BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ayat Al Qur'an
berkaitan dengan Ilmu Fisiologi Respirasi, semoga bermanfaat: “Barangsiapa yang
Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan
melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki
Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit
seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa
kepada orang-orang yang tidak beriman. ”(QS.Al An’am : 125). Pada ayat ini
terdapat korelasi yang konkrit dengan ilmu fisiologi (fungsi-fungsi organ
tubuh). Dimana didalam ilmu fisiologi respirasi kita ketahui bahwa minimnya
tekanan udara dan oksigen terjadi setiap kali bertambah ketinggian seseorang
dari permukaan bumi. Keadaan ini menyebabkan kesempitan dan kesulitan pada dada
untuk bernafas (sesak nafas).
Pernafasan
merupakan upaya memasukkan dan mengeluarkan udara ke/dari dalam paru-paru,
selain itu juga melibatkan proses pertukaran gas yang meliputi pengambilan
oksigen dari lingkungan dan pembuangan karbon dioksida ke lingkungan.
Pertukaran gas ini terjadi antara udara dalam paru-paru dan darah, serta antara
darah dan sel-sel.
Bernafas bisa
diartikan sebagai suatu proses menghirup udara dan menghembuskan udara. Udara
yang diperlukan untuk melakukan pernafasan adalah udara yang banyak mengandung
oksigen. Sementara itu, udara yang kita hembuskan adalah berupa karbondioksida
dan uap air dari sisa-sisa metabolisme yang terjadi di dalam tubuh kita. Udara
yang masuk ke dalam tubuh kita akan digunakan oleh tubuh kita untuk melakukan
proses oksidasi biologis, yaitu proses pemecahan molekul gula yang diuraikan
menjadi molekul yang sederhana sehingga diperoleh energi uap air dan
karbondioksida.
Pernafasan
pada manusia, tidak terjadi secara langsung, artinya udara yang diperlukan
untuk proses pernafasan tidak berdifusi melalui kulit, melainkan melalui
perantara alat-alat pernafasan. Difusi udara pernafasan baru akan terjadi pada
gelembung paru-paru (Alveolus).
Energi
penting bagi aktivitas sel yang ditujukan untuk mempertahankan hidup, misalnya
sintesis protein dan transportasi aktif menembus membran plasma. Sel-sel tubuh
memerlukan pasokan O2 secara kontinu
untuk menunjang reaksi-reaksi kimia yang menghasilkan energi. CO2 yang
dihasilkan oleh reaksi-reaksi tersebut harus dieliminasi dari tubuh dengan
kecepatan yang sama dengan pembentukannya agar tidak terjadi fluktuasi pH yang
berbahaya (yaitu, untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa), karena CO2
menghasilkan asam karbonat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka
secara garis besar dapat disusun beberapa rumusan masalah yang akan dibahas di
dalam makalah ini antara lain:
1.
Apa definisi dari pernafasan?
2.
Mengetahui organ-organ pada sistem
pernafasan manusia?
3.
Bagaimanakah proses sistem
pernafasan manusia?
4.
Bagaimanakah mekanisme sistem
pernafasan pada manusia?
5.
Bagaimanakah
pertukaran gas pernafasan manusia?
6.
Bagaimanakah
transportasi gas pernafasan manusia?
7.
Bagaimanakah kontrol pernafasan
manusia?
8.
Bagaimanakah dampak penyakit dari
sistem pernafasan manusia?
9.
Bagaimanakah cara mengatasi penyakit pada
sistem pernafasan pada manusia?
10.
Lks dan jawaban?
11.
Apa saja miskonsepsi yang terdapat
pada materi sistem pernafasan?
12.
Video mengenai sistem pernafasan
pada manusia?
C. Tujuan
Tujuan
dari pembahasan makalah ini adalah
1.
Untuk mengetahui definisi dari
pernafasan pada manusia.
2.
Untuk mengetahui organ-organ pada
pernafasan manusia.
3.
Untuk memahami proses sistem
pernafasan manusia.
4.
Untuk memahami mekanisme sistem
pernafasan manusia.
5.
Untuk
memahami pertukaran gas pernafasan manusia.
6.
Untuk
memahami transportasi gas pernafasan manusia.
7.
Untuk mengetahui kontrol
pernafasan manusia.
8.
Untuk mengetahui dampak penyakit
pada sistem pernafasan manusia.
9.
Untuk mengetahui bagaimana cara
mengatasi penyakit pada pernafasan manusia.
10.
Untuk mengetahui miskonsepsi pada
materi pernafasan manusia.
E. Manfaat
Dengan membaca makalah ini diharapkan ada
tambahan pengetahuan dan akan mempunyai
gambaran yang utuh tentang sistem pernafasan manusia serta beberapa diantaranya
penyakit yang diderita pada pernafasan manusia serta bagaimana cara mengatasi
penyakit yang diderita pada pernafasan manusia. Dan mampu mengembangkannya
kembali sebagai bahan dalam proses belajar mengajar di kelas atau di sekolah masing-masing.
BAB II
PEMBAHASAN
Pernafasan merupakan sebagai suatu proses
menghirup udara dan menghembuskan udara. Udara yang diperlukan untuk melakukan
pernafasan adalah udara yang banyak mengandung oksigen. Sementara itu, udara
yang kita hembuskan adaalah berupa karbondioksida dan uap air dari sisa-sisa metabolisme
yang terjadi di dalam tubuh kita. Udara yang masuk ke dalam tubuh kita akan
digunakan oleh tubuh kita untuk melakukan proses oksidasi biologis, yaitu
proses pemecahan molekul gula yang diuraikan menjadi molekul yang sederhana
sehingga diperoleh energi uap air dan karbondioksida.
2.1. Sistem pernafasan tidak berpartisipasi dalam semua langkah Respirasi
Fungsi
utama pernafasan adalah untuk memperoleh O2 agar dapat digunakan
oleh sel-sel tubuh dan mengeliminasi CO2 yang dihasilkan oleh sel.
Sebagian besar orang menganggap bahwa pernafasan sebagai proses menarik dan
mengeluarkan nafas. Namun, dalam fisiologi, pernafasan memiliki makna yang
lebih luas. Respirasi internal atau seluler mengacu kepada proses metabolisme
intrasel yang berlangsung di dalam mitokondria, yang menggunakan O2 dan
menghasilkan CO2 selama penyerapan energi dari molekul nutrien.
Kuosien pernafasan (respiratory quotient,
R.Q) yaitu perbandingan rasio CO2 yang dihasilkan terhadap O2 yang
dikonsumsi. Jika yang digunakan adalah karbohidrat, RQ adalah 1, yaitu setiap
molekul O2 yang dikonsumsi, dihasilkan satu molekul CO2:
C6H12O6+ 6CO2+
6H2O+ ATP. Untuk pemakaian lemak, RQ adalah 0,7; untuk protein
0,8. Untuk makanan yang lazim dikonsumsi di Amerika Serikat mengandung
campuran ketiga nutrein tersebut, konsumsi O2 istirahat rata-rata
adalah sekitar 250 ml/menit, dan CO2 yang dihasilkan rata-rata
adalah 200 ml/menit, untuk RQ rata-rata 0,8.
Repirasi
eksternal mengacu kepada keseluruhan rangkaian kejadian yang terlibat dalam
pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan
sel tubuh seperti pada Gambar 2.1.1 Pernafasan eksternal
meliputi:
- Udara secara bergantian bergerak masuk-keluar paru sehingga dapat terjadi pertukaran antara atmosfer (lingkungan eksternal) dan kantung udara (alveolus) paru. Pertukaran ini dilaksanakan oleh kerja mekanis pernafasan atau ventilasi. Kecepatan pernafasan diatur sedemikian rupa, sehingga aliran udara antara atmosfer dan alveolus disesuaikan dengan kebutuhan metabolik tubuh untuk menyerap O2 dan mengeluarkan CO2.
- O2 dan CO2 antara udara di alveolus dan darah di dalam kapiler pulmonalis melalui proses difusi.
- O2 dan CO2 diangkut oleh darah antara paru dan jaringan.
- Pertukaran O2 dan CO2 terjadi antara jaringan dan darah melalui proses difusi melintasi kapiler sistemik (jaringan).
Gambar 2.1.1
Pernafasan Eksternal dan Internal
Sumber:
Sherwood. 2001: 412
Sistem pernafasan tidak melakukan
keempat langkah pernafasan tersebut, sistem ini hanya terlibat dengan ventilasi
dan pertukaran O2 dan CO2 antara paru dan darah. Sistem
sirkulasi menjalankan proses pernafasan selanjutnya.
Sistem
pernafasan juga melakukan fungsi nonrespirasi sebagai berikut:
Ø Menyediakan
jalan untuk mengeluarkan air dan panas. Udara atmosfer yang dihirup dilembabkan
dan dihangatkan oleh jalan napas sebelum udara tersebut dikeluarkan. Pelembaban
udara yang dihirup ini penting dilakukan agar dinding alveolus tidak mengering. O2 dan CO2 tidak
dapat berdifusi melintasi membran yang kering.
Ø Meningkatkan
aliran balik vena.
Ø Berperan
dalam memelihara keseimbangan asam basa normal dengan mengubah jumlah CO2
penghasil asam (H+) yang dikeluarkan.
Ø Memungkinkan
kita bicara, menyanyi, dan vokalisasi lain.
Ø Mempertahankan
tubuh dari invasi bahan asing.
Ø Mengeluarkan,
memodifikasi, mengaktifkan, atau mengaktifkan berbagai bahan yang melewati
sirkulasi paru. Semua darah yang kembali ke jantung dari jaringan harus
melewati paru sebelum dikembalikan ke sirkulasi sistemik. Paru, dengan
demikian, memiliki letak yang unik untuk secara parsial atau total
menyingkirkan bahan-bahan tertentu yang telah ditambahkan ke dalam darah di
tingkat jaringan sebelum bahan-bahan tersebut memiliki kesempatan mencapai
bagian tubuh lain melalui sistem arteri. Sebagai contoh, prostaglandin, sekumpulan zat perantara kimiawi yang dikeluarkan
oleh banyak jaringan untuk memperantarai respon lokal tertentu dapat tumpah ke
dalam darah tetapi dinonaktifkan pada saat melewati paru, sehingga zat-zat
tersebut tidak menimbulkan efek sistemik. Di pihak lain, paru mengaktifkan
angiotensi II, suatu hormon yang berperan penting dalam mengatur konsentrasi Na+
di cairan ekstrasel.
Ø Hidung,
bagian sistem pernafasan berfungsi sebagai organ penghirup.
2.2.
