Faktor
Pengaruh Pada Kecepatan Pertukaran Gas Melintasi Membran Alveolus
Komentar
Gradien tekanan parsial O2 dan CO2

Luas permukaan membran alveolus














Ketebalan sawar memisahkan udara dan dara melintasi membran alveolus



Koefisien difusi (daya larut gas dalam membran)
Kecepatan pertukaran ↑ jika luas permukaan ↑

Kecepatan pertukaran ↑ jika luas permukaan ↑














Kecepatan pertukaran ↓ jika ketebalan ↑





Kecepatan pertukaran gas ↑ jika koefisien difusi ↑
Penentu utama kecepatan pertukaran

Luas permukaan bersifat tetap pada keadaan istirahat
Luas permukaan ↑ selama olahraga karena semakin banyak jumlah paru yang terbuka saat curah jantung meningkat dan alveolus lebih banyak yang mengembang karena bernapas menjadi lebih dalam
Luas permukaan turun ↓ pada keadaan patologis, misalnya emfisema atau atelektasis

Dalam keadaan normal, ketebalan tidak berubah
Ketebalan ↑ pada keadaan patologis, misalnya edema paru, fibrosis paru, dan pneumonia

Koefisien difusi untuk CO2 lebih besar20 kali lipat dibandingkan O2, mengimbangi gradien tekanan parsial CO2 yang dipindahkan menembus membran kira-kira setara

            Walaupun demikian, selama olahraga, luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran dapat meningkat secara fisiologis untuk meningkatkan kecepatan pertukaran gas. Pada keadaan istirahat, sebagian kapiler paru biasanya tertutup karena tekanan sirkulasi paru, yang secara normal rendah, tidak mampu membuka semua kapiler yang ada. Selama olahraga, pada saat tekanan darah paru meningkat akibat peningkatan curah jantung, banyak kapiler paru yang sebelumnya tertutup menjadi terbuka. Hal ini meningkatkan luas permukaan darah yang tersedia untuk proses pertukaran. Selain itu, selama olahraga membran alveolus lebih teregang daripada normal karena peningktan tidal volume (bernapas lebih dalam). Peregangan itu meningkatkan luas permukaan alveolus dan menurunkan ketebalan membran alveolus. Secara kolektif, perubahan-perubahan di atas meningkatkan pertukaran gas selama olahraga.
            Di pihak lain, beberapa keadaan patologis sangat menurunkan luas permukaan paru, dan pada gilirannya, menurunkan kecepatan pertukaran gas. Luas permukaan berkurang pada emfisema karena banyak didnding alveolus yang lenyap, sehingga terbentuk ruang-ruang udara yang lebih besar tetapi lebih sedikit. Berkurangnya luas permukaan untuk pertukaran gas juga dapat terjadi akibat adanya atelekstasis paru serta serta akibat hilangnya sebagian jaringan paru karena pengangkatan secara bedah – misalnya dalam pengobatan kanker paru.
            Pertukaran gas yang tidak adekuat juga dapat terjadi apabila ketebalan sawar yang memisahkan udara dan darah meningkat secara patologis. Pabila ketebalan meningkat, kecepatan pertukaran gas berkurang karena gas harus menempuh lintasan yang lebih jauh untuk berdifusi. Ketebalan meningkat pada (1) edema paru, suatu penimbunan berlebihan cairan interstisium di antara alveolus dan kapiler paru akibat peradangan paru atau gagal jantung kongestif  (2) fibrosis paru yang melibatkan penggantian jaringan paru oleh jaringan fibrosa tebal sebagai respons terhadap iritasi kronik tertentu, dan (3) pneumonia, yang ditandai oleh penimbunan cairan peradangan di dalam atau di sekitar alveolus. Biasanya pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus, tetapi juga dapat terjadi dari aspirasi (masuk ke jalan napas) secara tidak sengaja makanan, muntahan, atau bahan kimiawi.
            Kecepatan perpindahan gas berbanding lurus dengan koefisien difusi (D), suatu konstanta yang berkaitan dengan daya larut gas tertentu di jaringan paru dan dngan berat molekulnya (D ∞ sol√bm). Koefisien difusi untuk CO2 adalah dua puluh kali lebih besar dari O2 ­ karena CO2 jauh lebih muda larut dalam jaringan tubuh daripada O2.
            Dengan demikian, kecepatan difusi CO2 menembus membran pernapasan dua puluh kali lebih cepat daripada kecepatan O2 untuk gradien tekanan parsial yang sama. Perbedaan dalam koefisien difusi ini secara normal diimbangi oleh perbedaan gradien tekanan parsial yang terdapat untuk O2 dan CO2 melintasi membran kapiler alveolus. Gradien tekanan parsial CO2 adalah 6 mmHg (PCO2 darah 46 mmHg; PCO2 alveolus 40 mmHg), dibandingkan dengan gradien tekanan parsial O2 60 mmHg (PO2  di alveolus 100 mmHg; PO2 di darah 40 mmHg).
            Secara normal, diperkirakan terjadi pertukaran O2 dan CO2 dalam jumlah setara-sebesar kuosien pernapasan. Walaupun volume tertentu darah menghabiskan tiga-perempat detik melewati jaringan kapiler paru, PO2  dan PCO2 biasanya sudah berada dalam keseimbangan dengan tekanan parsial alveolus pada saat darah sudah menjalani sepertiga lintasan kapiler paru. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan normal paru memiliki cadangan difusi yang besar, suatu kenyataan yang sangat penting selama kita berolahraga berat. Waktu yang dipakai oleh darah untuk transit di kapiler paru berkurang apabila aliran darah paru meningkat seiring dengan peningkatan curah jantung yang menyertai olahraga. Walaupun waktu yang tersedia untuk pertukaran gas memendek, PO2 dan PCO2 darah secara normal tetap mampu menyamai kadar alveolus karena adanya cadangan difusi paru tersebut.
            Pada paru yang sakit, difusi mengalami gangguan akibat penurunan luas permukaan atau penebalan sawar darah-udara. Pada keadaan demikian, pertukaran O2 biasanya jauh lebih terpengaruh daripada pertukaran CO2 karena koefisien difusi CO2 yang lebih besar. Pada saat darah mencapai akhir jaringan kapiler paru, darah tersebut kemungkinan telah lebih berhasil menyetarakan  PCO2 –nya dengan PCO2 alveolus, daripada PO2-nya , karena CO2 mungkin adekuat sewaktu dalam keadaan istirahat, tetapi selama berolahraga, ketika waktu transit di paru berkurang, gas-gas darah, terutama O2, mungkin belim mencapai keseimbangan dengan gas-gas alveolus setelah darah meninggalkan paru.
6.4. Pertukaran Gas Melintasi Kapiler Sistemik juga Mengikuti Penurunan Gradien Tekanan Parsial
            Seperti di kapiler paru, O2 dan CO2 berpindah antara darah kapiler sistemik dan sel jaringan melalui proses difusi pasif mengikuti penurunan gradien tekanan parsial. Darah arteri yang mencapai kapiler sistemik pada dasarnya adalah darah yang sama dengan yang meninggalkan paru melalui vena pulmonalis, karena dari keseluruhan sistem sirkulasi hanya terdapat dua tempat pertukaran gas, yaitu kapiler paru dan kapiler sistemik. PO2  arteri adalah 100 mmHg dan PCO2 arteri adalah 40 mmHg; sama seperti PO2  dan PCO2 alveolus.
            Sel secara terus-menerus mengkonsumsi O2 dan menghasilkan CO2 melalui metabolisme oksidatif. PO2 sel besarnya rata-rata 40 mmHg dan PCO2­-nya sekitar 46 mmHg, walaupun angka-angka ini sangat bervariasi, bergantung pada tingkat aktivitas metabolisme sel. Oksigen berpindah mengikuti penurunan gradien tekanan parsial dari memasuki darah kapiler sistemik (PO2 = 100 mmHg) sampai tercapai keseimbangan. Dengan demikian, PO2 darah vena yang meninggalkan kapiler sistemik setara dengan PO2 jaringan dengan rata-rata 40 mmHg. Situasi yang berlawanan berlaku untuk CO2. Karbon dioksida dengan cepat berdifusi ke luar sel (PCO2 = 46 mmHg) untuk masuk ke darah kapiler (PCO2 = 40 mmHg) mengikuti penurunan gradien tekanan parsial yang tercipta akibat produksi terus-menerus CO2. Perpindahan CO2 berlangsung terus sampai PCO2 darah seimbang dengan PCO2  jaringan1. Dengan demikian, darah yang meninggalkan kapiler sistemik meiliki PCO2 rata-rata 46 mmHg. Darah vena sistemik ini, yang secara relatif mengandung sedikit O2 (PO2 = 40 mmHg) dan banyak CO2 (PCO2 = 46 mmHg), kembali ke jantung dan kemudian dipompa ke paru untuk mengulangi siklus peredaran darah.
            Semakin aktif suatu jaringan melakukan metabolisme, semakin rendah PO2 sel turun dan semakin tinggi PCO2  sel meningkat. Akibat peningkatan gradien tekanan parsial darah ke sel-sel, lebih banyak O2 yang berdifusi dari darah ke dalam sel dan lebih banyak CO2 yang keluar dengan arah berlawanan sampai PO2 dan PCO2 darah mencapai keseimbangan dengan sel-sel di sekitarnya. Dengan demikian, jumlah O2 yang dipindahkan ke sel dan jumlah CO2 yang di bawa keluar sel bergantung pada tingkat metabolisme sel.
            Perhatikan bahwa difusi netto O2 pertama-tama terjadi antara alveolus dan darah dan kemudian antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial O2 yang tercipta oleh penggunaan terus-menerus O2 oleh sel dan penggantian terus-menerus O2 segar di alveolus oleh proses ventilasi alveolus. Difusi netto CO2 berlangsung dengan arah berlawanan, pertama antara jaringan dan darah dan kemudian antara darah dan alveolus, akibat adanya gradien tekanan parsial CO2 yang tercipta oleh pembentukan terus-menerus CO2 di sel dan pengeluaran CO2 oleh alveolus melalui proses ventilasi alveolus seperti pada Gambar 6.4.
Gambar 6.4. Gradien Difusi Netto O­ dan CO­
Sumber: Sherwood. 2001: 440



7.      Transportasi Gas
Sebagian besar O2 dalam darah diangkut oleh hemoglobin. Oksigen yang diserap oleh darah harus diangkut ke jaringan agar dapat digunakan oleh sel-sel. Sebaliknya CO2 yang diproduksi oleh sel-sel harus diangkut ke paru-paru untuk dieliminasi.
Di dalam darah, oksigen terdapat dalam dua bentuk: larut secara fisik dan terikat secara kimiawi ke hemoglobin seperti pada Tabel 6.1. O2 yang secara fisik larut dalam air plasma, jumlahnya sangat sedikit karena O2 kurang larut dalam cairan tubuh. Jumlah yang terlarut berbanding lurus dengan PO2 darah; semakin tinggi PO2 semakin mudah larut O2. Pada PO2 arteri normal sebesar 100 mmHg, hanya 3 ml O2 yang dapat larut dalam 1 liter darah. Dengan demikian, hanya 15 ml O2/menit yang dapat dilarutkan dalam aliran darah yang paru normal yang besarnya 51/menit (curah jantung istirahat). Bahkan pada keadaan istirahat, sel mengkonsumsi sampai 250 ml O2/menit, dan jumlah dapat meningkat sampai dua puluh lima kali lipat selama olahraga berat. Untuk menyalurkan O2 yang diperlukan oleh jaringan bahkan dalam keadaan istirahat, curah jantung harus mencapai 83,3 liter/menit apabila O2 hanya dapat diangkut dalam bentuk terlarut. Jelaslah, harus terdapat mekanisme lain untuk mengangkut O2 ke jaringan. Mekanisme ini adalah hemoglobin (Hb). Hanya 1,5% O2 dalam darah yang larut; sisanya (98,5%) diangkut bersama dengan Hb. O2 yang terikat ke Hb ini tidak ikut menentukan PO2 darah; dengan demikian, PO2 darah bukan ukuran kandungan O2 total dalam darah melainkan hanya bagian O2 yang larut.
Tabel 7.a Metode Transportasi Gas dalam Darah
Gas
Metode Transportasi Dalam Darah
Persentase Yang Diangkut Dalam Bentuk Ini
O2


CO2

Larut secara fisik
Terikat ke hemoglobin

Larut secara fisik
Terikat ke hemoglobin
Sebagai bikarbonat (HCO2)
1,5
98,5

10
30
60

            Hemoglobin, suatu molekul protein yang mengandung besi, memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan longgar-reversibel dengan O2. Apabila tidak berikatan dengan O2, Hb desebut sebagai hemoglobin tereduksi; apabila berikatan dengan O2, Hb disebut sebagai oksihemoglobin (HbO2).
                        Hb       +          O2                                HbO2
                   Hemoglobin        Reduksi                    Oksihemoglobin
            Kita perlu menjawab beberapa peratanyaan penting mengenai peranan Hb dalam transportasi O2. Apa yang menentukan apakah O2 dan Hb akan berikatan atau berdisiosasi (terpisah)? Mengapa Hb berikatan denganO2 di paru dan membebaskan O2 di jaringan? Bagaimana O2 di bebaskan dalam jumlah bervariasi di tingkat jaringan, bergantung pada tingkat aktivitas jaringan? Bagaimana kita membahas perpindahan O2 antara darah dan jaringan di sekitarnya berdasarkan gradient tekanan parsial O2 ketika 98,5% O2 terikat ke Hb dan dengan demikian sama  sekali tidak ikut menentukan PO2?
            Akibat ventilasi alveolus yang secara terus menerus memasukkan O2 segar dan sel-sel secara terus menerus menggunakan O2, tercipta gradien netto untuk difusi CO2 mula-mula dari alveolus ke darah dan kemudian dari darah kejaringan. Dalam arah yang berlawanan terbentuk gradien netto untuk difusi CO2 mula-mula dari sel jaringan ke darah dan kemudian dari darah ke alveolus. Gradiend ini disebabkan oleh produksi terus menerus CO2 di tingkat jaringan dan pengeluaran terus menerus CO2 dari alveolus oleh ventilasi alveolus.
            PO2  adalah faktor utama yang menentukan persen saturasi hemoglobin. Masing-masing dari ke empat atom besi di bagian hem molekul hemoglobin mampu berikatan dengan sebuah molekul O2, sehingga setiap molekul Hb dapat mengangkut sampai empat molekul O2. Hemoglonin dianggap jenuh apabila semua Hb yang ada mengakut O2 secara maksimum. Persen saturasi hemoglobin (%Hb), suatu ukuran seberapa banyak Hb yang berikatan dgn O2, dapat bervariasi dr 0% sampai 100%.
            Faktor terpenting yang menentukan % saturasi Hb adalah PO2  darah, yang pada gilirannya, berkaitan dengan konsentrasi O2 yang secra fisik larut dalam darah. Menurut hukum aksi massa, apabila konsentrasi salah satu bahan terlibat dalam sebuah reaksi reversible meningkat, reaksi akan mengarah ke sisi yang berlawanan. Sebaliknya, apabila konsentrasi salah satu zat berkurang, reaksi akan mengarah ke sisi tersebut. Dengan menerapkan hukum ini pada reaksi reversible yang melibatkan  Hb dan O2
(Hb + O2             HbO2), apabila PO2 darah meningkat, misalnya ketika kapiler paru, reaksi akan mengarah ke sisi kanan persamaan, sehingga terjadi peningkatan pembentukan HbO2 (peningkatan % saturasi Hb). Apabila PO2  darah berkurang, misalnya pada saat di kapiler sistemik, reaksi akan mengarah ke sisi kiri persamaan dan oksigen akan dibebaskan dari Hb ketika HbO2 terurai (penurunan % saturasi Hb). Dengan demikian, karena adanya perbedaan PO2  di paru dan jaringan lain, Hb secara otomatis “mendapat” O2 di paru, tempat pasokan O2 segar secara terus menerus diberikan oleh ventilasi, dan “menumpahkan” O2 di jaringan, yang secara terus menerus menggunakan O2.
            Walaupun demikian, hubungan antara PO2  darah dan % saturasi hemoglobin tidaklah linier, suatu hal yang sangat penting secara fisiologis. Peningkatan dua kali lipat tekanan parsial tidak menyebabkan peningkatan dua kali lipat % saturasi Hb. Hubungan antara variabel-variabel tersebut dinyatakan dalam suatu kurva berbentuk huruf S yang dikenal sebagai kurva disosiasi (saturasi) O2 –Hb seperti pada Gambar 6.1. Perhatikan bahwa di ujung bagian atas, antara PO2  darah 60 dan 100 mmHg, kurva mendatar, atau membentuk plateu. Dalam rentang tekanan ini peningkatan PO2 hanya sedikit meningkatkan tingkat saturasi hemoglobin. Sebaliknya, dalam rentang PO2  0 sampai 60 mmHg, perubahan kecil PO2  menimbulkan perubahan besar tingkat saturasi hemoglobin, seperti diperlihatkan oleh bagian bawah kurva yang curam. Baik bagian atas maupun bawah kurva tersebut memiliki makna fisiologis.
Gambar 7.b. Kurva Disosiasi (Saturasi) Oksigen-Hemoglobin (O2-Hb)
Sumber: Sherwood. 2001: 441
            Makna Bagian Mendatar pada Kurva O2-Hb Bagian mendatar kurva terletak pada rentang PO2  darah yang terdapat di kapiler paru tempat O2 sedang digabungkan dengan Hb. Darah arteri sistemik yang keluar dari paru, setelah mengalami keseimbangan dengan PO2 100 mmHg. Dengan melihat kurva O2-Hb, perhatikan bahwa pada PO2 darah 100 mmHg, 97,5% Hb mengalami saturasi. Dengan demikian, Hb dalam darah arteri sistematik hampir tersaturasi sempurna.
            Apabila PO2 alveolus dan dengan demikian PO2 arteri turun di bawah normal, hanya terjadi sedikit penurunan jumlah total O2 yang diangkut oleh darah sampai O2 turun di bawah 60 mmHg karena adanya daerah mendatar di kurva tersebut. Apabila PO2 arteri turun 40% dari 100 mmHg menjadi 60 mmHg, konsentrasi O2 terlarut yang tercermin pada PO2 juga akan berkurang 40%. Akan tetapi, pada PO2 darah 60 mmHg, % saturasi Hb masih tinggi, yaitu 90%. Dengan demikian, kandungan O2 total darah hanya sedikit berkurang walaupun terjadi penurunan PO2 sebesar 40% karena Hb masih mengangkut O2 dalam jumlah yang hampir maksimum, dan seperti dinyatakan sebelumnya, sebagian besar O2 diangkut oleh Hb dan bukan dilarutkan dalam darah. Di pihak lain, bahkan apabila PO2 darah sangat meningkat, misalnya menjadi 600 mmHg dengan menghirup O2 murni, hanya sedikit terjadi penambahan O2 ke dalam darah. Sejumlah kecil tambahan O2 larut, tetapi % saturasi Hb hanya dapat ditingkatkan maksimum sebesar 21/2% menjadi 100%. Oleh karena itu, dalam rentang PO2 60 sampai 600 mmHg atau bahkan lebih tinggi, hanya terjadi 10% perbedaan dalam jumlah O2 yang diangkut oleh Hb. Bagian mendatar pada kurva O2-Hb membentuk batas-batas yang aman bagi darah dalam kaitannya dengan kemampuan mengangkut O2.
            PO2 arteri dapat berkurang akibat penyakit paru yang disertai ventilasi yang tidak adekuat atau pertukaran gas atau akibat gangguan sirkulasi yang menyebabkan aliran darah ke paru tidak adekuat. Pada orang sehat, PO2 arteri juga dapat berkurang akibat dua akibat : (1) Berada di ketinggian, tempat tekanan atmosfer total (dan, dengan demikian PO2) udara inspirasi berkurang, atau (2) Berada di lingkungan setinggi permukaan laut yang kurang mengandung O2, misalnya pada saat seseorang secara tidak sengaja terkunci di dalam sebuah kubah. Kecuali apabila PO2 turun drastis (turun di bawah 60 mmHg) baik pada keadaan patologis maupun akibat lingkungan yang abnormal, jumlah O2 yang diangkut ke jaringan tetap dapat mendekati normal.
            Makna Bagian Curam pada Kurva O2-Hb. Bagian curam pada kurva antara 0 dan 60 mmHg terletak pada rentang PO2 darah yang terdapat di kapiler sistemik, tempat O2 dibebaskan dari Hb. Dalam kapiler sistemik, darah melakukan keseimbangan dengan sel-sel jaringan di sekitarnya pada PO2 rata-rata 40 mmHg. Perhatikan di Gambar 13-29 bahwa pada PO2 40 mmHg % saturasi Hb adalah 75%. Darah sampai ke kapiler jaringan dengan PO2 100 mmHg dan % saturasi Hb 97,5%. Karena Hb hanya dapat mengalami saturasi 75% pada PO2 40 mmHg di kapiler sistematik, hampir 25% HbO2 harus berdisosiasi, menghasilkan Hb tereduksi dan O2. O2 yang dibebaskan ini berdifusi mengikuti penurunan gradient tekanan parsial dari sel darah merah melalui plasma dan cairan interstisium ke dalam sel jaringan.
            Hemoglobin di dalam darah vena yang kembali ke paru 75% masih tersaturasi. Apabila sel jaringan melakukan metabolism secara lebih aktif, PO2 darah kapiler sistemik akan turun (sebagai contoh, dari 40 mmHg menjadi 20 mmHg) karena sel-sel mengkonsumsi O2 secra lebih cepat. Perhatikan pada kurva, penurunan PO2 sebesar 20 mmHg ini menurunkan % saturasi Hb dari 75% menjadi 30%; jadi sekitar 45% lebih banyak dari total HbO2 yang normal memberikan O2-nya untuk digunakan oleh jaringan. Penurunan normal PO2 sebesar 60 mmHg dari 100 mmHg menjadi 40 mmHg di kapiler sistemik menyebabkan sekitar 25% dari total HbO2 membebaskan O2-nya. Sebagai perbandingan penurunan, lebih jauh PO2 hanya sebesar 20% menyebabkan tambahan 45% dari HbO2 total melepaskan O2-nya karena tekanan parsial O2 dalam rentang ini beroperasi pada bagian yang curam dari kurva.  Dalam rentang ini, penurunan sedikit saja PO2 sistemik dapat secara otomatis menyediakan sejumlah besar O2 untuk dengan segera memenuhi kebutuhan jaringan yang melakukan metabolism lebih aktif.  Pada saat berolahraga sampai sebanyak 80% Hb mengkin melepaskan O2-nya kepada sel yang secara aktif bermatabolisme. Pada saat berolahraga selain terjadi pelepasan lebih banyak O2 dari darah, juga terjadi peningkatan ketersediaan O2 bagi sel-sel yang aktif melakukan metabolisme, misalnya otot, akibat penyesuaian-penyesuaian sirkulasi dan pernapasan yang menyebabkan peningkatan kecepatan aliran darah beroksigen ke jaringan-jaringan yang efektif tersebut.
7.1. Dengan Bertindak sebagai Depot Penyimpanan, Hemoglobin Mendorong Transfer Netto O2 Dari Alveolus ke Darah
            Sampai saat ini kita belum mengklarifikasi peran Hb dalam pertukaran gas. Karena PO2 darah semata-mata bergantung pada konsentrasi O2 yang terlarut, kita dapat mengabaikan O2 yang terikat ke Hb dalam diskusi sebelumnya mengenai perpindahan O2 dari alveolus ke darah oleh gradien PO2. Akan tetapi, Hb memang berperan penting dalam memungkinkan perpindahan sejumlah besar O2 sebelum PO2 darah seimbang dengan jaringan di sekitarnya seperti pada Gambar 7.1.1 Hb melakukannya dengan bertindak sebagai “depot penyimpanan” untuk O2, menyingkirkan O2 dari larutan segera setelah O2 memasuki darah dari alveolus. Karena hanya O2 yang larut yang berperan menentukan PO2, O2 yang tersimpan di Hb tidak ikut menentukan PO2. Pada saat darah vena sistemik masuk ke kapiler paru, PO2-nya jauh lebih rendah dari PO2 alveolus, sehingga O2 segera berdifusi ke dalam darah dan meningkatkan PO2 darah. Segera setelah PO2 darah meningkat,  persentase Hb yang dapat mengikat O2 juga meningkat, seperti dinyatakan dalam kurva  O2-Hb. Akibatnya, sebagian besar O2 yang berdifusi ke dalam darah berikatan dengan Hb dan tidak lagi menentukan PO2 darah. Pada saat O2 disingkirkan dari larutan karena berikatan dengan Hb, PO2 darah turun ke tingkat yang kira-kira sama dengan waktu masuk ke paru, walaupun jumlah total O2 dalam darah sebenarnya sudah meningkat. Karena PO2 darah kembali lebih rendah dari PO2 alveolus, lebih banyak O2 yang berdifusi dari alveolus ke dalam darah untuk kembali di serap oleh Hb.
Gambar 7.1.1 Hemoglobin Mempermudah Perpindahan Netto
Sumber: Sherwood. 2001: 443
            Walaupun kita menganggap bahwa proses ini berlangsung secara bertahap agar mudah dimengerti, difusi netto O2 dari alveolus ke darah berlangsung secara kontinu sampai Hb tersaturasi sejenuh mungkin pada PO2 tertentu tersebut. Pada PO2 normal sebesar 100 mmHg, Hb 97,5% tersaturasi. Jadi, dengan menyerap O2Hb menjadi PO2 darah tetap rendah dan memperpanjang adanya gradien tekanan parsial, sehingga dapat berlangsung perpindahan netto O2 dalam jumlah besar ke dalam darah. Baru setelah Hb tidak lagi dapat menyimpan O2 (yaitu Hb mengalami saturasi maksimum pada PO2 tersebut) semua O2 yang masuk ke dalam darah tetap terlarut dan menentukan PO2 secara langsung. Pada saat inilah PO2 darah cepat seimbang dengan PO2 alveolus, tidak dapat terjadi perpindahan O2 lagi, tanpa memperhitungkan seberapa banyak atau sedikit O2 total yang telah dipindahkan.
            Situasi yang sebaliknya berlaku di tingkat jaringan. Karena PO2 darah yang masuk ke kapiler darah sistemik lebih tinggi daripada PO2 jaringan disekitarnya, O2 segera berdifusi dari darah ke dalam jaringan, sehingga PO2 darah turun. Pada saat PO2 darah turun, Hb dipaksa untuk melepaskan sebagian O2 simpanannya karena  % saturasi Hb menurun. Ketika O2 yang dilepaskan oleh Hb larut dalam darah, PO2 darah meningkat dan kembali lebih tinggi daripada PO2 jaringan di sekitarnya. Hal ini mendorong perpindahan O2 lebih lanjut keluar dari darah, walaupun sebenarnya jumlah total O2 dalam darah sudah berkurang. Hanya setelah Hb tidak lagi mampu melepaskan O2 ke dalam larutan (sewaktu Hb melepaskan O2 sebanyak mungkin yang diperbolehkan pada PO2 di kapiler sistemik) PO2 darah baru dapat menjadi serendah PO2 jaringan di sekitarnya. Pada saat ini, perpindahan lebih lanjut O2 terhenti. Hemoglobin, karena mangandung sejumlah besar simpanan O2 yang dapat dibebaskan apabila terjadi sedikit penurunan PO2 di tingkat kapiler sistemik, memungkinkan pemindahan O2 dari darah ke dalam sel dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan apabila tidak terdapat Hb.
            Dengan demikian Hb berperan penting menentukan jumlah total O2 yang dapat di serap oleh darah di paru dan diserahkan ke jaringan. Jika kadara Hb berkurang sampai separuh dari normal, misalnya pada pasien anemia berat, kapasitas darah mengangkut O2 berkurang 50% walaupun PO2 arteri tetap normal 100 mmHg dengan saturasi Hb 97,5%. Hemoglobin yang tersedia untuk mengalami saturasi hanya separuh dari normal, yang menekankan sekali lagi betapa pentingnya keberadaan Hb dalam menentukan jumlah total O2 yang dapat diserap di paru dan diserahkan ke jaringan.
7.2. Peningkatan CO2, Keasaman, Suhu, dan 2,3 Difosfogliserat Menggeser Kurva Disosiasi O2 Hb ke Kanan
            Walaupun faktor utama yang menentukan % saturasi Hb adalah PO2 darah, faktor-faktor lain dapat mempengaruhi afinitas, atau kekuatan ikatan, antara Hb dan O2-Hb (yaitu, perubahan % saturasi Hb pada PO2 tertentu). Faktor-faktor tersebut adalah CO2, keasaman, suhu, dan 2,3-difosfogliserat, yang akan kita bahas secara terpisah. Kurva disosiasi O2-Hb adalah kurva tipikal yang kadar keasaman dan CO2 arteri normal, suhu tubuh, dan konsentrasi 2,3-difosfogliserat yang normal.
            Peningkatan PcO2 menggeser kurva disiosasi O2-Hb ke kanan seperti pada Gambar 7.2.1 Persen saturasi Hb masih bergantung pada PO2, tetapi untuk setiap PO2, jumlah O2 dan Hb yang dapat berikatan menurun.  Efek ini penting karena, PcO2 darah meningkat di kapiler sistemik ketika CO2 berdifusi mengikuti penurunan gradiennya dari sel ke dalam darah. Adanya tambahan CO2 dalam darah ini menyebabkan penurunan afinitas Hb terhadap O2, sehingga Hb lebih banyak membebaskan O2 di jaringan dibandingkan dengan jika faktor satu-satunya yang mempengaruhi % saturasi Hb adalah penurunan PO2 di kapiler sistemik.
Gambar 7.2.1 Efek Peningkatan PcO2, H+, Suhu, 2,3-Difosfogliserat, dan Karbon Monoksida pada Kurva O2-Hb
Sumber: Sherwood. 2001: 444
            Peningkatan keasaman juga menggeser kurva ke kanan. Karena CO2 menghasilkan asam karbonat (H2CO3), darah menjadi lebih asam tingkat kapiler sistemik karena menyerap CO2 dari jaringan. Penurunan afinitas Hb terhadap O2 akibat peningkatan keasaman ini membantu meningkatkan jumlah O2 yang dibebaskan di tingkat jaringan pada PO2 tertentu. Pada sel-sel yang aktif melakukan metabolism, misalnya otot yang sedang bekerja, tidak saja CO2 penghasil asam yang diproduksi, tetapi juga asam laktat jika sel-sel tersebut menggunakan metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan local asam di otot tersebut yang selanjutnya mempermudah pembebasan O2 di jaringan yang sangat membutuhkan O2 tersebut.
            Pengaruh CO2 dan asam pada pembebasan O2 dari Hb dikenal sebagai efek Bohr. Baik CO2 maupun komponen ion hydrogen (H+) asam mampu berikatan secara reversible dengan Hb pada tempat diluar tempat ikatan O2. Hasilnya adalah perubahan struktur molekul Hb yang menurunkan afinitasnya terhadap O2.
            Dengan cara serupa, peningkatan suhu menggeser kurva O2-Hb ke kanan, menyebabkan lebih banyak O2 yang disebabkan untuk PO2 tertentu. Otot yang berolahraga atau sel lain yang aktif bermetabolisme menghasilkan panas. Peningkatan lokal suhu yang terjadi meningkatkan pembebasan O2 dari Hb untuk digunakan oleh jaringan yang lebih aktif.
            Dengan demikian, peningkatan CO2, keasaman, dan suhu di tingkat jaringan, yang kesemuanya berkaitan dengan peningkatan metabolism sel dan peningkatan konsumsi O2,  meningkatkan efek penurunan PO2 dalam mempermudah pembebasan O2 dari Hb. Efek ini sebagian besar dihilangkan di tingkat paru, tempat kelebihan CO2 pembentuk asam tersebut dikeluarkan dan lingkungan local lebih dingin. Dengan demikian, Hb memiliki afinitas yang lebih besar  untuk O2 di lingkungan kapiler paru, sehingga efek peningkatan PO2 pada pengikatan O2 dengan Hb meningkat.