Saluran
Pernafasan Menyalurkan Udara antara Atmosfer dan Alveolus
Sistem
pernafasan mencakup saluran pernafasan yang berjalan ke paru- paru itu sendiri,
dan struktur toraks (dada) yang
terlibat menimbulkan gerakan udara masuk-keluar paru melalui saluran yang
mengangkut udara antara atmosfer dan alveolus,
tempat terakhir yang merupakan satu-satunya tempat pertukaran gas-gas antara
udara dan darah dapat berlangsung seperti Gambar 2.1.2
Saluran pernafasan berawal di saluran hidung (nasal). Saluran hidung berjalan
ke faring (tenggorokan), yang berfungsi sebagai saluran bersama bagi sistem
pernafasan maupun sistem pencernaan. Terdapat dua saluran yang berjalan dari
faring ke trakea (windpipe), tempat
lewatnya udara ke paru, dan esofagus,
saluran tempat lewatnya makanan ke lambung. Udara dalam keadaan normal masuk ke
faring melalui hidung, tetapi udara juga dapat masuk melalui mulut jika hidung
bisa tersumbat. Jadi jika anda dapat bernafas melalui mulut sewaktu anda
terkena pilek. Karena faring berfungsi sebagai saluran bersama untuk makanan
dan udara, terdapat mekanisme-mekanisme refleks untuk menutup trakea selama
proses menelan, sehingga makanan masuk ke esofagus dan tidak ke saluran nafas.
Esofagus tetap tertutup, kecuali sewaktu menelan, untuk mencegah udara masuk ke
lambung sewaktu kita bernafas.
Laring (kota
suara) yang terletak di pintu masuk trakea memiliki penonjolan di bagian
anterior yang membentuk jakun (adams
apple). Pita suara, dua pita jaringan elastik yang terentang di bukaan
laring, dapat diregangkan dan diposisikan dalam berbagai bentuk oleh otot-otot
laring. Pada saat udara mengalir melewati pita suara yang tegang, pita suara
tersebut bergetar untuk menghasilkan bermacam-macam bunyi. Lidah, bibir, dan
langit-langit lunak memodifikasi bunyi menjadi pola-pola suara mengambil posisi
rapat satu sama lain untuk menutup pintu masuk ke trakea.
Setelah laring,
trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri yang
masing-masing masuk ke paru kanan dan kiri. Di dalam setiap paru, bronkus terus
bercabang-cabang menjadi saluran nafas yang semakin sempit, pendek, dan banyak
seperti percabangan pohon. Cabang kecil di kenal sebagai bronkiolus. Di
ujung-ujung bronkiolus terkumpul alveolus, kantung udara kecil tempat
terjadinya pertukaran gas-gas antara udara dan darah.
Agar udara dapat
masuk-keluar bagian paru tempat terjadinya pertukaran gas tersebut, keseluruhan
saluran pernafasan dari pintu masuk melalui bronkiolus terminal ke alveolus
harus tetap terbuka. Trakea dan bronkus besar merupakan saluran yang tidak
berotot dan cukup kaku yang dikelilingi oleh serangkaian cincin tulang rawan
yang mencegah kompresi saluran tersebut. Bronkiolus yang lebih kecil tidak
memiliki tulang rawan yang dapat menahan tetap terbuka. Dinding bronkiolus
mengandung otot polos yang dipersyarafi oleh sistem saraf otonom dan peka
terhadap hormon dan zat kimia lokal tertentu. Faktor-faktor ini, dengan
mengubah-ubah derajat kontraksi otot polos bronkiolus (serat kaliber saluran
pernafasan halus ini), mampu mengatur jumlah udara yang mengalir antara
atmosfer dan setiap kelompok alveolus.
2.3 Alveolus Tempat
Pertukaran Gas adalah Suatu Kantung Udara Kecil, Berdinding Tipis, dan dapat Mengembang
yang Dikelilingi oleh Kapiler Paru
Paru memiliki struktur
ideal untuk melaksanakan fungsinya melakukan pertukaran gas. Menurut hukum
difusi fick, semakin pendek jarak yang ditempuh melewati tempat difusi terjadi,
semakin tinggi kecepatan difusi (Campbell. 2004: 62). Demikian juga, semakin
besar luas permukaan tempat berlangsungnya difusi, semakin tinggi kecepatan
difusi.
Alveolus adalah
kantung udara berdinding tipis, dapat mengembang, dan berbentuk seperti anggur
yang terdapat di ujung percabangan saluran pernafasan sepertti Gambar 2.3.1 Dinding alveolus
terdiri dari satu lapisan sel alveolus tipe 1 yang gepeng. Jaringan padat
kapiler paru yang mengelilingi setiap alveolus juga hanya setebal satu lapisan
sel. Ruang interstisium antara alveolus dan jaringan kapiler di sekitarnya
membentuk suatu sawar yang sangat tipis dengan ketebalan 0,2 µm yang memisahkan
udara di dalam alveolus dan darah di dalam kapiler paru. Ketipisan sawar
tersebut mempermudah pertukaran gas.
Selain itu,
pertemuan udara-darah di alveolus membentuk permukaan yang sangat luas untuk
pertukaran gas. Di paru terdapat sekitar 300 juta alveolus, masing-masing
bergaris tengah sekitar 300 µm(1/3 mm). Sedemikian padatnya jaringan kapiler
paru sehingga setiap alveolus dikelilingi oleh suatu lapisan darah yang hampir
kontinu. Dengan demikian luas permukaan total paru sekitar 75 m2.
Sebaliknya, apabila paru terdiri dari hanya sebuah ruang berongga dengan ukuran
sama dan tidak terbagi-bagi menjadi satuan-satuan alveolus yang sangat banyak
tersebut, luas permukaan totalnya hanya akan mencapai 1/100 m2.
Selain sel tipe
1 yang tipis dan membentuk dinding alveolus, epitel alveolus juga mengandung
sel alveolus tipe 2 yang merupakan surfaktan paru, suatu kompleks
fosfolipoprotein yang mempermudah pengembangan (ekspansi) paru. Di dalam lumen
kantung udara juga terdapat makrofag alveolus untuk pertahanan tubuh.
Di dinding
alveolus terdapat pori-pori kohn berukuran kecil yang memungkinkan aliran udara
antara alveolus-alveolus yang berdekatan, suatu proses yang dikenal sebagai
ventilasi kolateral. Saluran-saluran ini penting untuk mengalirkan udara segar
ke suatu alveolus yang salurannya tersumbat akibat penyakit.
Gambar 2.3.1.
Alveolus
Sumber: Sherwood. 2001: 414
2.4.
Paru
Menempati sebagian Besar Rongga Toraks
Terdapat dua
buah paru, masing-masing dibagi menjadi beberapa lobus dan dipasok oleh satu
bronkus. Jaringan paru itu sendiri terdiri dari serangkaian saluran nafas yang
bercabang-cabang, yaitu alveolus, pembuluh darah paru, dan sejumlah besar jaringan
ikat elastik. Satu-satunya otot di dalam paru adalah otot polos di dinding
arteriol dan bronkiolus, keduanya dapat dikontrol. Tidak terdapat otot di dalam
dinding alveolus yang menyebabkan alveolus mengembang atau menciut selama
proses bernafas. Perubahan volume paru ditimbulkan oleh perubahan
dimensi-dimensi toraks (Tim Penyusun Karya Pembina. 2011: 58).
Paru menempati
sebagian besar volume rongga toraks (dada), struktur lain yang terdapat di
dalamnya hanyalah jantung dan pembuluh-pembuluh terkait, esofagus, timus, dan
beberapa saraf. Dinding dada luar (toraks) dibentuk dari 12 pasang iga yang
melengkung dan menyatu di strenum (tulang dada) di sebelah anterior dan
vertebra torakalis (tulang punggung) di posterior. Sangkar iga membentuk tulang
pelindung bagi paru dan jantung. Diafragma yang membentuk dasar (lantai) rongga
toraks, adalah lembaran besar otot rangka berbentuk kubah yang memisahkan
secara total rongga toraks. Diafragma hanya ditembus oleh esofagus dan pembuluh
darah yang melintas di antara rongga toraks dan abdomen. Rongga toraks ditutup
di daerah leher oleh otot-otot dan jaringan ikat. Satu-satunya komunikasi
toraks dan atmosfer adalah melalui saluran pernafasan ke dalam alveolus.
Seperti paru, dinding dada mengandung sejumlah besar jaringan ikat elastik.
2.5.Terdapat Kantung Pleura
yang Memisahkan Paru dari Dinding Dada
Terdapat kantung tertutup
berdinding ganda yang disebut kantung pleura (pleura sac) seperti Gambar
2.5.1 yang memisahkan tiap-tiap paru dari dinding toraks
dan struktur di sekitarnya. Dalam ilustrasi, ukuran rongga pleura di dalam kantung sangat diperbesar untuk mempermudah
visualisasi, pada kenyataannya lapisan-lapisan kantung pleura berkontak satu sama lain. Permukaan pleura mengeluarkan cairan intrapleura encer yang membasahi
permukaan pleura sewaktu kedua permukaan saling bergeser satu sama lain saat
gerakan bernafas. Pleuritis (pleurisy),
peradangan kantung pleura menyebabkan rasa nyeri sewaktu bernafas karena setiap
pengembangan atau penciutan paru menyebabkan “friction rub”.
Gambar 2.5.1 Kantung Pleura
Sumber: Sherwood. 2001:
415
3.
Organ-organ pada sistem pernafasan manusia
3.1. Hidung
Hidung
terdiri dari bagian internal dan bagian external. Bagian external adalah bagian
yang menonjol ke depan wajah, lebih kecil bila dibandingkan dengan bagian
internalnya yang terletak diatas atap mulut. Interior hidung merupakan lubang
dan dipisahkan oleh septum nasi menjadi cavum sinister dan dexter. Hidung berfungsi
sebagai jalan lewat udara dari dan menuju paru, menyaring udara dan
menghangatkan, membasahkan, dan uji kimia substansi yang mungkin melukai
selaput mukosa saluran pernafasan, juga berfungsi sebagai organ pembau, karena
reseptor olfaktorius terletak di dalam mukosa hidung dan ikut membantu dalam
bersuara.
3.2. Faring
Pernafasan
berawal di saluran hidung (nasal) Saluran hidung berjalan
ke tenggorokan (Faring) , yang berfungsi sebagai saluran bersama bagi sistem
pernafasan maupun sistem pencernaan. Pada faring juga di gunakan sebagai alat
artikulasi bunyi, juga terdapat organ sexsual sekunder pada pria atau sering
dikenal dengan jakun. Terdapat dua
saluran yang berjalan dari faring ke trakea (windpipe), tempat lewatnya udara ke paru, dan esofagus, saluran tempat lewatnya makanan ke lambung. Udara dalam
keadaan normal masuk ke faring melalui hidung, tetapi udara juga dapat masuk
melalui mulut jika hidung bisa tersumbat. Jadi jika anda dapat bernafas melalui
mulut sewaktu anda terkena pilek. Karena faring berfungsi sebagai saluran
bersama untuk makanan dan udara, terdapat mekanisme-mekanisme refleks untuk
menutup trakea selama proses menelan, sehingga makanan masuk ke esofagus dan
tidak ke saluran nafas. Esofagus tetap tertutup, kecuali sewaktu menelan, untuk
mencegah udara masuk ke lambung sewaktu kita bernafas. Karena faring berfungsi sebagai saluran pernafasan
dan saluran pencernaan, karena baik udara maupun makanan harus melaluinya
sebelum mencapai tujuannya, dan ia memainkan peranan penting dalam bersuara
misalnya hanya dengan perubahan bentuk faring saja dapat berbeda suara yang
dihasilkannya.