            Perubahan-perubahan diatas berlangsung di lingkungan sel darah merah, tetapi suatu faktor didalam sel darah merah juga dapat mempengaruhi tingkat pengikatan O2-Hb: 2,3-Difosfogliserat (DPG). Konstituen eritrosit ini, yang dihasilkan selama metabolism sel darah merah, dapat berikatan secara reversible dengan Hb dan mengurangi afinitasnya terhadap O2, seperti yang dilakukan CO2 dan H+. dengan demikian, peningkatan  kadar DPG, seperti faktor-faktor lainnya,  menggeser kurva Hb-O2 ke kanan, meningkatkan pembebasan O2 pada saat darah mengalir ke jaringan. Produksi DPG oleh sel darah arteri terus menerus berada dalam keadaan tidak jenuh (unsaturated) – yaitu apabila HbO2 arteri di bawah normal. Keadaan ini dapat terjadi pada orang-orang yang tinggal di tempat tinggi atau mereka yang mengidap jenis-jenis tertentu penyakit-penyakit sirkulasi, pernapasan, atau anemia. Dengan mendorong pembebasan O2 dari Hb di tingkat jaringan, peningkatan DPG ini membantu mempertahankan ketersediaan O2 untuk digunakan oleh jaringan pada keadaan-keadaan yang berkaitan dengan penurunan pasokan O2 arteri. Akan tetapi, tidak seperti faktor lain. DPG terdapat pada sel darah merah  di seluruh system sirkulasi dan, dengan demikian, menggeser kurva ke kanan dengan derajat yang sama baik di jaringan perifer maupun di paru. Akibatnya, DPG menurunkan kemampuan Hb menyerap O2 di tingkat paru, yang merupakan sisi negative dari peningkatan produksi DPG.
7.3. Tempat Pengikatan Oksigen di Hemoglobin Memiliki Afinitas Paling Besar untuk Karbon Monoksida dibandingkan untuk O2
                Karbon monoksida (CO) dan O2 bersaing untuk menempati tempat pengikatan yang sama di Hb, tetap afinitas Hb terhadap CO2 adalah 240 kali lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan ikatan antara Hb dan O2. Ikatan CO dan Hb dikenal sebagai Karboksihemoglobin (HbCO). Karena Hb lebih cenderung ke berikatan dengan CO, keberadaan CO walaupun sedikit dapat mengikat Hb dalam jumlah yang relatif besar, sehingga tidak tersedia Hb untuk mengangkut O2. Walaupun konsentrasi Hb dan PO2 normal, kandungan O2 darah sangat berkurang. Apabila CO yang ada cukup banyak sel-sel akan mati akibat kekurangan O2. Selain toksisitas CO, adanya HbCO menggeser kurva O2-Hb ke kiri; Hb pengikat O2 yang jumlahnya sudah terbatas tidak mampu membebaskan O2 di tingkat jaringan untuk PO2 tertentu.
            Untungnya, CO bukan merupakan konstituen norma dalam udara inspirasi. CO merupakan gan beracun yang di hasilkan selama pembakaran (kombustio) tidak sempuna ptoduk-produk karbon, misalnya bahan bakar mobil, batubara, kayu, dan tembakau. Karbon moniksida sangat berbahaya karena bekerja secara tersamar (tersembunyi). Apabila dalam suatu ruangan tertutup diproduksi CO, sehingga konsentrasinya terus meningkat (sebagai contoh, di dalam mobil yang sedang di parker dengan mesin hidup dan jendela tertutup), CO tersebut dapat mencapai kadar mematikan tanpa disadari oleh korbannya. Karbon monoksida tidak dapat dideteksi karena tidak berbau, tidak berwarna tidak berasa dan tidak mengiritasi. Selain itu, karena alas an-alasan yang akan di terangkan kemudian, karbon tidak merasa sesak napas, sehinnga tidak berusaha meningkatkan ventilasi, walaupun sel-sel tubuhnya kekurangan O2.
7.4. Sebagian Besar CO2 diangkut di Darah sebagai Bikarbonat
            Sewaktu darah arteri mengalir melalui kapiler jaringan, CO2 berdifusi mengikuti penurunan gradient tekanan parsialnya dari jaringan ke dalam darah. Karbon dioksida diangkut dalam darah dengan tiga cara: (1) terlarut secara fisik, (2) terikat ke Hb, dan (3) sebagai bikarbonat seperti pada Gambar 7.4.1
Gambar 7.4.1 Transportasi Karbon-Dioksida di dalam Darah
Sumber: Sherwood. 2001: 444
            Seperti O2 yang larut, jumlah CO2 yang secara fisik larut dalam darah bergantung pada PO2. Karena dalam darah CO2 lebih larut daripada O2, proporsi CO2 total dalam darah yang secara fisik larut lebih besar dibandingkan dengan O2. Walaupun demikian, hanya 10%  dari kandungan CO2 total darah diangkut dengan cara ini pada kadar PcO2 vena sistematik normal.
            Tiga puluh persen CO2 lainnya berikatan dengan Hb untuk membentuk karbamino hemoglobin (HbCO2). Karbon dioksida berikatan dengan dengan bagian bagian globin dari Hb, berbeda dengan O2 yang berikatan dengan bagaian hem. Hb tereduksi memiliki afinitas yang lebih  besar untuk CO2 daripada HbO2. Dengan demikian, pembebasan O2 dari Hb di kapiler jaringan mempermudah Hb menyerap CO2.
            Sejauh ini cara terpenting untuk mengangkut CO2 adalah sebagai bikarbonat (HCO3), yaitu 60% CO2 diubah menjadi HCO3 oleh reaksi kimia berikut, yang berlangsung di dalam sel darah merah:
                                    Karbonat anhidrase
            CO2     +          H2O                      H2CO3                   H+         +   HCO3-
Pada langkah pertama, CO2 berikatan dengan H2O untuk membentuk asam karbonat (H2CO3). Reaksi ini dapat berlangsung dengan semangat lambat di plasma, tetapi berlangsung cepat di dalam sel darah merah karena adanya enzim eritrosit karbonat anhidrase yang mengkatalisasi (mempercepat) reaksi. Seperti asam-asam lainnya, sebagian dari molekul-molekul asam karbonat secara spontan terurai menjadi ion hydrogen (H+) dan ianbikarbonat (HCO3). Dengan demikian, suatu atom karbon dan dua atom oksigen dari molekul CO2 smula terdapat dalam darah sebagai bagian integral dari HCO3- lebih mudah larut dalam darah dibandingkan dengan CO2.
            Ketika reaksi ini berlanjut, HCO3- dan H+ mulai terakumulasi di dalam sel darah merah di kapiler sistemik. Membran sel darah merah memiliki pembawa HCO3- - Cl- yanf secra pasif mempermudah difusi ion-ion ini dalam arah berlawanan menembus membran. Membran relatif impermiabel terhadap H+. akibatnya, HCO3- berdifusi mengikuti penurunan gradien konsentrasinya ke luar eritrosit untuk masuk ke dalam plasma tanpa diikuti oleh H+. karenan HCO3- yang tindak disertai aliran keluar ion bermuatan positif yang setara menciptakan gradient listrik. Ion klorida (Cl-), anion dominan di plasma, berdifusi ke dalam sel darah merah mengikuti gradien listrik ini untuk memulihkan kenetralan listrik. Pergeseran masuk Cl- sebagai penukar aliran keluar HCO3- yang dibentuk dari CO2 ini dikenal sebagai Pergeseran Klorida (Cl- chloride shift).
            Sebagian besar H+ yang terakumulasi didalam eritrosit, setelah disiosasi H2CO3, akan terikat ke Hb seperti pada CO2, Hb tereduksi memiliki afinitas yang lebih besar terhadap H+ dibandingkan HbO2. Dengan demikian, pembebasan O2 juga memerlukan Hb menyerap H+ yang dibentuk dari CO2. Karena hanya H+ yang tidak larut menentukan keasaman suatu larutan, darah vena akan jauh lebih asam daripada darah arteri kalau saja tidak ada Hb yang menyerap sebagaian besar H+ yang dihasilkan di tingkat jaringan.
            Kenyataan bahwa pengeluaran O2 dari Hb meningkatkan kemampuan Hb untuk menyerap CO2 dan H+ yang di hasilkan oleh CO2 dikenal sebagai efek Haldane. Efek Haldane dan efek Bohr bekerja secara sinkron untuk mempermuda pembebasan O2 dan penyerapan CO2 dan H+ yang dihasilkan oleh CO2 di tingkat jaringan. Peningkatan CO2 dan H+ menyebabkan peningkatan O2 yang di bebaskan dari Hb melalui efek Bohr, peningkatan pengeluaran O2 dan Hb, pada gilirannya menyebabkan peningkatan penyerapan CO2 dari H+ dan Hb melalui efek Haldane. Keseluruhan proses berlangsung sangat efisien. Hb tereduksi harus diangkut kembali ke paru untuk diisi ulang oleh O2. Sementara itu, setelah O2 dibebaskan, Hb mengangkut penumpang baru – CO2 dan H+ - yang memiliki tujuan yang sama yaitu paru.
7.5. Berbagai keadaan pernapasan ditandai oleh kelainan kadar gas darah.
            Hipoksida mengacu kepada insufisiensi O2 di tingkat sel adalah kumpulan istilah yang digunakan untuk menjelaskan berbagai keadaan yang berkaitan dengan kelainan pernapasan). Terdapat empat kategori Hipoksida :
1.      Hipoksida hipoksik ditandai oleh rendahnya PO2 darah arteri disertai dengan kurangnya saturasi Hb. Hal ini disebabkan oleh (a) malfungsi pernapasan yang melibatkan gangguan pertukaran gas, di tandai oleh PO2 alveolus normal, tetapi PO2 arteri berkurang, atau (b) berada di ketinggian atau di lingkungan tersekap dengan PO2 atmosfer yang berkurang, sehingga PO2 alveolus dan arteri juga berkurang.
2.      Hipoksida anemik mengacu kepada penurunan kapasitas darah mengangkut O2. Hal ini dapat ditimbulkan oleh (a) penurunan sel darah merah dalam sirkulasi, (b) Jumlah Hb yang tidak adekuat di dalam sel darah merah atau (c) keracunan CO. pada semua kasus hiposia anemic, Po2 arteri normal, tetapi kandungan O2 darah arteri lebih rendah dari normal karena berkurangnya Hb yang tersedia.
3.      Hipoksida sirkulasi muncul jika darah beroksigen yang sampai ke jaringan sangat sedikit (kurang). Hipoksia sirkulasi darah terbatas pada daerah tertentu akibat spasme atau sumbatan vaskuler local. Di pihak lain, tubuh secara keseluruhan dapat meengalami hipoksia sirkulasi akibat gagal jantung kongesif atau syok sirkulasi. Po2 dan kandungan O2 arteri biasanya normal, tetapi darah beroksigen yang mencapai sel terlalu sedikit.
4.      Hipoksida histotoksik penyaluran O2 ke jaringan normal, tetapi sel-sel tidak mampu menggunakan O2 yang tersedia untuk mereka, contoh klasik ialah keracunan sianida. Sianida menghambat enzim-enzim sel yang penting untung respirasi internal.
Hiperoksia, Po2 arteri di atas normal, tidak dapat terjadi apabila seseorang menghirup udara atmosfir di ketinggian permukaan laut. Akan tetapi menghirup udara yang mengandung tambahan O2 dapat meningkatkan Po2 alveolus dan Po2 arteri. Karena persentase O2 dalam udara inspirasi lebih besar, persentase tekanan total yang ditimbulkan oleh tekanan parsial O2 dalam udara inspirasi juga meningkat, sehingga lebih banyak O2 yang larut dalam darah sebelum Po2 arteri seimbang dengan Po2 alveolus. Walaupun Po2 arteri meningkat, kandungan O2 darah total tidak meningkat secara bermakna karena Hb hampir mengalami saturasi penuh pada Po2 arteri normal. Namun, pada penyakit paru tertentu yang berkaitan dengan penurunan Po2 arteri menghirup udara yang mengandung tambahan O2 dapat bermanfaat untuk menciptakan gradien alveolus-ke darah yang lebig besar sehingga PO2 arteri membaik. Di lain pihak Po2 arteri yang sangat meningkat bukannya menguntungkan, tetapi dapat berbahaya. Jika Po2 arteri terlalu tinggi, dapat terjadi keracunan (toksisitas) oksigen. Walaupun kandungan O2 total darah hanya sedikit meningkat, sebagian sel dapat mengalami kerusakan akibat pajanan Po2 yang tinggi. Kerusakan otak dan retina yang menimbulkan kebutaan merupakan masalah yang berkaitan dengan toksisitas O2. Dengan demikian terapi O2 harus diberikan secara hati-hati.
Hiperkapnia mengacu pada kelebihan Co2 dalam darah arteri; hal ini disebabkan oleh hipoventilasi (ventilasi yang tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhanmetabolik untuk penyaluran O2 dan pembuangan CO2). Pada sebagian besar penyakit paru, terjadi penimbunan CO2 dalam darah arteri disertai defisit O2, karena pertukaran O2 dan CO2 antara paru dan udara atmosfir sama-sama terpengaruh seperti pada Gambar 7.5.1 Namun, apabila penurunan Po2 darah arteri disebabkan oleh penurunan kapasitas difusi paru, misalnya pada edema paru atau emfisema, pertukaran O2 lebih terpengaruh daripada pertukaran CO2 karena koefisien difusi untuk CO2 dua puluh kali lebih besar daripada koefisien difusi O2. Akibatnya, pada keadaan-keadaan ini hipoksia hipoksik lebih mudah terjadi daripada hiperkapnia.
Gambar 7.5.1 Efek Hipoventilasi dan Hiperventilasi pada Po2 dan PCO2 Arteri
Sumber: Sherwood. 2001: 447
Hipokapnia, Po2 arteri di bawah normal, ditimbulkan oleh hiperventilasi terjadi apabila seorang “bernapas berlebihan”, yaitu pada saat kecepatan ventilasi metabolik tubuh untuk pengeluaran CO2, sehingga lebih banyak CO2 yang dikeluarkan ke atmosfir di bandingkan dengan  yang diproduksi di jaringan dan Po2 arteri turun. Hiperventilasi dapat dipicu oleh keadaan cemas, demam, dan keracunan aspirin. Po2 alveolus meningkat selama hiperventilasi karena lebih banyak O2 yang segar sampai ke alveolus dari atmosfer daripada yang diekstrasi dari alveolus oleh darah untuk dikonsumsi jaringan, dan dengan demikian Po2 arteri meningkat. Namun karena Hb hampir mengalami saturasi penuh pada Po2 arteri normal, hanya sedikit O2 yang ditambahkan ke darah. Kecuali sedikit peningkatan jumlah O2 yang larut, kandungan O2 darah pada dasarnya tidak berubah selama hiperventilasi.
Peningkatan ventilasi tidak sama dengan (bukan sinonim) hiperventilasi. Peningkatan ventilasi yang menyamai peningkatan kebutuhan metabolic, misalnya peningkatan kebutuhan penyaluran O2 dan pembuangan Co2 pada saat bnerolahraga, disebut hiperpnu. Selama berolahraga Po2 dan PCO2 alveolus tetap konstan dengan peningkatan pertukaran atmosfer hanya untuk menyamai peningkatan konsumsi O2 dan produksi CO2.
Konsekuensi penurunan ketersediaan O2 ke jaringan selama hipoksia tampak jelas. Sel-sel membutuhkan pasokan O2 yang adekuat untuk mempertahankan aktivitas metabolic pembentuk energi.  Konsekuensi kadar CO2 darah yang abnormal tidak terlalu jelas. Perubahan konsentrasi CO2 dalam darah terutama mempengaruhi keseimbangan asam-basa. Hiperkapnia menyebabkan peningkatan produksi asam karbonat. Hal tersebut menyebabkan peningkatan pembentukan H+ yang kemudian menimbulkan kondisi asam (asidio) yang disebut asidosis respiratorik, sebaliknya pada hipokapnia jumlah H+ yang dihasilkan melalui pembentukan asam karbonat berkurang. Keadaan alkalotik (kurang asam dibandingkan normal) yang terjadi disebut alkalosis respiratorik.
8. Kontrol Pernapasan
8.1. Pusat Pernapasan di Batang Otak Menentukan Pola Bernapas Ritmik
Bernapas, seperti denyut jantung, harus berlangsung dalam pola siklik dan kontinu agar proses kehidupan dapat terus berjalan. Otot jantung harus berkontraksi dan berelaksasi secara berirama untuk secara bergantian mengosongkan darah dari jantung dan mengisinya kembali. Demikian juga oto-otot pernapasan harus secara berirama berkontraksi dan berelaksasi agar udara dapat masuk dan keluar paru secara bergantian. Kedua aktivitas berlangsung secara otomatis tanpa usaha sadar.
Mekanisme yang mendasari dan kontrol terhadap kedua sistem ini sangat berbeda. Jantung mampu menghasilkan iramanya sendiri melalui aktifitas pemacu intrinsik, sedangkan otot pernapasan karena merupakan otot rangka, membutuhkan rangsangan saraf agar berkontraksi. Pola ritmik bernapas diciptakan oleh aktivitas saraf siklis ke otot-otot pernapasan. Dengan kata lain, aktivitas pemacu yang menciptakan ritmisitas bernapas terletak di pusat kontrol pernapasan diotak, bukan di paru atau otot pernapasan itu sendiri. Persarafan ke jantung, hanya berfungsi untuk memodifikasi kecepatan dan kekuatan kontruksi jantung. Sebaliknya pernafasan ke sistem pernapasan merupakan kebutuhan mutlak untuk mempertahankan pernapasan dan untuk secara refleks menyesuaikan tingkat ventilasi untuk memunuhi kebutuhan penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 yang terus berubah-ubah. Selain itu, tidak seperti aktifitas jantung, yang tidak berada dibawah kontrol kesadaran, aktivitas pernapasan dapat dimodivikasi secara sengaja untuk berbicara, berbunyi, bersiul, memainkan instrument tiup, atau menahan napas ketika berenang.
Kontrol saraf atas pernapasan melibatkan tiga komponen terpisah: (1) faktor-faktor yang bertanggung jawab untuk menghasilkan irama inspirasi/ekspirasi berganti-ganti, (2) faktor-faktor yang mengatur kekuatan ventilasi (yaitu kecepatan dan kedalaman bernapas) agar sesuai dengan kebutuhan tubuh, dan (3) faktor-faktor yang memodifikasi aktifitas pernapasan untuk memenuhi tujuan lain. Modifikasi yang terakhir dapat bersifat volunteer, misalnya kontrol bernapas pada saat berbicara, atau involunter, misalnya manuver pernapasan yang terjadi pada saat batuk atau bersin.
Pusat kontrol pernapasan yang terletak di batang otak bertanggung jawab untuk menghasilkan pola bernapas yang berirama. Pusat kontrol pernapasan primer, pusat pernapasan medulla (medullary respiratory center), terdiri dari beberapa agregat badan sel saraf di dalam medula yang menghasilkan keluaran ke otot pernapasan. Selain itu, terdapat dua pusat pernapasan lain yang lebih tinggi di batang otak pons-pusat apnustik dan pusat pneumataksik. Pusat-pusat di pons ini mempengaruhi keluaran dari pusat pernapasan medulla seperti pada Gambar 8.1.1.
Gambar 8.1.1. Pusat Kontrol Pernapasan di Batang Otak
Sumber: Sherwood. 2001: 449