3.3. Laring
Laring
yang terletak di pintu masuk trakea memiliki penonjolan di bagian anterior yang
membentuk jakun (adams apple). Pita suara,
dua pita jaringan elastik yang terentang di bukaan laring, dapat diregangkan
dan diposisikan dalam berbagai bentuk oleh otot-otot laring. Antara faring dan tenggorokan terdapat struktur yang
disebut laring. Laring merupakan tempat melekatnya pita suara. Pada saat kamu berbicara,
pita suara akan mengencang atau mengendor.
Fungsi laring untuk menghasilkan suara, nada yang dihasilkan ditentukan oleh
panjang dan tegangan tali suara, memendeknya tegangan tali suara menghasilkan
nada tinggi, sedangkan nada rendah karena tali suara relax. Beberapa struktur
lain membantu laring dalam menghasilkan suara dengan adanya resonansi. Yaitu
ukuran dan bentuk hidung, mulut, dan sinus tulang ikut membantu menentukan mutu
suara. Suara dihasilkan apabila udara bergerak melewati
pita suara dan menyebabkan terjadinya getaran. Pita suara pada laki-laki lebih
panjang dibanding pita suara perempuan. Pada saat udara mengalir melewati pita
suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar untuk menghasilkan
bermacam-macam bunyi. Lidah, bibir, dan langit-langit lunak memodifikasi bunyi
menjadi pola-pola suara mengambil posisi rapat satu sama lain untuk menutup
pintu masuk ke trakea.
3.4. Trakea
Trakea terbagi menjadi dua cabang utama,
bronkus kanan dan kiri yang masing-masing masuk ke paru kanan dan kiri. Di
dalam setiap paru, bronkus terus bercabang-cabang menjadi saluran nafas yang
semakin sempit, pendek, dan banyak seperti percabangan pohon. Cabang kecil di
kenal sebagai bronkiolus. Di ujung-ujung bronkiolus terkumpul alveolus, kantung
udara kecil tempat terjadinya pertukaran gas-gas antara udara dan darah. Trakea tersusun atas
empat lapisan, yaitu lapisan mukosa, lapisan submukosa, lapisan tulang rawan,
dan lapisan adventitia. Lapisan mukosa terdiri atas sel-sel epitel berlapis
semu bersilia yang mengandung sel goblet penghasil lendir (mucus). Lapisan submukosa terdiri atas jaringan ikat. Lapisan
tulang rawan terdiri atas kurang lebih 18 tulang rawan berbentuk huruf C.
Lapisan adventitia terdiri atas jaringan ikat. Dinding trakea dilapisi oleh
epitel berlapis banyak palsu bersilia. Epitel ini mensekresikan lendir di
dinding trakea. Fungsi utamanya
yaitu merupakan jalan satu-satunya bagi udara dari dan ke paru.
Trachea
di bagian bawah dibagi menjadi dua yaitu bronchi primer, kiri dan kanan, yang
kanan sedikit lebih besar dan lebih vertical dari yang kiri, inilah sebabnya
mengapa seringkali benda asing tersangkut di brochi kanan. Strukturnya
menyerupai struktur trachea. Setiap bronchi primer masuk paru pada sisi
masing-masing dan segera dibagi menjadi cabang yang lebih kecil disebut brochi
sekunder. Bronchi sekunder terus bercabang-cabang membentuk bronchioli. Bronchioli bercabang terus menjadi saluran
yang terus semakin kecil, akhirnya sampai pada cabang akhir mikroskopi yang
dibagi menjadi ductus alveolaris, dan berakhir pada beberapa kantung alveol,
yang terdiri dari banyak alveoli. Agar udara dapat
masuk-keluar bagian paru tempat terjadinya pertukaran gas tersebut, keseluruhan
saluran pernafasan dari pintu masuk melalui bronkiolus terminal ke alveolus
harus tetap terbuka. Trakea dan bronkus besar merupakan saluran yang tidak
berotot dan cukup kaku yang dikelilingi oleh serangkaian cincin tulang rawan
yang mencegah kompresi saluran tersebut. Bronkiolus yang lebih kecil tidak
memiliki tulang rawan yang dapat menahan tetap terbuka.
3.4. Bronkus
Setelah melalui
trakea, saluran bercabang dua. Kedua cabang tersebut dinamakan bronkus. Setiap
bronkus terhubung dengan paru-paru sebelah kanan dan kiri. Bronkus
bercabang-cabang lagi, cabang yang lebih kecil disebut bronkiolus Perhatikan
gambar 3.4. di bawah ini:
Gambar 3.4.
Dinding
bronkus juga dilapisi lapisan sel epitel selapis silindris bersilia. Di sekitar
alveolus terdapat kapiler-kapiler pembuluh darah. Bronkus, bronkious, dan
alveolus membentuk satu struktur yang disebut paru-paru. Dinding bronkiolus
mengandung otot polos yang dipersyarafi oleh sistem saraf otonom dan peka
terhadap hormon dan zat kimia lokal tertentu. Faktor-faktor ini, dengan
mengubah-ubah derajat kontraksi otot polos bronkiolus (serat kaliber saluran
pernafasan halus ini), mampu mengatur jumlah udara yang mengalir antara
atmosfer dan setiap kelompok alveolus. Bronkiolus bermuara pada alveoli
(tunggal: alveolus), struktur berbentuk bola-bola mungil yang diliputi oleh
pembuluh-pembuluh darah. Epitel pipih yang melapisi alveoli memudahkan darah di
dalam kapiler-kapiler darah mengikat oksigen dari udara dalam rongga alveolus.
3.5.
Paru-paru
Paru-paru merupakan organ yang berbentuk kerucut,
cukup besar menjadi bagian pleural cavum thoracicus dengan sempurna. Meluas
dari diafragma ke titik sedikit di atas clavicula dan terletak berhadapan
dengan rusuk interior maupun posterior. Permukaan medial setiap paru agak
konkaf memberikan tempat bagi struktur mediastinal dan bagi jantung, namun kekonkafannya
lebih besar yang kiri dari pada yang kanan karena posisi jantung. Bronchi
primer dan pembuluh darah paru memasuki setiap paru melalui celah pada
permukaan medialnya yang disebut hilum. Bronchi primer dan pembuluh Darah ini
diikat bersama oleh jaringan ikat membentuk akar paru.
Permukaan inferior paru melebar, bagian yang pada
diafragma merupakan basis, sedangkan tepi atasnya sebagai apex. Paru kiri
dibagi oleh fissura menjadi dua lobi, yaitu superior, medial, dan inferior.
Dibagian dalamnya setia paru terdiri dari jutaan alveoli. Pleura viseral
menyelubungi permukaan luar paru dan menempel padanya seperti kulit apel
menempel apelnya. Paru dengan alveoli yang berdinding tipis itu melengkapi
tempat bagi udara memasukinya dan cukup dekat berhubungan dengan darah dalam
kapiler untuk mempertukarkan gas-gas.
4. Proses sistem
pernafasan manusia
Proses pernapasan pada manusia dimulai dari hidung. Udara yang diisap
pada waktu menarik nafas (inspirasi)
biasanya masuk melalui lubang hidung (nares) kiri dan kanan selain
melalui mulut. Pada saat masuk, udara disaring oleh bulu hidung yang terdapat
di bagian dalam lubang hidung. Perhatikan gambar 4.1 berikut mengenai gerakan diafragma sewaktu
bernafas:
Gambar 4.1 Gerakan diafragma
sewaktu bernafas
Pernafasan dada, Bersamaan dengan kontraksi otot diafragma, otot-otot
tulang rusuk juga berkontraksi sehingga rongga dada mengembang. Hal ini disebut
pernapasan dada Perhatikan gambar 4.2 mengenai pernafasan dada sebagai berikut:
Gambar 4.2 Pernafasan dada
Akibat mengembangnya rongga dada, maka tekanan dalam rongga dada
menjadi berkurang, sehingga udara dari luar masuk melalui hidung selanjutnya
melalui saluran pernapasan akhirnya udara masuk ke dalam paru-paru, sehingga
paru-paru mengembang. Perhatikan gambar 4.3 berikut mengenai jalannya proses pernafasan
dada yaitu sebagai berikut:
Gambar 4.3 Proses Pernafasa dada
Pernafasan Perut, Setelah melewati rongga hidung, udara masuk ke
kerongkongan bagian atas (naro-pharinx) lalu kebawah untuk selanjutnya
masuk tenggorokan (larynx). Semula kedudukan diafragma melengkung keatas
sekarang menjadi lurus sehingga rongga dada menjadi mengembang. Hal ini disebut
pernapasan perut. Perhatikan gambar 4.4. mengenai pernafasan perut yaitu sebagai berikut:
Gambar 4.4 pernafasan perut
Selanjutnya udara yang mengandung gas karbon dioksida akan dikeluarkan
melalui hidung kembali. Pengeluaran napas disebabkan karena melemasnya otot
diafragma dan otot-otot rusuk dan juga dibantu dengan berkontraksinya otot
perut. Diafragma menjadi melengkung ke atas, tulang-tulang rusuk turun ke bawah
dan bergerak ke arah dalam, akibatnya rongga dada mengecil sehingga tekanan
dalam rongga dada naik. Dengan naiknya tekanan dalam rongga dada, maka udara
dari dalam paru-paru keluar melewati saluran pernapasan. Perhatikan jalannya
proses pernafasan perut pada gambar 4.5
Gambar 4.5 Jalannya proses
pernafasan perut
5. Mekanisme
Sistem pernafasan manusia
Kita
dapat menahan nafas secara sadar dalam waktu singkat atau juga bernafas lebih
cepat dan lebih dalam. Akan tetapi hampir setiap waktu, terdapat mekanisme
otomatis yang mengatur pernafasan kita. Kontrol otonom tersebut menjamin bahwa
kerja sistem respirasi dikoordinasikan dengan kerja sistem kardiovaskuler.
Pernafasan yang dalam dan cepat dan cara berlebihan mengeluarkan banyak sekali
karbondioksida dari darah sehingga pusat pernafasan untuk sementara waktu
berhenti mengirimkan imfuls ke otot rusuk dan diafragma. Pernafasan akan
berhenti sampai kadar karbondioksida meningkat cukup banyak untuk menghidupkan
kembali pusat pernafasan.
Kemudian
pusat pernafasan merespon terhadap berbagai ragam sinyal saraf dan sinyal
kimia, menyesuaikan laju dan kedalaman pernafasan untuk memenuhi permintaan
tubuh yang berubah. Akan tetapi, kontrol pernafasan hanya akan efektif jika
dikoordinasikan dengan kontrol sistem sirkulasi. Selama olahraga, misalnya
curah jantung akan disesuaikan dengann laju pernafasan yang meningkat, yang akan meningkatkan suplai
oksigen dan pengeluaran karbondioksida ketika darah mengalir melalui paru-paru.
Mekanisme pernafasan manusia meliputi proses Inspirasi dan ekspirasi,
Inspirasi yaitu pemasukan udara ke paru-paru sedangkan ekspirasi yaitu
pengeluaran udara dari paru-paru. Secara garis besarn mekanismenya dapat
dibedakan sebagai berikut.
- Fase inspirasi. Fase ini berupa berkontraksinya otot antar tulang rusuk sehingga rongga dada membesar, akibatnya tekanan dalam rongga dada menjadi lebih kecil daripada tekanan di luar sehingga udara luar yang kaya oksigen masuk. Perhatikan gambar 5.1. Mengenai mekanisme Inspirasi yaitu sebagai berikut:
Gambar 5.1.
Mekanisme Inspirasi
- Fase ekspirasi. Fase ini merupakan fase relaksasi atau kembalinya otot antara tulang rusuk ke posisi semula yang dikuti oleh turunnya tulang rusuk sehingga rongga dada menjadi kecil. Sebagai akibatnya, tekanan di dalam rongga dada menjadi lebih besar daripada tekanan luar, sehingga udara dalam rongga dada yang kaya karbon dioksida keluar. Perhatikan gambar 5.2. mengenai mekanisme ekspirasi yaitu sebagai berikut:
Gambar 5.2. Mekanisme Ekspirasi
Kapasitas volume paru-paru
terdiri dari volume tidal dan volume residu. Pada volume tidal banyaknya udara
yang masuk dan keluar pada paru-paru selama pernafasan normal yaitu (500ml).
Volume tidal dipengaruhi yaitu: Berat badan seseorang, jenis kelamin, usia dan
kondisi fisik. Sedangkan pada volume residu, banyaknya udara yang tertinggal di
paru-paru (1200ml). Perhatikan gambar 5.3.
yang menunjukkan kapasitas volume paru-paru yaitu:
Gambar 5.3:
kapasitas volume paru-paru
5.4. Hubungan Timbal Balik
antara Tekanan Atmosfer, Tekanan Intra-Alveolus, dan Tekanan Intrapleura
Penting dalam Mekanika Pernafasan
Udara cenderung
bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah yaitu
menuruni gradien tekanan. Udara mengalir masuk dan keluar paru selama proses
bernafas dengan mengikuti penurunan gradien tekanan yang berubah
berselang-seling antara alveolus dan atmosfer akibat aktivitas siklik otot-otot
pernafasan. Terdapat 3 tekanan berbeda yang penting pada ventilasi seperti pada
Gambar 5.4.1:
1. Tekanan
atmosfer (barometik) adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di
atmosfer terhadap benda-benda di permukaan bumi. Di ketinggian permukaan laut,
tekanan ini sama dengan 760 mmHg. Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan
penambahan ketinggian di atas permukaan laut karena kolom udara di atas
permukaan bumi menurun. Dapat terjadi fluktuasi minor tekanan atmosfer akibat
perubahan kondisi-kondisi cuaca (yaitu pada saat tekanan barometrik meningkat
atau menurun).
2. Tekanan
intra-alveolus yang juga dikenal sebagai tekanan intrapulmonalis adalah tekanan
di dalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan atmosfer melalui saluran
pernafasan, udara dengan cepat mengalir mengikuti penurunan gradien tekanan
setiap kali terjadi perbedaan antara tekanan intra-alveolus dan tekanan atmosfer,
udara terus mengalir sampai tekanan keduanya seimbang (ekuilibrium).
3. Tekanan intrapleura adalah tekanan di
dalam kantung pleura. Tekanan ini juga dikenal sebagai tekanan intra toraks
yaitu tekanan yang terjadi di luar paru di dalam rongga toraks. Tekanan
intrapleura biasanya lebih kecil dari pada tekanan atmosfer, rata-rata 756 mmHg
saat istirahat. Seperti tekanan darah yang dicacat dengan menggunakan tekanan
atmosfer sebagai titik rujukan (yaitu tekanan sistolik 120 mmHg adalah 120 mmHg
lebih besar dari pada tekanan atmosfer 760 mmHg atau dalam realitas 880 mmHg),
756 mmHg kadang-kadang disebut sebagai tekanan -4 mmHg walau sebenarnya tidak
ada tekanan negatif absolut. Tekanan -4 mmHg adalah tekanan negatif jika
dibandingkan dengan tekanan atmosfer normal yang 760 mmHg. Untuk menghindar
kebingungan, kita akan menggunakan nilai positif absolut di seluruh pembicaraan
mengenai pernapasan.
Gambar 5.4.1.
Tekanan Ventilasi
Sumber: Sherwood. 2001: 416
Tekanan
interpleura tidak diseimbangkan dengan tekanan atmosfer atau intra-alveolus,
karena tidak terdapat hubungan langsung antara rongga pleura dan atmosfer atau
paru. Karena kantung pleura adalah suatu kantung tertutup tanpa lubang, udara
tidak dapat masuk atau keluar walaupun terdapat gradien konsentrasi antara
kantung itu dan sekitarnya. Ventilasi
paru atau juga dikenal bernafas adalah proses pertukaran gas antara atmosfer
dengan alveoli paru. Udara mengalir di antara atmosfer dan paru karena alsan
yang sama dengan aliran darah di seluruh tubuh, yaitu adanya perbedaan tekanan.
Kita menghirup nafas bila tekanan di dalam paru lebih rendah dari pada tekanan
udara di dalam atmosfer. Kita menghembue nafas bila tekanan di dalam lebih
besar dari pada tekanan di atmosfer.
5.5. Kohesivitas Cairan
Intrapleura dan Gradien Tekanan Transmural Menjaga Dinding Toraks dan Paru
Berhadapan Erat, Walaupun Paru Berukuran Lebih Kecil dari pada Toraks.
Rongga toraks
lebih besar dari pada paru yang tidak teregang karena dinding toraks tumbuh
lebih cepat dari pada paru selama masa perkembangan. Namun, dua gaya
kohesivitas cairan intrapleura dan gradien tekanan transmural menahan dinding
toraks dan paru dalam keadaan berhadapan erat, meregangkan paru untuk mengisi
rongga toraks yang lebih besar (Sugiarti. 2000: 45).
Molekul-molekul
air polar di dalam cairan intrapleura bertahan dari peregangan karena adanya
gaya tarik menarik antar sesama mereka. Kohesivitas cairan intrapleura yang
ditimbulkan cenderung menahan kedua permukaan pleura menyatu. Dengan demikian
cairan intrapleura secara lepas dapat dianggap sebagai “perekat” antara dinding
toraks dan paru. Pernahkan anda mencoba memisahkan dua permukaan licin yang
direkatkan oleh lapisan tipis cairan, misalnya dua kaca objek yang basah? Jika
demikian, anda akan mengetahui bahwa kedua permukaan tersebut bertindak
seolah-olah mereka direkatkan oleh lapisan tipis air. Walaupun anda dapat
menggeser-geser kedua kaca objek tersebut dengan mudah (seperti cairan
intrapleura yang memungkinkan pergerakan paru terhadap permukaan interior dinding
dada). Anda harus berusaha keras untuk memisahkan keduanya, karena
molekul-molekul di dalam cairan antara tersebut menahan peregangan. Hubungan
ini ikut berperan menentukan kenyataan bahwa pergerakan perubahan
dimensi-dimensi paru yaitu ketika toraks mengembangkan paru karena melekat ke
dinding toraks akibat kohesivitas cairan intrapleura juga mengembang.
Alasan yang
lebih penting mengapa paru mengikuti gerakan dinding dada adalah adanya gradien
tekanan transmural yang melintasi dinding paru seperti Gambar 5.5.1. Tekanan
intra-alveolus yang setara dengan tekanan atmosfer sebesar 760 mmHg lebih besar
daripada tekanan intrapleura sebesar 756 mmHg sehingga di dinding paru gaya
menekan ke arah luar lebih besar dari pada gaya tekan ke arah dalam. Perbedaan
tekanan netto ke arah luar ini yaitu gradien tekanan transmural mendorong paru ke arah luar, meregangkan atau
mengembangkan paru sehingga paru selalu terdorong untuk mengembang mengisi
rongga toraks.
Gambar 5.5.1.
Gradien Transmural
Sumber: Sherwood. 2001: 417
Gradien tekanan
transmural serupa juga terdapat di antara kedua sisi dinding toraks. Tekanan
atmosfer yang menekan dinding toraks ke arah dalam lebih besar dari pada
tekanan interpleura yang mendorong dinding tersebut ke arah luar sehingga
dinding dada cenderung “menciut” atau terkompresi dibandingkan dengan apa yang
akan terjadi apabila dada tidak mengalami tekanan tersebut. Namun efek gradien
tekanan transmural di dinding paru jauh lebih menonjol, karena jaringan paru
yang mudah teregang jauh lebih terpengaruh oleh perbedaan tekanan yang sedang
tersebut dibandingkan dengan dinding toraks yang lebih kaku.
Karena baik
dinding paru maupun dinding dada tidak berada dalam posisi alami mereka sewaktu
keduanya berhadapan erat satu sama lain, keduanya terus menerus berusaha
mencapai dimensi-dimensi inheren mereka. Paru yang teregang cenderung tertarik
ke arah dalam menjauhi dinding dada, sementara dinding dada yang tertekan
cenderung bergerak ke arah luar menjauhi paru. Namun gradien tekanan transmural
dan kohesivitas cairan intrapleura mencegah kedua struktur tersebut saling
menjahui. Pengembangan rongga pleura yang kecil ini cukup menyebabkan penurunan
tekanan di dalam rongga ini sebesar 4 mmHg, sehingga tekanan intrapleura berada
dalam tekanan sub atmosfer sebesar 756 mmHg.
Untuk memahami
bagaimana peningkatan ringan volume intrapleura menyebabkan penurunan tekanan
intrapleura. Hukum Boyle menyatakan bahwa pada setiap suhu konstan, tekanan
yang ditimbulkan oleh gas berbanding terbalik dengan volume gas yaitu sewaktu
volume gas meningkat, tekanan yang ditimbulkan oleh gas berkurang setara dan
sebaliknya, tekanan meningkat secara proporsional sewaktu volume berkurang.
Karena hubungan tekanan-volume yang terbalik ini, jika volume rongga pleura
sedikit meningkat akibat tarikan berlawanan dari dinding paru dan dinding
toraks, tekanan intrapleura menjadi sedikit lebih kecil dari pada tekanan
atmosfer.
Perlu diketahui
bahwa terdapat hubungan timbal balik antara gradien tekanan transmural dan
tekanan intrapleura sub atmosfer. Paru teregang dan toraks tertekan karena
terdapat gradien tekanan transmural di kedua dinding akibat adanya tekanan
intrapleura sub atmosfer. Tekanan intrapleura, sebaliknya bersifat sub atmosfer
karena paru yang teregang dan toraks yang tertekan cenderung saling menjahui
satu sama lain sedikit mengembang rongga pleura dan menurunkan tekanan
intrapleura di bawah tekanan atmosfer.