Neuron Inspirasi dan Ekspirasi di Pusat Medula. Dalam keadaan tenang, kita bernapas secara berirama karena kontraksi dan relaksasi berganti-ganti oto-otot pernapasan, yaitu diafragma dan otot antariga eksternal, yang masing-masing dipersarafi oleh saraf frenikus dan saraf interkostalis. Badan sel dari serat-serat saraf yang membentuk saraf-saraf tersebut terletak di korda spinalis. Impuls yang berasal dari pusat medulla berakhir di badan sel neuron motorik ini seperti pada Gambar 8.1.2. Pada saat diaktifkan, neuron-neuron motorik ini kemudian merangsang otot-otot pernapasan, sehngga terjadi inspirasi; sewaktu neuron-neuron ini tidak aktif, otot-oton inspirasi melemas dan terjadi ekspirasi.
Gambar 8.1.2. Kontrol Inspirasi oleh DRG
Sumber: Sherwood. 2001: 449
Pusat pernapasan medulla terdiri dari dua kelompok neuron yang dikenal sebagai kelompok pernapasan dorsal dan kelompok pernapasan ventral. Kelompok Respirasi Dorsal (dorsal respiratory group, DRG) terutama terdiri dari neuron inspirasi yang serat-serat desendensnya berakahir di neuron motorik yang mempersarafi otot-otot inspirasi. Neuron-neuron inspirasi ini diperkirakan memperlihatkan aktivitas pemacu dan secara repetitive mengalami potensial aksi spontan seperti nodus SA di jantung. Pada saat neuron-neuron inspirasi DRG membentuk potensial aksi, terjadi inspirasi; ketika mereka berhenti melepaskan muatan. Dengan demikian, DRG pada umumnya dianggap sebagai penentu irama dasar ventilasi. Namun, kecepatan neuron inspirasi membentuk potensial aksi dipengaruhi oleh masukan sinaptik dari daerah-daerah lain di otak dan dari bagian tubuh lainnya. Dengan demikian, sifat on-off siklus pernapasan kompleks karena interaksi DRG dengan daerah-daerah lain tersebut.
DRG memiliki interkoneksi penting dengan kelompok respirasi ventral (ventral respiratory group, VRG). VRG terdiri dari neuron inspirasi dan neuron ekspirasi, yang keduanya tetap inaktif selama bernapas tenang. Daerah ini doiaktifkan oleh DRG sebagai mekanisme “overdrive” (penambahan kecepatan) selama periode pada saat kebutuhan akan ventilasi meningkat. VRG terutama penting pada ekspirasi aktif. Selama bernapas tenang tidak ada impuls yang dihasilkan di jalur-jalur desendens dari neuron ekspirasi. Hanya selama ekspirasi aktif neuron-neuron ekspirasi merangsang neuron motorik yang mempersarafi otot ekspirasi (otot abdomen dan antariga internal). Selain itu, neuron inspirasi VRG, apibila dirangsang oleh DRG, memacu aktifitas inspirasi saat kebutuhan akan ventilasi meningkat.
Pengaruh Pusat Pneumatik dan Apnustik. Pusat-pusat di pons menghasilkan pengaruh “fine tuning” pada pusat medulla untuk membantu menghasilkan inspirasi dan ekspirasi yang normal dan mulis. Pusat pneumotaksik mengirim impuls ke DRG yang membantu mematikan (switch off) neuron inspirasi, sehingga durasi inspirasi dibatasi. Sebaliknya, pusat apnustik mencegah neuron inspirasi dari proses switch off, sehingga menambah dorongan inspirasi. Pada sistem check-and-balance ini, pusat pneumotaksik lebih dominan daripada pusat apnustik, membantu inspirasi berhenti dan memungkinkan ekspirasi berlangsung normal. Tanpa rem pneumotaksik, pola bernapas akan berupa inspirasi berkepanjangan yang mendadak berhenti karena diselang-selingi oleh ekspirasi. Pola bernapas abnormal ini disebut apnusis; dengan demikian, pusat yang bertanggung jawab untuk pola bernapas ini adalah pusat apnustik. Apnusis dapat terjadi pada kerusakan otak jenis tertentu yang parah.
Refleks Hering-Breuer. Apabila tidal volume besar (lebih dari 1 liter), misalnya ketika berolahraga, reflex Hering-Breuer dipicu untuk mencegah pengembangan paru berlebihan. Reseptor regang paru (pulmonary stretch reflex) yang terletak didalam lapisan otot polos saluran pernapasan diaktifkan oleh peregangan paru jika tidal volume besar. Potensial aksi dari reseptor-reseptor regang ini berjalan melalui serat saraf aferen ke pusat medulla dan menghambat neuron inspirasi. Umpan balik negative dari paru yang sangat teregang ini membantu menghentikan inspirasi sebelum paru mengalami pengembangan berlebihan.
8.2. Konsentrasi Ion Hydrogen yang Dihasilkan oleh Karbon Dioksida Di    Cairan Ekstrasel Otak Dalam Keadaan Normal adalah Pengatur Utama Besarnya Ventilasi
Seberapapun banyaknya O2 yang diekstraksi dari darah atau CO2 yang ditambahkan ke dalamnya di tingkat jaringan, Po2 dan Pco2 darah arteri sistemik yang meninggalkan paru tetap konstan, yang menunjukkan bahwa kandungan gas darah arteri di atur secara ketat. Gas-gas darah arteri dipertahankan dalam rentang normal secara ekslusif dengan mengubah-ubah kekuatan ventilasi untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan penyerapan O2 dan pengeluaran CO2. Jika lebih banyak O2 yang diekstraksikan dari alveolus dan lebih banyak CO2 yang masuk ke darah karena jaringan lebih aktif melakukan metabolisme, ventilasi akan meningkat untuk menyerap lebih banyak O2 segar dan mengeluarkan CO2.
Pusat pernapasan medulla menerima masukan yang member informasi mengenai kebutuhan tubuh akan pertukaran gas. Kemudian pusat ini berespons dengan mengirim sinyal-sinyal yang sesuai ke neuron motorik yang mempersarafi otot-otot pernapasan untuk menyesuaikan kecepatan dan kedalaman ventilasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dua sinyal yang paling jelas untuk meningkatkan ventilasi adalah penurunan Po2 arteri dan peningkatan Pco2 arteri. Secara intuitif anda akan menduga bahwa apabila kadar O2 dalam darah arteri turun atau jika terjadi akumulasi CO2, ventilasi akan dirangsang untuk memperoleh lebih banyak O2 atau mengeliminasi kelebihan CO2. Kedua faktor ini memang mempengaruhi tingkat ventilasi, tetapi tidak dengan derajat yang sama dan memulai jalur yang sama. Juga terdapat faktor ketiga, H+, yang berpengaruh besar pada tingkat aktivitas pernapasan. Kita akan membahas peran tiap-tiap faktor kimia penting ini dalam kontrol ventilasi seperti pada Tabel 8.2.1
Tabel 8.2.1 Pengaruh Faktor Kimia pada Pernapasan
Faktor Kimia
Efek Pada Kemoreseptor Perifer
Efek Pada Kemoreseptor Sentral
  Po2 di darah arteri