Apabila tekanan
intrapleura disamakan dengan tekanan atmosfer, gradien tekanan transmural akan
hilang. Akibatnya paru dan toraks akan terpisah dan mencari dimensi-dimensi
inheren mereka sendiri. Hal inilah yang sebenarnya terjadi apabila udara
dibiarkan masuk ke dalam rongga pleura, suatu keadaan yang dikenal dengan
sebagai pneumotoraks (“udara di dalam dada”) seperti pada Gambar 5.5.2. (Kohesivitas cairan
intrapleura tidak dapat menahan dinding paru dan toraks melekat satu sama lain
apabila tidak terdapat gradien tekanan transmural).
Gambar 5.5.2.
Gradien Transmural
Sumber: Sherwood. 2001: 419
Dalam keadaan
normal, udara tidak masuk ke dalam rongga pleura karena tidak terdapat hubungan
antara rongga tersebut dengan atmosfer atau alveolus. Namun, jika dinding dada
dilubangi (misalnya, akibat iga yang patah atau luka tusuk), udara akan
menyerbu masuk ke dalam rongga pleura dari tekanan atmosfer yang lebih tinggi
mengikuti penurunan gradien tekanan udara. Tekanan intrapleura dan
intra-alveolus sekarang seimbang dengan tekanan atmosfer sehingga gradien
tekanan transmural tidak lagi ada baik di dinding dada maupun dinding paru,
paru akan kolaps dan menyebabkan keadaan atelektasis. Demikian juga dinding
toraks akan mengembang ke ukuran inherennya tetapi tidak menimbulkan
konsekuensi lebih berat dibandingkan dengan kolaps paru. Demikian juga
pneumotoraks dan kolaps paru dapat terjadi apabila udara masuk ke dalam rongga
pleura melalui suatu lubang di paru yang disebabkan oleh proses penyakit.
5.6.
Bulk Flow
Udara ke dalam dan ke Luar Paru Terjadi karena Perubahan Siklis Tekanan
Intra-Alveolus yang Secara Tidak Langsung Ditimbulkan oleh Aktivitas Otot
Pernafasan
Karena udara
mengalir mengikuti penurunan gradien tekanan, tekanan intra-alveolus harus
lebih rendah dari pada tekanan atmosfer agar udara mengalir masuk ke paru
selama inspirasi. Demikian juga, tekanan intra-alveolus harus lebih besar dari
pada tekanan atmosfer agar udara mengalir ke luar paru selama ekspirasi.
Tekanan intra-alveolus dapat diubah dengan mengubah-ubah volume paru sesuai
hukum Boyle. Otot-otot yang melaksanakan proses bernafas (ventilasi) tidak secara langsung bekerja pada paru untuk mengubah
volumenya. Otot-otot ini mengubah volume rongga toraks yang menyebabkan
perubahan volume paru karena dinding toraks dan paru menyatu oleh kohesivitas
cairan intrapleura dan gradien tekanan transmural.
Satu siklus
pernafasan yaitu satu tarikan nafas (inspirasi)
dan satu pengeluaran nafas (ekspirasi).
Sebelum ada udara yang mengalir, dan tekanan intra-alveolus setara dengan
tekanan atmosfer. Pada awal inspirasi, otot-otot inspirasi diafragma dan otot antariga eksternal
terangsang untuk berkontraksi sehingga terjadi pembesaran rongga toraks seperti
pada Gambar 5.6.1. Otot inspirasi
utama adalah diafragma, suatu lembaran otot rangka yang membentuk dasar rongga
toraks dan dipersarafi oleh saraf frenikus. Diafragma yang melemas berbentuk
kubah yang menonjol ke atas ke dalam rongga toraks. Sewaktu berkontraksi karena
stimulasi saraf frenikus, diafragma bergerak ke bawah dan memperbesar volume
rongga toraks dengan menambah panjang vertikalnya. Dinding abdomen, jika
melemas, dapat melihat menonjol ke depan sewaktu inspirasi karena diafragma
yang turun mendorong isi abdomen ke bawah dan ke depan.
Gambar 5.6.1.
Anatomi Otot-otot Pernafasan
Sumber: Sherwood. 2001: 420
Terdapat dua set
otot interkostalis yang terletak di
antara iga, otot antariga eksternal berada di atas otot antariga internal.
Sewaktu otot antariga eksternal, yang serat-seratnya berjalan ke arah bawah dan
depan antar iga-iga yang berdekatan, berkontraksi, iga terangkat ke atas dan ke
luar dan semakin memperbesar rongga toraks dalam dimensi anteroposterior
(depan-belakang) dan laterolateral (sisi-ke-sisi). Otot-otot antariga
diaktifkan oleh saraf interkostalis seperti Gambar 5.6.2.
Gambar 5.6.2.
Akativitas Otot-otot Inspirasi dan Ekspirasi
Sumber: Sherwood. 2001: 421
Pada saat rongga
toraks mengembang, paru juga dipaksa mengembang untuk mengisi rongga toraks
yang membesar. Sewaktu paru mengembang, tekanan intra-alveolus menurun karena
molekul dalam jumlah yang sama kini menempati volume paru yang lebih besar.
Pada inspirasi bias, tekanan intra-alveolus menurun 1 mmHg menjadi 759 mmHg
seperti pada Gambar 5.6.3. Karena tekanan
intra-alveolus sekarang lebih rendah dari pada tekanan atmosfer, udara mengalir
masuk ke paru mengikuti penurunan gradien tekanan dari tinggi ke rendah. Udara
terus mengalir ke dalam paru sampai tidak lagi terdapat gradien yaitu sampai
tekanan intra alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Dengan demikian
pengembangan paru bukan disebabkan oleh perpindahan udara di dalam paru
melainkan udara mengalir ke dalam paru kerena turunnya tekanan intra-alveolus
akibat paru yang mengembang.
Gambar 5.6.3.
Volume Paru dan Tekanan Intra-Alveolus Inspirasi dan Ekspirasi
Sumber: Sherwood. 2001: 422
Selama
inspirasi, tekanan intrapleura turun ke 754 mmHg akibat pengembangan toraks.
Peningkatan gradien tekanan transmural yang terjadi selama inspirasi memastikan
bahwa paru teregang untuk mengisi rongga toraks yang mengembang.
Inspirasi yang
lebih dalam (lebih banyak udara yang masuk) dapat dilakukan dengan
mengkontraksikan diafragma dan otot antariga eksternal secara lebih kuat dan
dengan mengaktifkan otot-otot inspirasi tambahan (accessory inspiratory muscles) untuk semakin memperbesar rongga
toraks. Konstraksi otot-otot tambahan ini yang terletak di leher, mengangkat
strenum dan dua iga pertama, memperbesar bagian rongga toraks. Pada saat rongga
toraks semakin membesar volumenya dibandingkan dengan keadaan istirahat, paru
juga semakin membesar sehingga tekanan intra-alveolus semakin turun. Akibatnya
terjadi peningkatan aliran udara masuk paru sebelum terjadi keseimbangan dengan
tekanan atmosfer yaitu penafasan menjadi lebih dalam.
Pada akhir inspirasi,
otot-otot inspirasi melemas. Saat melemas, diafragma kembali kebentuknya
seperti kubah. Sewaktu otot antariga eksternal melemas, sangkar iga yang
terangkat turun karena adanya gaya gravitasi sewaktu otot antariga eksternal
dan dinding dada dan paru yang teregang kembali menciut ke ukuran pra inspirasi
mereka karena adanya sifat elastik seperti membuka balon yang sebelumnya sudah
ditiup. Sewaktu paru menciut dan berkurang volumenya, tekanan intra-alveolus
meningkat kerena jumlah molekul udara yang lebih besar yang terkandung di dalam
volume paru yang besar pada akhir inspirasi sekarang terkompresi ke dalam
volume udara yang lebih kecil. Pada ekspirasi istirahat tekanan intra-alveolus
meningkat sekitar 1 mmHg diatas tekanan atmosfer 760 mmHg. Udara sekarang
keluar paru mengikuti penurunan gradien tekanan dari tekanan intra-alveolus
yang tinggi ke tekanan atmosfer yang lebih rendah. Aliran keluar udara berhenti
jika tekanan intra-alveolus menjadi sama dengan tekanan atmosfer dan tidak lagi
terdapat gradien tekanan.
Dalam keadaan
normal, ekspirasi adalah suatu proses pasif karena terjadi akibat penciutan
elastik paru saat otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan konstraksi otot
atau pengeluaran energi. Sebaliknya, inspirasi selalu aktif karena hanya ditimbulkan
oleh konstraksi otot-otot inspirasi dan menggunakan energi. Untuk mengosongkan
paru secara lebih sempurna dan lebih cepat dari pada yang terjadi selama
bernafas tenang, ekspirasi dapat menjadi aktif. Tekanan intra-alveolus haru
semakin ditingkatkan di atas tekanan atmosfer dibandingkan dengan yang dapat
ditimbulkan oleh relaksasi otot inspirasi dan penciutan paru. Untuk melakukan
ekspirasi aktif
atau paksa, otot ekspirasi harus berkontraksi untuk semakin mengurangi volume
rongga toraks dan paru. Otot ekspirasi terpenting adalah (yang mulanya tampak
sulit dipercaya) adalah otot-otot di dinding abdomen. Sewaktu otot-otot abdomen
ini berkontraksi, terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen yang menimbulkan
gaya ke atas pada diafragma, mengakibatkan diafragma.
Semakin
terangkat ke rongga toraks dibandingkan dengan posisi istirahatnya, sehingga
semakin memperkecil ukuran vertikal rongga toraks. Otot-otot ekspirasi lain
adalah otot antariga internal, yang kontraksinya menarik iga-iga ke bawah dan
ke dalam, meratakan dinding dada dan semakin memperkecil ukuran rongga toraks,
aksi otot-otot ini berlawanan dengan aksi otot antariga eksternal.
Sewaktu
kontraksi aktif otot-otot ekspirasi semakin mengurangi volume rongga toraks,
volume paru juga semakin berkurang karena paru tidak harus teregang banyak
untuk mengisi volume rongga toraks yang lebih kecil yaitu paru diperbolehkan
menciut lebih kecil. Tekanan intra-alveolus menjadi semakin meningkat karena
udara di dalam paru ditempatkan di dalam volume yang lebih kecil. Perbedaan
antara tekanan intra-alveolus dan atmosfer semakin besar dibandingkan saat
ekspirasi pasif sehingga lebih banyak udara keluar mengikuti penurunan gradien
tekanan sebelum keseimbangan tercapai. Dengan cara ini, paru mengalami
pengosongan lebih sempurna selama ekspirasi aktif paksa dibandingkan selama
ekspirasi pasif tenang.
Selama ekspirasi
paksa, tekanan intrapleura melebihi tekanan atmosfer, tetapi paru tidak kolaps.