 

  Pco2 di darah arteri
(  H+ di CES otak)



 

  H+ di darah arteri
Merangsang hanya jika Po2 arteri telah turun ke titik yang mengancam nyawa (< 60mmHg); mekanisme darurat

Merangsang secara lemah





Merangsang; penting dalam keseimbangan asam-basa
Secara langsung menekan kemoreseptor sentral dan pusat pernapasan itu sendiri jika < 60 mmHg

Merangsang secara kuat; kontrol ventilasi yang dominan (kadar >70-80mmHg secara langsung menekan pusat pernapasan dan kemoreseptor sentral)

Tidak mempengaruhi; tidak dapat menembus sawar darah otak
            Peran Penurunan Po2 Arteri dalam Mengatur Ventilasi. Po2 arteri dipantau oleh kemoreseptor perifer yang dikenal sebagai badan karotis dan badan aorta, yang masing-masing terletak di bifurkasio (percabangan) arteri karotis  komunis dan di arkus (lengkung) aorta seperti pada Gambar 8.2.2. Kemoreseptor yang berespons terhadap perubahan spesifik kandungan kimia darah arteri yang membasahi mereka ini, berbeda dari baroreseptor sinus karotikus kan arkus aorta yang terletak berdekatan. Yang terakhir, karena penting dalam pengaturan tekanan darah arteri sistemik, memantau perubahan tekanan dan bukan perubahan kimia.
Gambar 8.2.2. Lokasi Kemoreseptor Perifer
Sumber: Sherwood. 2001: 451
Kemoreseptor tidak peka terhadap penurunan biasa Po2 arteri. Po2 arteri harus turun di bawah 60 mmHg (reduksi > 40%) sebelum kemoreseptor perifer berespons dengan mengirim impuls aferen ke neuron inspirasi medulla untuk secara refleks meningkatkan ventilasi. Karena Po2 arteri turun di bawah 60 mmHg hanya pada keadaan-keadaan yang tidak lazim, misalnya penyakit paru berat atau penurunan Po2 atmosfer, Po2 arteri tidak berperan dalam pengaturan pernapasan normal. Pada permulaan, kenyataan ini tampaknya mengejutkan karena salah satu fungusi primer ventilasi adalah menyediakan cukup O2 untuk diserap oleh darah. Namun, ventilasi tidak perlu ditingkatkan sampai Po2 arteri turun di bawah 60 mmHg karena batas keamanan % saturasi Hb yang ditimbulkan oleh bagian datar (plateau) kurva disosiasi O2-Hb. Hemoglobin masi 90% tersaturasi pada Po2 arteri 60 mmHg, tetapi % saturasi Hb turun drastic jika Po2 turun di bawah kadar tersebut. Dengan demikian, stimulasi refleks pernapasan oleh kemoresptor perifer berfungsi sebagai mekanisme darurat penting pada keadaan Po2 arteri yang sangat rendah dan membahayakan. Memang, mekanisme refleks ini bersifat menyelamatkan nyawa, karena Po2 arteri yang rendah cenderung secara langsung menekan pusat pernapasan, seperti yang dilakukannya pada bagian otak lainnya seperti pada Gambar 8.2.3. Kecuali kemoreseptor perifer, di tingkat aktifitas di semua jaringan saraf akan menurun jika terjadi kekurangan O2. Jika tidak terdapat intervensi stimulus dari kemoreseptor perifer saat Po2 arteri turun sangat rendah, terjadi lingkaran setan yang akhirnya menyebabkan pernapasan berhenti. Penekanan langsung pusat pernapasan oleh Po2 arteri yang sangat rendah akan semakin menurunkan ventilasi, sehingga Po2 arteri semakin turun, yang pada gilirannya semakin menekan pusat pernapasan sampai ventilasi berhenti dan yang bersangkutan meninggal.