Kerena tekanan intra-alveolus juga meningkat setara gradien tekanan transmural
tetap ada di dinding paru sehingga paru tetap teregang untuk mengisi rongga
toraks. Apabila tekanan di dalam toraks meningkat 10 mmHg, tekanan intrapleura
menjadi 766 mmHg dan tekanan intra-alveolus menjadi 770 mmHg masih terdapat
perbedaan tekanan 4 mmHg. Karena diafragma adalah otot inspirasi utama dan
relaksasinya menyebabkan ekspirasi, paralisis otot-otot antariga saja tidak
terlalu mempengaruhi pernafasan saat istirahat. Namun gangguan saraf atau otot
menyebabkan paralisis pernafasan. Untungnya, saraf frenikus berasal dari korda
spinalis di daerah leher dan kemudian turun ke diafragma di dasar toraks, dan
bukan berasal dari daerah torakalis. Oleh karena itu, orang yang mengalami
paralisis total di bawah leher yang di akibatkan oleh terputusnya korda spinalis
masih mampu bernafas walaupun seluruh otot rangka di badan dan anggota badan
tidak lagi dapat digunakan.
5.7. Saluran Pernafasan
Menjadi Sangat Penting Dalam Menentukan Laju Aliran Apabila Saluran Pernafasan
Mengalami Penyempitan Akibat Proses Penyakit
Aliran udara
masuk dan keluar paru sebagai fungsi besarnya gradien tekanan antara alveolus
dan atmosfer, dengan gradien tekanan berubah-ubah akibat perubahan ukuran
rongga toraks dan diikuti ukuran paru. Namun seperti aliran darah melalui
pembuluh darah yang tergantung tidak saja pada gradien tetapi juga pada
resistensi terhadap aliran yang di timbulkan oleh pembuluh
F=ΔP/R
Penentuan utama resistensi terhadap
aliran udara adalah jari-jari saluran pernafasan. Pada pembahasan sebelumnya
mengenai laju aliran udara yang ditimbulkan oleh gradien tekanan, kita
mengabaikan resistensi saluran
pernafasan karena pada sistem pernafasan yang sehat, jari-jari saluran
pernafasan cukup besar sehingga resistensi sangat rendah. Dalam keadaan normal
gradien tekanan antara alveolus dan atmosfer merupakan faktor utama penentu
laju aliran udara. Saluran pernafasan memiliki resistensi yang rendah sehingga
dalam keadaan normal hanya diperlukan gradien tekanan yang sangat kecil (1–2
mmHg) untuk menghasilkan laju aliran udara yang kuat masuk keluar paru.
Dalam keadaan
normal, penyesuaian ukuran saluran pernafasan dapat dilakukan oleh pengaturan
sistem saraf otonom agar memenuhi kebutuhan tubuh. Stimulasi parasimpatis yang
terjadi selama situasi tenang-rileks saat kebutuhan akan aliran udara tidak
tinggi meningkatkan kontraksi otot polos bronkiolus yang meningkatkan
resistensi saluran pernafasan dengan menimbulkan bronkokonstriksi. Sebaliknya,
stimulasi simpatis dan dalam tingkat yang lebih besar hormon terkait, epinefrin
menimbulkan bronkodilatasi (bronkodilasi)
dan penurunan resistensi saluran pernafasan dengan menyebabkan relaksasi otot
polos bronkiolus seperti pada Tabel 5.7. Selama periode
dominasi simpatis pada saat kebutuhan akan penyerapan O2 sedang
atau akan meningkat terjadi bronkodilatasi untuk memastikan bahwa gradien
tekanan yang diciptakan oleh aktivitas otot-otot pernafasan mampu mencapai laju
aliran udara maksimum dengan resistensi minimum. Karena efek bronkodilatasi
ini, epinefrin atau obat serupa bermanfaat untuk melawan konstriksi saluran
pernafasan pada pasien-pasien dengan spasme bronkial.
Tabel 5.7. Faktor Resistensi
Saluran Pernafasan
Otot
|
Hasil
kontraksi
|
Waktu
stimulasi untuk berkontraksi
|
Otot-otot Inspirasi
|
||
Diafragma
|
Bergerak
turun, meningkatkan dimensi vertikal rongga toraks
|
Setiap
inspirasi, otot primer inspirasi
|
Otot-otot
antariga eksternal
|
Mengangkat
iga ke arah depan dan ke arah luar, memperbesar rongga toraks dalam dimensi
depan-ke-belakang dan sisi-ke-sisi
|
Setiap
inspirasi berperan komplementer sekunder terhadap aksi primer diafragma
|
Otot-otot
leher (skalenus sternokleidomastoideus)
|
Mengangkat
sternum dan dua iga pertama memperbesar bagian atas rongga toraks
|
Hanya
pada saat inspirasi paksa, otot inspirasi tambahan
|
Otot-otot Ekspirasi
|
||
Otot-otot
abdomen
|
Meningkatkan
tekanan intra-abdomen yang menimbulkan gaya ke atas pada diafragma untuk
mengurangi dimensi vertikal rongga toraks
|
Hanya
pada saat ekspirasi aktif (paksa)
|
Otot-otot
antariga internal
|
Mendatarkan
toraks dengan menarik iga-iga ke bawah dan ke dalam, menurunkan ukuran
depan-belakang dan samping rongga toraks
|
Hanya
sewaktu ekspirasi aktif (paksa)
|
Resistensi
menjadi sangat penting bagi aliran udara apabila lumen saluran pernafasan
menyempit akibat penyakit. Kita semua pernah mengalami secara sementara efek
yang ditimbulkan peningkatan resistensi saluran pernafasan pada bernafas ketika
kita mengalami pilek. Kita menyadari betapa sulitnya menghasilkan laju aliran
udara yang kuat melalui “hidung yang tersumbat”. Sewaktu saluran hidung
tersebut menyempit akibat pembengkakan dan penimbunan mukus.
Penyakit
Paru Obstruktif Menahun (PPOM, cronic
obstructive pulmonary disease) sekelompok penyakit baru yang ditandai oleh
peningkatan resistensi saluran pernafasan akibat penyempitan lumen saluran
pernafasan bagian bawah. Apabila resistensi saluran pernafasan meningkat, harus
tercipta gradien tekanan yang lebih besar agar laju aliran udara dapat
dipertahankan normal. Jika resistensi berlipat dua akibat penyempitan saluran
pernafasan, ΔP harus digandakan melalui peningkatan kerja otot respirasi untuk
menghasilkan laju aliran udara masuk-keluar paru yang sama dengan yang
berlangsung pada pernafasan orang normal dalam keadaan istirahat sehingga
pasein PPMO harus lebih keras untuk bernafas.
Penyakit paru
obstruktif menahun mencakup tiga penyakit kronik (jangka-panjang): asma,
bronkitis kronik, dan efisema. Pada asma, obstruksi saluran pernafasan
disebabkan oleh 1) konstriksi berlebihan saluran pernafasan halus karena spasme
otot polos di dinding saluran pernafasan yang diinduksi oleh alergi. 2)
penyumbatan saluran pernafasan oleh sekresi berlebihan mukus yang sangat
kental. 3) penebalan dinding saluran pernafasan akibat peradangan dan edema
yang diinduksi oleh histamin.
Bronkitis
kronik adalah peradangan kronik saluran pernafasan bagian bawah yang umumnya
dicetuskan oleh pajanan berulang ke asap rokok, udara berpolusi, alergi.
Sebagai respon terhadap iritasi kronik, saluran pernafasan menyempit akibat
penebalan edematosa kronik bagian dalam saluran pernafasan disertai produksi
berlebihan mukus yang kental. Walaupun pengidap sering batuk karena iritasi
kronik, mukus penyumbat sering tidak dapat seluruhnya dikeluarkan terutama
karena eskalator mukus siliaris lumpuh oleh iritan. Sering terjadi infeksi paru
oleh bakteri karena mukus yang tertimbun merupakan medium yang baik untuk
pertumbuhan bakteri.
Efisema ditandai
oleh kolapsnya saluran pernafasan halus dan rusaknya dinding alveolus. Keadaan
ireversibel ini dapat timbul melalui dua cara. Yang tersering, efisema timbul
akibat pengeluaran berlebih enzim-enzim destruktif misalnya tripsin dari
makrofag alveolus sebagai respons terhadap asap rokok atau iritan kimiawi
inhalan lainnya. Paru dalam keadaan normal terlindung dari kerusakan akibat
enzim ini oleh antitripsin suatu protein yang menghambat tripsin. Namun sekresi
berlebihan enzim destruktif tersebut sebagai respons terhadap iritasi kronik
dapat mengalahkan kemampuan protektif antitripsin sehingga enzim-enzim tersebut
tidak saja menghancurkan benda asing tetapi juga jaringan paru. Hilangnya
jaringan paru menyebabkan dinding alveolus jebol dan saluran pernafasan halus
kolaps yang merupakan ciri khas emfisema. Yang lebih jarang efisema timbul
akibat ketidakkemampuan genetik membentuk antitripsin sehingga jaringan paru
tidak terlindung dan secara gradual mengalami disintegrasi akibat pengaruh
enzim-enzim makrofag walaupun berjumlah sedikit dan tidak terjadi kronik ke
iritan-iritan inhalan.
Jika resistensi
saluran pernafasan meningkat akibat penyakit paru obstruktif manahun, ekspirasi
akan lebih sulit dilakukan dari pada inspirasi. Saluran pernafasan yang lebih
kecil karena tidak memiliki cincin tulang rawan yang menahan saluran pernafasan
besar terbuka, ditahan terbuka oleh gradien tekanan transmural yang meregangkan
alveolus. Ekspansi rongga toraks selama ekspirasi, serupa dengan pengembangan
alveolus sehingga resistensi saluran pernafasan lebih rendah selama inspirasi
dibandingkan dengan selama ekspirasi. Pada orang normal, resistensi saluran
pernafasan selalu rendah sehingga sedikit variasi yang terjadi selama inspirasi
dan ekspirasi tidak terasa. Namun, apabila resistensi saluran pernafasan
meningkat secara bermakna seperti selama serangan asma, perbedaan antara
inspirasi dan ekspirasi akan sangat terasa. Pengidap asma lebih mengalami
kesulitan mengeluarkan napas dari pada menarik nafas yang menimbulkan “mengi” (wheezing) khas pada saat udara dipaksa
keluar melalui saluran pernafasan yang sempit.
Pada orang
normal saluran pernafasan kecil kolaps dan aliran keluar udara lebih lanjut
terhenti hanya pada volume udara paru yang sangat rendah. Karena kolaps saluran
pernafasan ini, paru tidak pernah dapat dikosongkan secara sempurna.
5.8. Terdapat Kontrol
Lokal yang Bekerja pada Otot Polos Saluran Pernafasan dan Arteriol untuk Mencocokkan
Aliran Darah dengan Aliran Udara Semaksimal Mungkin
Otot polos
arteriol dan bronkiolus juga peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
lingkungan sekitarnya terutama terhadap konsentrasi CO2. Jika
sebuah alveolus kurang mendapat aliran udara (ventilasi) dibandingkan dengan
aliran darahnya (perfusi), konsentrasi CO2 di alveolus dan
jaringan sekitarnya akan meningkat karena lebih banyak CO2 yang
disalurkan oleh darah ke alveolus dibandingkan dengan yang dikeluarkan ke
atmosfer. Peningkatan lokal CO2 ini bekerja langsung pada otot
polos bronkiolus yang bersangkutan untuk melemahkan saluran pernafasan yang
mengaliri alveolus tersebut. Penurunan resistensi saluran pernafasan yang
kemudian terjadi akan meningkatkan laju aliran udara ke alveolus yang
bersangkutan sehingga aliran udara setara dengan aliran darah. Penurunan lokal
CO2 di sebuah alveolus yang menerima terlalu banyak udara
dibandingkan darah akan secara langsung meningkatkan aktivitas kontraktil otot
polos saluran nafas yang bersangkutan menyebabkan saluran yang mengalir ke
alveolus yang kelebihan udara tersebut berkontraksi. Hal ini mengakibatkan
aliran udara ke alveolus berkurang.