Gambar 8.2.3. Efek Peningkatan Pco2 Arteri pada Ventilasi
Sumber: Sherwood. 2001: 451

Karena kemoreseptor perifer berespons terhadap Po2 darah, bukan kandungan O2 total, kandungan O2 dalam darah arteri dapat turun ke tingkat atau kadar yang berbahaya bahkan fatal tanpa menimbulkan respons pada kemoreseptor perifer. Ingatlah bahwa hanya O2 yang larut secara fisik yang menetukan Po2 darah. Kandungan O2 total dalam darah arteri dapat menurun pada keadaan anemia, ketika Hb pengangkut O2 berkurang, atau pada keracunan CO, pada saat Hb lebih cenderung mengikat molekul ini daripada O2. Pada kedua keadaan tersebut, Po2 arteri normal sehingga respirasi tidak terstimulasi, walaupun penyaluran O2 ke jaringan mungkin sangat berkurang, sehingga yang bersangkutan meninggal akibat sel-selnya kekurangan O2.
Peran Peningkatan Pco2 Arteri dalam Mengatur Ventilasi. Berbeda dengan Po2 arteri, yang tidak berperan dalam pengaturan pernapasan secara terus menerus (menit-ke-menit), Pco2 arteri merupakan masukan terpenting yang mengatur besarnya ventilasi pada keadaan istirahat. Peran ini sesuai, karena perubahan ventilasi alveolus menimbulkan efek yang segera dan mencolok pada PCO2 arteri, sementara perubahan ventilasi kurang member efek pada % saturasi Hb dan ketersediaan O2 ke jaringan sampai Po2 turun lebih daro 40%. Bahkan perubahan ringan Pco2 arteri akan menginduksi efek refleks yang bermakana pada ventilasi. Peningkatan Pco2 arteri secara refleks merangsang pusat pernapasan, yang menyebabkan Peningkatan ventilasi yang mendorong eliminasi kelebihan CO2 ke atmosfer. Sebaliknya, penurunan Pco2 secara refleks menurunkan dorongan untuk bernapas. Ventilasi yang menurun selanjutnya menyebabkan CO2 yang diproduksi melalui metabolism terakumulasi, sehingga pco2 kembali ke tingkat normal.
Yang mengejutkan, walaupun Pco2 arteri berperan sentral dalam mengaturesr pernapasan, tidak ada kemoreseptor Pco2 sendiri. Badan karotis dan aorta berespons secara lemah terhadap perubahan Pco2, sehingga keduanya kurang berperan dalam merangsang ventilasi secara refleks sebagai respons terhadap peningkatan Pco2 arteri. Yang lebih penting dalam kaitan antara perubahan Pco2 arteri dan penyesuaian-penyesuaian kompensatorik ventilasi adalah kemoreseptor sentral, yang terletak di medula di dekat pusat pernapasan. Namun kemoreseptor sentrel ini tidak memantau CO2 itu sendiri; kemoreseptor ini peka terhadap perubahan konsentrasi H+ yang diinduksi oleh CO2 dalam cairan eksirasel (CES)  yang membasahinya.
Perpindahan berbagai zat menembus kapiler otak dibatasi oleh sawar-darah otak. Karena sawar ini mudah dilewati oleh CO2, setiap peningkatan Pco2 arteri akan menyebabkan peningkatan serupa Pco2 CES otak karena CO2 berdifusi mengikuti penurunan gradient tekana dari pembuluh darah otak ke CES otak. Peningkatan Pco2 di CES otak menyebabkan peningkatan konsentrasi H+ sesuai hukum aksi massa yang berlaku untuk reaksi CO2 + H2O            H2CO3     H++HCO3-. Peningkatan konsentrasi H+ di CES otak secara langsung merangsang kemoreseptor sentral yang pada gilirannya meningkatkan ventilasi dengan merangsang pusat pernapasan melalui hubungan sinaps seperti pada Gambar 8.2.4. Setelah kelebihan CO2 kemudian dikurangi, Pco2 arteri dan Pco2 serta konsentrasi H+ CES otak kembali ke normal. Sebaliknya, penurunan Pco2 arteri di bawah normal akan diikuti oleh penurunan Pco2 dan H+ di CES otak, menyebabkan penurunan ventilasi melalui jalur yang diperantarai oleh kemoreseptor sentral. Setelah CO2 yang dihasilkan oleh metabolisme dibiarkan terakumulasi, Pco2 arteri serta Pco2 dan H+ CES otak kembali pulih ke normal.

Gambar 8.2.4. Efek Peningkatan Pco2 Arteri pada Ventilasi
Sumber: Sherwood. 2001: 452
Tidak seperti CO2, H+ tidak mudah menembus sawar otak, sehingga H+ yang terdapat di plasma tidak dapat mencapai kemoreseptor sentral. Dengan demikian, kemoreseptor sentral hanya peka terhadap H+ yang dihasilkan di dalam CES otak itu sendiri akibat masuknya CO2. Dengan demikian, mekanisme utama yang mengomtrol ventilasi pada keadaan istirahat secara khusus ditujukan untuk mengatur konsentrasi H+ CES otak, yang pada gilirannya merupakan pencerminan langsung Pco2 arteri. Kecuali apabila terjadi keadaan-keadaan yang meringankan, misalnya berkurangnya ketersediaan O2 dalam udara inspirasi, Po2 arteri secara “kebetulan” juga di pertahankan dalam nilai normalnya oleh mekanisme ventilasi yang di dorong oleh H+ CES otak.
Pengaruh kuat kemoreseptor sentral pada pusat pernapasan merupakan penyebab utama anda dapat menahan napas secara sengaja lebih dari sekitar satu menit. Sementara anada menahan napas, CO2 yang di hasilkan melalui proses metabolism terus terus tertimbun dalam darah anda dan selanjunya meningkatkan konsentrasi H+ di CES otak. Akhirnya, stimulus terhadap penapasan yang ditimbulkan oleh Pco2-H+ menjadi sedemikian kuat, sehingga masukan eksitatorik kemoreseptor sentral mengalahkan masukan inhibitorik volunteer untuk respirasi, sehingga bernapas kembali dimulai walaupun anda berusaha menghentikannya. Bernapas telah pulih jauh sebelum Pco2 arteri turun ke kadar yang sangat rendah yang mengancan nyawa dan memicu kemoreseptor perifer. Dengan demikian, anda tidak dapat menahan napas untuk menciptakan kadar CO2 yang tinggi atau kadar O2 yang rendah di dalam arteri yang dapat mengancam nyawa.
Berbeda dengan efek stimulatorik normal yang ditimbulkan peningkatan Pco2-H+ pada aktivitas pernapasan, kadar CO2 yang sangat tinggi secara langsung menekan seluruh otak, termasuk pusat pernapasan, seperti kadar O2 yang sangat rendah. Sampai Pco2 70-80 mmHg, kadar Pco2 yang secara progresif meningkat akan menginduksi usaha yang semakin kuat sebagai cara untuk mengeluarkan kelebihan CO2. Namun, peningkatan lebih lanjut Pco2 melebihi 70-80 mmHg tidak semakin meningkatkan ventilasi, tetapi sebenarnya menekan neuron-neuron pernapasan. Karena itu, di lingkungan-lingkungan yang tertutup, misalnya mesin anestesi sirkuit-tertutup, kapal selam, atau pesawat ruang angkasa, harus ditambahkan O2 dan CO2 harus dikeluarkan. Apabila tidak demikian, CO2 dapat mencapai kadar yang mematikan, tidak saja karena efek penekanan pada pernapasan, tetapi juga karena timbulnya asidosis respiratorik yang hebat.
Selama hipoventilasi berkepanjangan yang disebabkan oleh jenis-jenis tertentu penyakit paru kronik, terjadi peningkatan Pco2 bersamaan dengan penurunan mencolok Pco2. Pada sebagian besar kasus, Pco2 yang meningkat (bekerja melalui kemoreseptor sentral) dan Po2 yang menurun (bekerja melalui kemoreseptor perifer) bersifat senergistik; yaitu, efek stimulatorik gabungan pada pernapasan dari kedua faktor tersebut bersama-sama lebih besar daripada jumlah pengaruh independen mereka. Namun sebagian pasien dengan penyakit paru kronik yang parah kehilangan kepekaan terhadap peningkatan Pco2 arteri. Karena terjadi peningkatan pembentukan H+ di CES otak akibat retensi CO2 berkepanjangan, cukup banyak HCO3- yang dapat melintasi sawar darah otak untuk menyangga, atau “menetralisasi”, kelebihan H+. Tambahan HCO3- berikatan dengan kelebihan H+, menyingkirkannya dari larutan sehingga tidak lagi menentukan konsentrasi H+ bebas. Dengan meningkatkan konsentrasi HCO3- CES otak, konsentrase H+ CES otak dipulihkan ke normal walaupun Pco2 arteri dan Pco2 CES otak tetap tinggi. Kemoreseptor sentral tidak lagi menyadari adanya peningkatan Pco2 karenan H+ CES otak normal. karena reseptor sentral tidak lagi merangsang pusat pernapasan secara refleks sebagai respons terhadap peningkatan Pco2, pada pasien-pasien ini dorongan untuk mengeliminasi CO2 hilang; yaitu, tingkat ventilasi mereka terlalu rendah dibandingkan dengan Pco2 arterimereka yang tinggi. Pada para pasien ini, dorongan terhadap ventilasi terutama ditimbulkan oleh hipoksia, berbeda dengan orang normal, dengan kadar Pco2 arteri yang merupakan faktor dominan yang mengatur tingkat ventilasi. Ironisnya pemberian O2 kepada para pasien tersebut untuk mengurangi hipoksia dapat secara mencolok menekan keinginan mereka untuk bernapas karena terjadi peningkatan Po2 arteri yang menghilangkan stimulus utama yang mendorong respirasi. Karena bahaya ini, terapi O2 harus di berikan secara hati-hati pada pasien dengan penyakit paru kronik.
8.3. Peran Peningkatan Konsentrasi H+ Arteri dalam Mengatur Ventilasi
Perubahan konsentrasi H+ arteri tidak dapat mempengaruhi kemoreseptor sentral karena H+ tidak mudah menembus sawar darah otak. Namun, kemoreseptor perifer badan aorta kan karotis sangat tanggap terhadap fluktuasi konsentrasi H+ arteri, berbeda dengan rendahnya kepekaan mereka terhadap penyimpangan Pco2 arteri serta ketidakpekaan mereka terhadap Po2 arteri sampai tekanan parsial itu turun 40% di bawah normal.
Setiap perubahan Pco2 arteri akan menimbulkan perubahan yang setara konsentrasi H+ darah serta CES otak. Perubahan H+ di darah arteri yang diinduksi oleh CO2 ini dideteksi oleh kemoreseptor perifer, hasilnya adalah stimulus ventilasi secara refleks sebagai respons terhadap peningkatan konsentrasi H+ arteri dan depresi ventilasi yang berkaitan dengan penurunan konsentrasi H+ arteri. Walaupun demikian, perubahan-perubahan ventilasi yang diperantarai oleh kemoreseptor perifer ini kurang penting dibandingkan dengan mekanisme kemoreseptor sentral yang jauh lebih kuat dalam menyesuaikan ventilasi sebagai respons terhadap perubahan konsentrasi H+ yang ditimbulkan oleh CO2.
Kemoreseptor perifer berperan besar pada penyesuaian ventilasi sebagai respons terhadap perubahan konsentrasi H+ arteri yang tidak berkaitan dengan fluktuasi Pco2. Pada berbagai keadaan walau Pco2 normal, konsentrasi H+ berubah akibat penambahan atau pengurangan asam non-karbonat dari tubuh. Sebagai contoh, konsentrasi H+ arteri meningkat pada diabetes mellitus karena adanya asam-asam keto penghasil H+ yang di produksi secara abnormal dan ditambahkan ke darah. Peningkatan konsentrasi H+ arteri secara refleks merangsang ventilasi melalui kemoreseptor perifer. Sebaliknya, kemoreseptor perifer secara refleks menekan aktifitas pernapasan sebagai respons terhadap penurunan konsentrasi H+ arteri yang ditimbulkan oleh kausa non-respirasi. Perubahan ventilasi oleh mekanisme ini sangat penting untuk mengatur keseimbangan asam-basa tubuh. Dengan mengubah-ubah tingkat ventilasi,  jumlah CO2 penghasil asam yang dieliminasi dapat diubah-ubah. Penyesuaian jumlah H+ yang ditambahkan ke darah oleh CO2 dapat mengkompensasi perubahan konsentrasi H+ arteri yang ditimbulkan oleh kausa non-respirasi yang pertama kali memicu respons pernapasan tersebut gambar: 8.3.1
Gambar 8.3.1 Efek Peningkatan Ion Hidrogen Non-Asam Karbonat
Sumber: Sherwood. 2001: 454
8.4. Olahraga Sangat Meningkatkan Ventilasi, tetapi Mekanisme yang Berperan  Masih belum Jelas
Ventilasi alveolus dapat meningkat sampai dua puluh kali lipat selama olahraga berat untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan penyerapan O2 dan pengeluaran CO2. Penyebab peningkatan ventilasi selama olahraga masih bersifat spekulatif. Dapatlah diterima akal sehat bahwa perubahan “tiga besar” faktor kimia – penurunan PO2, dan peningkatan H+ - dapat menyebabkan peningkatan ventilasi tersebut. Namun, tampaknya hal ini tidak sepenuhnya benar.
§  Walaupun terjadi peningkatan mencolok pemakaian O2 selama olahraga, PO2 arteri tidak menurun tetapi tetap normal atau bahkan sedikit meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena peningkatan ventilasi alveolus mengimbangi atau bahkan sedikit melebihi peningkatan kecepatan konsumsi O2.
§  Demikian juga, walaupun terjadi peningkatan mencolok produksi CO2 selama olahraga, PCO2 arteri tidak meningkat tetapi tetap normal atau sedikit berkurang. Hal ini terjadi karena CO2 tambahan itu dikeluarkan sama cepatnya atau bahkan lebih cepat daripada tingkat pembentukannya akibat peningkatan ventilasi.
§  Selama olahraga ringan atau sedang, konsentrasi H+ ditahan dalam kadar konstan. Selama olahraga berat, konsentrasi H+ memang agak meningkat karena pembebasan asam laktat penghasil H+ ke dalam darah akibat metabolisme anaerob di otot. Walaupun demikian, peningkatan konsentrasi H+ yang terjadi akibat pembentukan asam laktat tidak cukup besar untuk menimbulkan peningkatan ventilasi yang menyertai olahraga.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa menetapnya ketiga faktor regulatorik kimia di atas selama olahraga merupakan bukti bahwa respons ventilasi terhadap olahraga memang dikontrol oleh faktor-faktor tersebut–terutama oleh PCO2, karena faktor tersebut merupakan pengontrol yang dominan selama bernapas tenang. Sesuai dengan pemahaman ini, bagaimana lagi ventilasi alveolus dapat ditingkatkan setara persis dengan produksi CO2 sehingga PCO2 konstan? Akan tetapi, pendapat ini tidak dapat menjelaskan pengamatan bahwa selama olahraga berat ventilasi alveolus dapat meningkat relatif terhadap peningkatan produksi CO2, sehingga sebenarnya terjadi penurunan ringan PCO2. Demikian juga, ventilasi meningkat dengan cepat pada permulaan olahraga (dalam beberapa detik), jauh sebelum perubahan gas darah arteri menjadi cukup berpengaruh terhadap pusat pernapasan (yang memerlukan waktu beberapa menit).
Tidak ada diantara faktor-faktor atau kombinasi faktor tersebut yang benar-benar memuaskan untuk menjelaskan efek olahraga pada ventilasi yang bersifat mendadak dan kuat. Faktor-faktor tersebut juga tidak dapat secara menyeluruh menentukan tingginya korelasi antara aktivitas pernapasan dan kebutuhan tubuh akan pertukaran gas selama olahraga. (untuk pembahasan mengenai bagaimana pengukuran konsumsi O2 selama olahraga dapat digunakan untuk menentukan kapasitas kerja maksimum seseorang, lihat fitur penyerta dalam otak, Lebih Dekat tentang Fisiologi Olahraga).