Efek lokal
serupa pada otot polos vaskuler paru juga terjadi bersamaan untuk mencocokan
aliran darah dengan aliran udara semaksimal mungkin. Seperti pada sirkulasi
sistemik, distribusi curah jantung ke berbagai jaringan kapiler alveolus dapat
dikontrol dengan menyesuaikan resistensi terhadap aliran darah melalui arteriol
paru tertentu. Apabila alveolus tertentu aliran darah lebih besar dari pada
aliran udara, kadar O2 di alveolus dan jaringan sekitarnya akan
turun dibawah normal karena lebih banyak O2 yang diekstrasi dari
alveolus oleh darah yang jumlahnya meningkat. Penurunan lokal konsentrasi O2
menyebabkan vasokon striksi arteriol paru yang memperdarahi jaringan kapiler
yang bersangkutan, akibatnya penurunan aliran darah agar sesuai dengan aliran
udara yang berkurang. Sebaliknya peningkatan konsentrasi O2
alveolus akibat ketidakcocokan aliran udara yang besar dengan aliran darah yang
kecil akan menyebabkan vasodilatasi paru, yang meningkatkan aliran darah agar
sesuai dengan aliran udara. Efek lokal O2 pada otot polos arteriol
padu adalah kebalikan dari efek pada otot polos arteriol sistemik. Pada
sirkulasi sistemik, penurunan O2 di jaringan menyebabkan
vasodilatasi lokal untuk meningkatkan aliran darah ke daerah yang kekurangan
tersebut.
Kedua mekanisme
untuk mencocokan aliran udara dan darah bekerja secara bersamaan sehingga dalam
keadaan normal darah dan udara yang tersia-sia sangatlah sedikit. Karena efek
gravitasi terdapat perbedaan regional dalam ventilasi dan perfusi dari atas ke
bawah paru. Aliran udara dan darah dipermukaan alveolus tertentu biasanya dibuat
secocok mungkin melalui mekanisme kontrol lokal tersebut sehingga pertukaran O2
dan CO2 efesien.
5.9. Sifat Elastik Paru
disebabkan oleh Adanya Serat-Serat Jaringan Ikat Elastik dan Tegangan Permukaan
Alveolus
Siklus
pernafasan paru secara bergantian mengembang selama inspirasi dan menciut
selama ekspirasi. Elastisitas paru melibatkan dua konsep yang saling berkaitan:
recoil elastik dan compliance. Recoil elastik (penciutan elastik) mengacu kepada seberapa mudah
paru kembali ke bentuknya setelah diregangkan. Sifat ini menentukan kembalinya
paru ke volume pra inspirasi sewaktu otot-otot inspirasi melemas di akhir
inspirasi.
Compliance mengacu
kepada seberapa besar usaha yang diperlukan untuk meregangkan atau
mengembangkan paru. Hal ini analog dengan seberapa keras meniup balon dibandingkan
dengan untuk mengembangkan paru. Secara spesifik, compliance adalah ukuran tingkat perubahan volume paru yang
ditimbulkan oleh gradien tekanan transmural (gaya yang meregangkan paru)
tertentu. Untuk peningkatan perbedaan tekanan tertentu, paru dengan compliance yang tinggi akan mengembang
lebih besar daripada paru yang compliance-nya
rendah. Dengan kata lain, semakin rendah compliance
paru, semakin besar gradien tekanan transmural yang harus dibentuk selama
inspirasi untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Pada gilirannya,
gradien tekanan transmural yang lebih besar dari normal dapat dicapai hanya
dengan membuat tekanan intrapleura lebih subatmosferik dibndingkan dengan
biasanya. Hal ini dilakukan dengan ekspansi toraks yang lebih besar melalui
kontraksi otot yang lebih kuat. Dengan demikian, semakin rendah compliance paru, semakin besar kerja
yang diperlukan untuk menghasilkan inflasi dalam derajat tertentu. Paru yang compliance-nya rendah disebut sebagai
paru “kaku”, karena tidak memiliki daya regang seperti paru normal. Compliance pernapasan dapat menurun
akibat adanya beberapa faktor, misalnya digantikannya jaringan paru normal oleh
jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi serat asbestos atau iritan serupa.
Sifat elastik
paru terutama bergantung pada dua faktor. Jaringan ikat paru yang sangat
elastik dan tegangan permukaan alveolus. Jaringan ikat paru mengandung sejumlah
besar serat elastin. Selain memperlihatkan sifat elastik, serat-serat ini juga
tersusun dalam suatu jaringan yang semakin memperkuat daya elastik tersebut,
seperti benang pada selembar kain rajutan yang dapat diregangkan. Keseluruhan
kain tersebut (atau paru) lebih dapat diregangkan dan cenderung kembali ke
bentuk semula dibandingkan dengan tiap-tiap benang (serat elastin) asal kain
tersebut dianyam.
Faktor yang
lebih penting lagi yang mempengaruhi sifat elastik paru adalah tegangan
permukaan alveolus yang diperlihatkan oleh lapisan cairan tipis yang meliputi
semua alveolus. Pada pertemuan air-udara, molekul-molekul air di permukaan
melekat lebih erat ke molekul air di sekitarnya dibandingkan ke udara di atas
permukaan. Tarik-menarik yang seimbang ini menciptakan suatu gaya yang dikenal
sebagai tegangan permukaan di permukaan cairan. Tegangan permukaan menimbulkan
dua efek. Pertama, lapisan cairan menahan setiap gaya yang meningkatkan luas
permukannya; yaitu, lapisan tersebut melawan ekspansi alveolus karena
molekul-molekul air permukaan menentang memisahkan mereka. Dengan demikian,
semakin besar tegangan permukaan, semakin rendah compliance paru. Kedua, luas permukaan cairan cenderung menjadi sekecil-kecilnya
karena molekul-molekul air permukaan, yang lebih tertarik satu sama lain.
Dengan demikian, tegangan permukaan cairan yang melapisi sebuah alveolus
cenderung memperkecil ukuran alveolus, dan memeras udara yang berada di
dalamnya seperti Gambar 5.9. Sifat ini bersama
dengan adanya serat elastin, menyebabkan paru menaiki kembali ke ukuran
prainspirasinya setelah inspirasi berakhir.
Gambar 5.9.
Tegangan Permukaan Alveolus
Sumber: Sherwood. 2001: 427
5.10. Surfaktan Paru
Menurunkan Tegangan Permukaan dan Berperan dalam Stabilitas Paru
Gaya-gaya kohesi
antara molekul-molekul air sedemikian kuatnya, sehingga apabila alveolus hanya
dilapisi oleh air, tegangan permukaan akan menjadi sedemikian besar, dan paru
akan kolaps; gaya recoil yang
ditimbulkan oleh serat-serat elastin dan tingginya tegangan permukaan akan
mengalahkan gaya regang yang ditimbulkan oleh gradien tekanan transmural.
Selain itu, compliance paru menjadi
sangat rendah, sehingga diperlukan kerja otot yang melelahkan untuk meregangkan
dan mengembangkan alveolus.
Besarnya
tegangan permukaan yang ditimbulkan oleh air murni dalam keadaan normal dilawan
oleh surfaktan paru yang disekresikanoleh sel-sel alveolus tipe II. Surfaktan
paru yang terselip di antara molekul-molekul air dalam cairan yang melapisi
alveolus akan menurunkan tegangan permukaan alveolus karena gaya kohesif antara
sebuah molekul air dengan sebuah molekul surfaktan sangat rendah. Dengan
menurunkan tegangan permukaan alveolus, surfaktan paru memberi dua keuntungan
penting: (1) meningkatkan compliance
paru, sehingga mengurangi kerja yang diperlukan untuk mengembangkan paru; dan
(2) menurunkan kecenderungan paru menciut, sehingga paru tidak mudah kolaps.
Peran surfaktan
paru dalam menurunkan kecenderungan alveolus untuk menciut, sehingga mencegah
alveolus kolaps, penting untuk memelihara stabilitas paru. Pembagian paru
menjadi sedemikian banyak kantung udara memberikan keuntungan berupa
peningkatan luar biasa luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran O2
dan CO2, tetapi hal ini juga menimbulkan masalah pemeliharaan
stabilitas semua alveolus tersebut. Ingatlah bahwa tekanan yang dihasilkan oleh
tegangan permukaan alveolus memiliki arah ke dalam dan memeras udara yang
terdapat di dalam alveolus. Apabila alveolus dipandang sebagai gelembung
sferis, menurut hukum LaPlace, kekuatan
tekanan ke arah dalam yang menyebabkan kolapsnya alveolus berbanding lurus
dengan tegangan permukaan dan berbanding terbalik dengan jari-jari gelembung:
P =
Dengan,
P
= tekanan ke arah dalam yang menyebabkan kolaps
T
= tegangan permukaan
r = jari-jari gelembung (alveolus)
Karena tekanan ke arah dalam berbanding terbalik dengan
jari-jari, semakin kecil alveolus, semakin kecil jari-jarinya dan semakin besar
kecenderungan alveolus kolaps pada tegangan permukaan tertentu. Dengan
demikian, apabila dua alveolus yang ukurannya berbeda tetapi tegangan
permukaannya sama berhubungan dengan saluran pernapasan yang sama, alveolus
yang lebih kecil – memiliki kecenderungan kolaps dan mengalirkan udaranya ke
alveolus yang lebih besar seperti Gambar 5.10.1. Namun alveolus kecil dalam
keadaan normal tidak kolaps dan meniupkan udaranya ke alveolus besar, karena
surfaktan paru lebih mengurangi tegangan permukaan alveolus kecil dibandingkan dengan
mengurangi tegangan permukaan alveolus besar. Surfaktan paru menurunkan
tegangan permukaan alveolus kecil lebih besar karena molekul-molekul surfaktan
berada lebih berdekatan satu sama lain di alveolus yang lebih kecil.
Gambar 5.10.1.
Peran Sufaktan Paru
Sumber: Sherwood. 2001: 429
Semakin besar alveolus, semakin menyebar molekul-molekul
surfaktannya, sehingga efek surfaktan pada tegangan permukaan juga berkurang.