9.Penyakit Sistem Pernapasan pada Manusia
 Beberapa diantaranya penyakit yang terdapat pada sistem pernfasan pada manusia.  Makalah yang ditulis ini ada beberapa diantaranya yaitu:
1.      Asma
Penyebab yang umum ialah hipersensitivitas bronkiolus terhadap benda-benda asing diudara. Serangan asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkiolus (yang menyebabkan kesukaran bernafas).
2.      Faringitis
Merupakan peradangan pada tenggorokan (faring) yang disebabkan oleh bakteri streptokokus grup A. Virus juga dapat menyebabkan faringitis, seperti virus. Faringitis ini dapat menular melalui percikan ludah dari orang yang menderita faringitis. Faktor pendukung seperti adanya rangsangan oleh asap, uap, zat kimia, udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi dan konsumsi alcohol yang berlebihan.
3.      Influenza
Disebabkan oleh infeksi virus A, B, dan jarang virus influenza C. Penyakit ini terutama berdampak pada tenggorokan dan paru-paru, tetapi juga dapat mengakibatkan masalah jantung dan bagian lain tubuh, terutama di kalangan penderita penyakit lain missal diabetes.
4.      Pneumonia
Merupakan penyakit saluran pernafasan bawah akut, biasa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus. Kuman penyebab yang sering adalah pneumonia bacterial berbentuk kokus, disebut pneumokokus. Penyakit infeksi dalam menyebabkan membran beradang dan berlubang-lubang, sehingga cairan serum/plasma sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli. Infeksi desebarkan oleh perpindahan bakteri dari satu alveolus ke alveolus.
5.      Emfisema
Disebabkan oleh menurunnya elastisitas paru-paru sehingga volume udara di dalam paru-paru berlebih. Penyebab emfisema jangka panjang adalah merokok jangka lama.
6.      Kanker paru-paru
Merupakan tumor ganas paru khususnya pada epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia.
7.      TBC
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Tuberkulosis paru merupakan penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil, anak dengan malnutrisi, dan anak dengn gangguan imunologis.
8.      Batuk
Merupakan salah satu upaya pertahanan tubuh (dalam hal ini saluran pernafasan) yang alamiah yaitu suatu reflex perlindungan yang primitive untuk membuang sekresi trakeobronkial yang berlebihan ataupun benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Rangsangan yang dapat menyebabkan batuk antara lain: udara dingin, benda asing seperti debu, radang/edema mukosa saluran nafas, tekanan terhadap saluran nafas misalnya oleh tumor, lender pada saluran pernafasan dan kontraksi otot pada saluran nafas.
9.      ISPA (infeksi saluran pernafasan atas)
Merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga bronkiolus termasuk jaringan adneksnya seperti sinus/rongga hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi saluran pernafasan disebabkan oleh beberapa golongan kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 macam. Menurut Depkes, klasifikasi dari ISPA secara terbagi tiga bagian yaitu: ringan, sedang dan berat.


10.Mengatasi gangguan/ penyakit dari pernafasan manusia
Beberapa cara mengatasi penyakit gangguan pernafasan manusia yang dibahas di makalah ini yaitu sebagai berikut:
10.1. Influenza (flu), cara yang cukup efektif untuk mencegah serangan flu. Yakni dengan vaksin influenza. Sayangnya, kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan edukasi dari petugas medis menyebabkan vaksin itu kurang dikenal secara luas oleh masyarakat.
10.2. Tuberkulosis (TBC), Aroma mengkudu memang tak sedap sehingga banyak orang menjauhinya. Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang mematikan itu juga menghindar. Mungkin bukan karena aroma itu, tetapi lantaran si noni menyimpan senjata andalan bernama antrakuinon dan akubin. Kedua senyawa itu bersifat antibakteri sehingga makhluk liliput penyebab penyakit tuberkulosis pun bertekuk lutut. Dalam pengobatan, mengkudu Morinda citrifolia dipadukan dengan rimpang jahe Zingiber officinalis. Duet buah dan rimpang itu tokcer mengatasi serangan bakteri yang pertama kali ditemukan pada 24 Maret 1882 itu. Ampuhnya obat itu dibuktikan secara klinis.
10.3. Emfisema, Pencegahan dan solusi: Menghindari asap rokok adalah langkah terbaik untuk mencegah penyakit ini. Berhenti merokok juga sangat penting. Emfisema, Ekspectoran dan Mucolitik merupakan usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru. Ekspectoran dan mucolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran aspas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidans .
10.4. Pneumonia, Pencegahan dan solusi: Selalu memelihara kebersihan dan menjaga daya tahan tubuh tetap kuat dapat mencegah agar bakteri tidak mampu menembus pertahanan kesehatan tubuh. Biasakan untuk mencuci tangan, makan makanan bergizi atau berolahraga secara teratur. Pengobatan: Apabila telah menderita pneumonia, biasanya disembuhkan dengan meminum antibiotik. Pneumonia, Pengobatan awal biasanya adalah antibiotik, yang cukup manjur mengatasi penumonia oleh bakteri, mikoplasma dan beberapa kasus rickettsia. Biasanya dokter yang menangani peneumonia akan memilihkan obat sesuai pertimbangan masing-masing, setelah suhu pasien kembali normal, dokter akan menginstruksikan pengobatan lanjutan untuk mencegah kekambuhan. Soalnya, serangan berikutnya bisa lebih berat dibanding yang pertama. Selain antibiotika, pasien juga akan mendapat pengobatan tambahan berupa pengaturan pola makan dan oksigen untuk meningkatkan jumlah oksigen dalam darah. Pasien sebaiknya dijaga tidak banyak bergerak. Pasien maupun para petugas kesehatan yang menangani dianjurkan untuk selalu mencuci tangan dengan sabun untuk menghindari penyebaran.
10.5. Kanker paru-paru, Pencegahan dan solusi: Menghindari rokok dan asap rokok juga banyak mengkonsumsi makanan bergizi yang banyak mengandung antioksidan untuk mencegah timbulnya sel kanker. Kanker paru-paru, Beberapa prosedur yang dapat memudahkan diagnosa kanker paru antara lain adalah foto X-Ray, CT Scan Toraks, Biopsi Jarum Halus, Bronkoskopi, dan USG Abdomen.Pengobatan kanker paru dapat dilakukan dengan cara-cara seperti dengan membuang satu bagain dari paru – kadang melebihi dari tempat ditemukannya tumor dan membuang semua kelenjar getah bening yang terkena kanker.
11. Miskonsepsi
Miskonsepsi yang umum ditemukan di antara siswa dalam biologi adalah bahwa respirasi dan pernapasan adalah proses yang sama. Namun, istilah respirasi mengacu pada metabolisme sel dan pernapasan mengacu pada inhalasi dan pengeluaran udara. Gagasan respirasi selular cukup sulit untuk dipahami bagi siswa karena mereka tidak bisa melihat itu terjadi. Namun, istilah seperti 'sistem pernapasan' 'permukaan pernapasan', dan 'pusat pernapasan', di mana 'pernapasan' sebenarnya berarti 'bernapas', masih umum digunakan. Ini adalah sumber utama kebingungan bagi siswa. Tidak hanya siswa, tetapi juga guru 'miskonsepsi pada berbagai proses fisiologis yang sebagian disebabkan kecenderungan beberapa penulis untuk mendefinisikan istilah-istilah tersebut hampir secara eksklusif dalam kaitannya dengan hewan terutama manusia (Driver, 1987).
5.1.Organ-organ penyusun pernafasan manusia yaitu: Hidung, Laring, Pharing, Trachea, Bronchus, dan Paru-paru.
5.2. Pharing bukan termaksud organ-organ pernafasan manusia melainkan sistem pencernaan makanan. Sehingga yang termaksud sistem pernafasan manusia yaitu: Hidung, Laring, Trachea, Bronchus, dan Paru-paru.
Konsep: Pernafasan anaerob adalah pernafasan yang tidak memerlukan oksigen
Definisi tersebut kurang tepat, karena pada hakikatnya tidak ada proses pernafasan (respirasi) yang tidak membutuhkan oksigen. Ingat respirasi adalah rekasi oksidasi dan reduksi, jadi memerlukan oksigen. Pada waktu yang bersamaan terdapat zat yang direduksi dan ada zat yang dioksidasi. Pada reaksi oksidasi dan reduksi terjadi prosdes berikut
Tabel: Perbedaan Oksidasi dan Reduksi (Black, 2009)
Oksidasi
Reduksi
Kehilangan electron
Penambahan elektron
Penambahan oksigen
Kehilangan oksigen
Kehilangan Hidrogen
Penambahan Hidrogen
Pembebasan Energi
Penyimpangan energy dalam bentuk senyawa tereduksi
Eksothermik, exergonik, member energy panas
Endothermik, endergonik, membutuhkan energy, misalnya panas
Jadi semua proses respirasi memerlukan oksigen, hanya saja sumber energy oksigen yang digunakan berbeda. Oksigen bias berasal dari udara bebas, oksigen yang terdapat di dalam molekul lain, atau oksigen yang berasal dari molekul itu sendiri. Dari sini kita mengenal dua macam istilah pernafasan yaitu antarmolekul dan intramolekul. Pernafasan antar molekul terjadi bila oksigen berasal dari molekul lain. Sedangkan respirasi intramolekul bila pksigen yang digunakan berasal dalam molekul itu sendiri.

Konsep: Pernafasan aerob adalah pernafasan yang membutuhkan oksigen
Pernyataan ini tidak lengkap dan menyeluruh (tidak komprehensif). Semua proses pernafasan adalah peristiwa oksidasi dan reduksi. Oleh karena itu pasti memerlukan oksigen, hanya saja asal oksigen yang diguanakan berbeda.
Saran Perbaikan: Pernafasan aerob adalah pernafasan yang menggunakan oksigen bebas.
















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Yang dapat disimpulkan dalam pembahasan ini adalah:
1.    Pernafasan merupakan upaya memasukkan dan mengeluarkan udara ke/dari dalam paru-paru, selain itu juga melibatkan proses pertukaran gas yang meliputi pengambilan oksigen dari lingkungan dan pembuangan karbon dioksida ke lingkungan. Pertukaran gas ini terjadi antara udara dalam paru-paru dan darah, serta antara darah dan sel-sel.
2.    Organ Pernafasan Manusia: Hidung,  Laring,Trachea, Bronchus, dan Paru-paru.
3.    Sistem pernafasan manusia ada dua yaitu:
      a.Pernafasan Perut
      b.Pernafasan Dada
4. Mekanisme pernafasan manusia yaitu:
a. Fase inspirasi
b. Fase Ekspirasi
5. Pertukaran Gas Meliputi:
Gas Berpindah Mengikuti Penurunan Gradien Tekanan, Oksigen Masuk dan CO2 Keluar dari Darah di Paru Secara Pasif Mengikuti   Penurunan Gradien Tekanan Parsial, Pertukaran Gas Melintasi Kapiler Sistemik juga Mengikuti Penurunan Gradien Tekanan Parsial, Saluran Pernafasan, Terdapat Kontrol Lokal yang Bekerja pada Otot Polos Saluran Pernafasan dan Arteriol, Sifat Elastik Paru, Surfaktan Paru Menurunkan Tegangan Permukaan dan Berperan dalam StabilitasParu, Defisiensi Surfaktan Paru,  Pernafasan normal, Ventilasi Alveolus.
6. Transportasi Gas
Sebagian besar O2 dalam darah diangkut oleh hemoglobin. Oksigen yang diserap oleh darah harus diangkut ke jaringan agar dapat digunakan oleh sel-sel. Sebaliknya CO2 yang diproduksi oleh sel-sel harus diangkut ke paru-paru untuk dieliminasi.
7.      Kontrol Pernapasan
Pusat Pernapasan di Batang Otak Menentukan Pola Bernapas Ritmik  Bernapas, Pengatur Utama Besarnya Ventilasi, Peran Peningkatan Konsentrasi H+ Arteri dalam Mengatur Ventilasi, Pengaruh olahraga dapat meningkatkan ventilasi.
8. Penyakit Sistem Pernapasan pada Manusia
Beberapa diantaranya penyakit yang terdapat pada sistem pernfasan pada manusia. Makalah yang ditulis ini ada beberapa diantaranya yaitu:
10.  Asma
Penyebab yang umum ialah hipersensitivitas bronkiolus terhadap benda-benda asing diudara. Serangan asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkiolus (yang menyebabkan kesukaran bernafas).
11.  Faringitis
Merupakan peradangan pada tenggorokan (faring) yang disebabkan oleh bakteri streptokokus grup A. Virus juga dapat menyebabkan faringitis, seperti virus. Faringitis ini dapat menular melalui percikan ludah dari orang yang menderita faringitis. Faktor pendukung seperti adanya rangsangan oleh asap, uap, zat kimia, udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi dan konsumsi alcohol yang berlebihan.
12.  Influenza
Disebabkan oleh infeksi virus A, B, dan jarang virus influenza C. Penyakit ini terutama berdampak pada tenggorokan dan paru-paru, tetapi juga dapat mengakibatkan masalah jantung dan bagian lain tubuh, terutama di kalangan penderita penyakit lain missal diabetes.
13.  Pneumonia
Merupakan penyakit saluran pernafasan bawah akut, biasa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus. Kuman penyebab yang sering adalah pneumonia bacterial berbentuk kokus, disebut pneumokokus. Penyakit infeksi dalam menyebabkan membran beradang dan berlubang-lubang, sehingga cairan serum/plasma sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli. Infeksi desebarkan oleh perpindahan bakteri dari satu alveolus ke alveolus.
14.  Emfisema
Disebabkan oleh menurunnya elastisitas paru-paru sehingga volume udara di dalam paru-paru berlebih. Penyebab emfisema jangka panjang adalah merokok jangka lama.
15.  Kanker paru-paru
Merupakan tumor ganas paru khususnya pada epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya silia.
16.  TBC
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Tuberkulosis paru merupakan penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil, anak dengan malnutrisi, dan anak dengn gangguan imunologis.
17.  Batuk
Merupakan salah satu upaya pertahanan tubuh (dalam hal ini saluran pernafasan) yang alamiah yaitu suatu reflex perlindungan yang primitive untuk membuang sekresi trakeobronkial yang berlebihan ataupun benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Rangsangan yang dapat menyebabkan batuk antara lain: udara dingin, benda asing seperti debu, radang/edema mukosa saluran nafas, tekanan terhadap saluran nafas misalnya oleh tumor, lender pada saluran pernafasan dan kontraksi otot pada saluran nafas.
18.  ISPA (infeksi saluran pernafasan atas)
Merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga bronkiolus termasuk jaringan adneksnya seperti sinus/rongga hidung (sinus para nasal), rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi saluran pernafasan disebabkan oleh beberapa golongan kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya lebih dari 300 macam. Menurut Depkes, klasifikasi dari ISPA secara terbagi tiga bagian yaitu: ringan, sedang dan berat.
9.Mengatasi gangguan/ penyakit dari pernafasan manusia
Beberapa cara mengatasi penyakit gangguan pernafasan manusia yang dibahas di makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Influenza (flu), cara yang cukup efektif untuk mencegah serangan flu. Yakni dengan vaksin influenza
2. TBC, Dalam pengobatan, mengkudu Morinda citrifolia dipadukan dengan rimpang jahe Zingiber officinalis. Duet buah dan rimpang itu tokcer mengatasi serangan bakteri yang pertama kali ditemukan pada 24 Maret 1882 itu. Ampuhnya obat itu dibuktikan secara klinis.
3. Emfisema, Pencegahan dan solusi: Menghindari asap rokok adalah langkah terbaik untuk mencegah penyakit ini. Berhenti merokok juga sangat penting. Emfisema, Ekspectoran dan Mucolitik merupakan usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru.
4. Pneumonia, Pencegahan dan solusi: Selalu memelihara kebersihan dan menjaga daya tahan tubuh tetap kuat dapat mencegah agar bakteri tidak mampu menembus pertahanan kesehatan tubuh. Biasakan untuk mencuci tangan, makan makanan bergizi atau berolahraga secara teratur. Pengobatan: Apabila telah menderita pneumonia, biasanya disembuhkan dengan meminum antibiotik.
5. Kanker paru-paru, Pencegahan dan solusi: Menghindari rokok dan asap rokok juga banyak mengkonsumsi makanan bergizi yang banyak mengandung antioksidan untuk mencegah timbulnya sel kanker. Kanker paru-paru, Beberapa prosedur yang dapat memudahkan diagnosa kanker paru antara lain adalah foto X-Ray, CT Scan Toraks, Biopsi Jarum Halus, Bronkoskopi, dan USG Abdomen.
B. Saran
Dari uraian diatas da hal-hal yang perlu kita perhatikan dan perlu kita jaga kesehatan kita terutama mengenai pernafasan. Ada beberapa saran yang penyaji perlu sampaikan diantaranya:
1. Mari kita hindari merokok karena dari segi agama hukumnya makruh dan juga ulama mengtakan hukumnya haram, ini menurut pandangan islam serta dari segi kesehatan juga ada pengaruhnya seperti sesak nafas, kanker, dan lain-lain.
2.  Mari kita sejak dini untuk menjaga kesehatan kita terutama pada anak-anak kita kita supaya kita ingatkan untuk tidak merokok.
3.  Mari kita jaga lingkungan kita agar tetap terjaga kebersihan terutama dari lingkungan kita dirumah, di lingkungan tempat tinggal kita agar terjaga kesehatan dan lingkungan sehat dan saling untuk mengingatkan mengenai kesehatan terutama mengenai dampak yang diakibatkan dari pernafasan dan kita untuk engeathui cara mengatasi penyakit/gangguan dari sistem pernfasan. Terutama kita konsultasi kepada dokter atau dinas kesehatan.


DAFTAR PUSTAKA



Basoeki, Soedjono. 1988. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek pengembangan Lembaga dan pendidikan Tenaga Kepenidikan.

Campbell, Neil A. Jane B. Reece and Lawrence G.Mitchell. 2008. Biologi Edisi 8 Jilid 1. Diterjemahkan oleh Damaring Tyas W.2010. Jakarta: Erlangga.

Kimball, John. W. 1983. Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Rosenberg, J.L. 1965. Photosynthesis: The Basic Process of Food-making in Green Plants. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Schulz, E., M.M Caldwell. 1995. Ecophysiology of Photosynthesis. New York : Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Sherwood, Lauralee. 2001. Human Physiology: From Cells to Systems.    Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC.
Sugiarti. 2000. Fisiologi Manusia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi.
Tim Penyusun Karya Pembina. 2011. Anatomi Manusia, Bagaimana Tubuh Kita Bekerja. Surabaya: PT Karya Pembina Surabaya.



 


1 komentar:

  1. 11bet - vntopbet.com
    11bet is one 바카라 사이트 of the top providers in the gambling and 샌즈카지노 entertainment industry. Their games include baccarat, roulette, keno and 11bet much more. They offer fast withdrawals,

    BalasHapus