Penurunan tegangan permukaan di alveolus kecil ynag ditimbulkan oleh surfaktan
mengalahkan efek kecilnya jari-jari alveolus tersebut dalam menentukan tekanan
kolaps. Dengan demikian, keberadaan surfaktan menyebabkan tekanan kolaps di
alveolus-alveolus kecil setara dengan tekanan yang terdapat di alveolus besar
dan memperkecil kecenderungan alveolus kecil kolaps dan mengalirkan udaranya
ke alveolus besar. Dengan demikian, surfaktan paru membantu menstabilkan ukuran
alveolus dan membantu alveolus tersebut agar tetap terbuka dan ikut serta dalam
pertukaran gas.
Faktor kedua yang berperan dalam stabilitas alveolus adalah interdependensi
alveolus-alveolus yang berdekatan. Setiap alveolus dikelilingi oleh alveolus
lain, yang berhubungan dengannya melalui jaringan ikat. Jika sebuah alveolus
mulai kolaps, alveolus di sekitarnya akan teregang karena dinding mereka
tertarik ke arah alveolus yang sedang kolaps tersebut seperti Gambar 5.10.2. Sebaliknya, alveolus-alveolus
ini, karena menahan peregangan, menimbulkan gaya yang mengembangkan alveolus
yang sedang kolaps tersebut dan dengan demikian menjaganya agar tetap terbuka.
Fenomena ini, yang dapat dipersamakan dengan “tarik tambang” yang seimbang
antara alveolus-alveolus yang berdekatan, disebut sebagai interdependensi.
Gambar 5.10.2.. Interdepensi
Alveolus
Sumber: Sherwood. 2001:
430
5.11. Defisiensi Surfaktan Paru Merupakan Penyebab Sindrom
Distres Pernapasan pada Bayi Baru
Lahir.
Paru janin yang sedang berkembang biasanyan belum memiliki
kemampuan untuk mensintesis surfaktan paru sampai kehamilan tahap akhir. Khususnya,
pada bayi yang lahir prematur, surfaktan paru mungkin tidak cukup untuk
mengurangi tegangan permukaan alveolus ke tingkat yang dapat ditoleransi.
Kumpulan gejala yang timbul kemudian disebut sebagai sindrom distres pernapasan
pada bayi baru lahir (newborn respiratory
distress syndrome). Untuk mengalahkan tingginya tegangan permukaan dan
mengembangkan paru yang sangat rendah compliance-nya
tersebut diperlukan usaha inspirasi yang sangat kuat. Yang semakin menimbulkan
dilema adalah kenyataan bahwa alveolus cenderung kolaps total akibat tidak
memiliki surfaktan pada setiap ekspirasi, sehingga usaha bernapas semakin
berat. Pada volume tertentu, usaha untuk mengembangkan sebuah alveolus yang
kolaps akan lebih sulit (memerlukan gradien tekanan transmural yang lebih
besar) daripada memperbesar sebuah alveolus yang sudah mengembang sebagian.
Situasinya mirip dengan meniup sebuah balon baru. Akan lebih sulit meniupkan
udara pertama ke dalam sebuah balon untuk mengembangkannya dibandingkan meniup
tambahan udara ke dalam balon yang sudah mengembang sebagian. Pada sindrom
distres pernapasan pada bayi baru lahir, bayi tersebut seolah-seolah harus
meniup balon baru seiap kali bernapas. Pengembangan paru mungkin memerlukan
gradien tekanan transmural 20 sampai 30 mmHg (dibandingkan dengan nilai normal
sebesar 4 samapi 6 mmHg) untuk mengatasi kecenderungan kolapsnya alveolus yang
kekurangan surfaktan. Masalah diperberat oleh kenyataan bahwa otot-otot bayi
baru lahir masih lemah. Distres pernapasan yang terjadi pada defisiensi
surfaktan dapat cepat menimbulkan kematian karena usaha bernapas menyebabkan
kelelahan atau inadekuat untuk menunjang pertukaran gas yang efisien.
Penyakit yang mengancam nyawa ini mengenai sekitar 30.000
sampai 50.000 bayi baru lahir, terutama bayi prematur setiap tahun di Amerika
Serikat. Sampai sel-sel penghasil surfaktan cukup matang, pasien harus mendapat
terapi antara lain berupa peniupan udara ke dalam paru bayi dengan tekanan yang
lebih besar daripada tekanan atmosfer, atau tekanan “positif”. Dengan
meningkatkan tekanan atmosfer secara artifisial, dapat terbentuk gradien
tekanan yang cukup besar untuk mendorong udara masuk ke dalam paru.
Penelitian-penelitian klinis terakhir juga memperlihatkan keberhasilan terapi
dengan pengganti surfaktan.
5.12. Dalam Keadaan Normal, Usaha Bernapas hanya Memerlukan 3%
dari Pemakaian Energi Total
Selama bernapas tenang dan normal, otot-otot pernapasan
harus bekerja selama inspirasi untuk
mengembangkan paru melawan gaya-gaya elastik dan mengatasi resistensi saluran
pernapasan, sementara ekspirasi adalah suatu proses pasif. Dalam keadaan
normal, paru bersifat sangat tunduk (patuh) dan resistensi saluran pernapasan
rendah, sehingga hanya sekitar 3% dari pernapasan energi total dipakai oleh
tubuh untuk melakukan usaha benapas. Usaha bernapas
dapat meningkat pada empat situasi yang berbeda:
1. Apabila compliance paru
menurun, diperlukan kerja lebih keras untuk
mengembangkan paru.
2. Apabila resistensi
saluran pernapasan meningkat, diperlukan kerja lebih
keras untuk menghasilkan gradien tekanan yang lebih besar untuk mengatasi
resistensi, sehingga udara dapat mengalir secara adekuat.
3. Apabila recoil elastik
menurun, ekspirasi pasif mungkin tidak adekuat
untuk mengeluarkan volume udara yang secara normal dihembuskan selama bernapas
biasa. Dengan demikian, otot-otot abdomen harus bekerja untuk membantu
mengosongkan paru, walaupun orang yang bersangkutan sedang beristirahat.
4. Apabila terdapat
peningkatan kebutuhan akan ventilasi, misalnya selama
berolahraga, diperlukn kerja lebih keras untuk menghasilkan pernapasan yang
lebih dalam (volume udara yang keluar-masuk setiap bernapas menjadi lebih
besar) dan lebih cepat (frekuensi bernapas per menit meningkat).
Selama
berolahraga berat, jumlah energi ang diperlukan untuk menjalankan ventilasi
paru dapat meningkat sampai dua puluh lima kali lipat. Namun, karena
pengeluaran energi total oleh tubuh meningkat sampai lima belas atau dua puluh
kali lipat selama berolahraga berat, energi yang digunakan untuk melakukan
ventilasi tetap hanya sekitar 5% dari pengeluaran energi total.
Sebaliknya, pada
pasien yang compliance parunya rendah
atau mengidap penyakit paru obstruktif, energi yang diperluka untuk bernapas
bahkan ketika istirahat dapat meningkat sampai 30% dari pengeluaran energi
total. Pada kasus ini, kemampuan
individu yang bersangkutan untuk berolahraga menurun drastis, karena bernapas
itu sendiri sudah menjadi olahraga yang melelahkan.
5.13. Dalam Keadaan Normal,
Paru Mengandung Sekitar 2 Sampai 2,5 Liter Udara Selama Siklus Respirasi,
tetapi dapat di Isi Sampai 5,5 Liter atau Dikosongkan Sampai Tersisa 1 Liter.
Pada orang
dewasa sehat, rata-rata jumlah maksimum udara yang dapat dikandung oleh kedua
paru adalah sekitar 5,7 liter pada pria (4,2 liter pada wanita). Bentuk
anatomis, usia, distensibilitas paru, dan ada atau tidaknya penyakit pernapasan
mempengaruhi kapasitas paru total ini. Secara normal, selama proses bernapas
biasa, paru tidak pernah mengalami pengembanagn maksimum atau penciutan yang
mendekati volume minimumnya.
Dengan demikian,
secara normal paru mengalami pengembangan tingkat sedang selama siklus
pernapasan. Pada akhir respirasi tenang (biasa), paru masih mengandung sekitar
2.200 ml udara. Selama satu kali bernapas biasa dalam keadaan istirahat,
sekitar 500 ml udara dihirup dan udara dalam jumlah yang sama dihembuskan,
sehingga selama bernapas tentang volume paru bervariasi antara 2.200 ml pada
akhir ekspirasi dan 2.700 ml pada akhir inspirasi seperti pada Gambar 5.13.1. Selama ekspirasi
maksimum, volume paru dapat menurun sampai 1.200 ml pada pria (1.000 ml pada
wanita), tetapi paru tidak akan pernah dapat dikosongkan secara total karena
saluran pernapasan kecil akan kolaps selama ekspirasi paksa pada volemu paru
yang rendah, sehingga aliran keluar udara lebih lanjut dicegah.
Gambar 5.13.1. Rentang Normal
Volume Paru pada Pria Dewasa
Sumber: Sherwood. 2001:
431
Konsekuensi
penting dari ketidakmampuan mengosongkan paru secara total tersebut adalah
bahwa pertukaran gas antara darah yang mengalir ke paru dan udara alveolus yang
tersisa dapat tetap berlangsung, bahkan selama ekspirasi maksimum. Malahan,
tidak terjadi fluktuasi yang lebar dalam penyerapan O2 dan
pengeluaran CO2 oleh darah karena paru tidak mengalami pengosongan
atau pengisian maksimum dalam setiap proses bernapas. Hal ini menyebabkan
kandungan gas dalam darah yang keluar dari paru untuk disalurkan ke jaringan
tetap konstan selama siklus pernapasan. Selain itu, ingatlah bahwa usaha yang
diperlukan untuk mengembangkan alveolus yang sudah mengembang sebagian lebih
lebih mudah daripada alveolus yang kolaps total.
Perubahan-perubahan
volume paru yang terjadi selama bernapas dapat diukur dengan menggunakan
spirometer. Pada dasarnya, sebuah
spirometer terdiri dari tong berisi udara yang mengapung dalam wadah berisi
air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara ke dalam tong tersebut
melalui selang yang menghubungkan mulut ke wadah udara, tong akan naik dan turun
di wadah air seperti pada Gambar 5.13.2. Naik-turunnya tong
tersebut dapat dicatat sebagai spirogram, yang dikalibrasikan ke perubahan
volume. Pena mencatat inspirasi sebagai defleksi ke atas dan ekspirasi sebagai
defleksi ke bawah.
Gambar 5.13.2. Spirometer
Sumber: Sherwood. 2001:
431
Gambar 5.13.3. adalah contoh
hipotetis sebuah spirogram dari seorang pria dewasa muda sehat.
Gambar 5.13.3. Spirogram Normal
pada Pria Dewasa
Sumber: Sherwood. 2001:
431
Secara umum
angka-angka untuk wanita lebih rendah. Volume paru dan kapasitas paru berikut
ini (kapasitas paru adalah jumlah dari dua atau lebih volume paru) dapat
ditentukan:
§ Tidal
Volume (TV). Volume udara yang masuk atau keluar paru selama satu kali
bernapas. Nilai rata-rata pada keadaan istirahat = 500 ml.
§ Volume
Cadangan Inspirasi (inspiratory reserve
volme, VCI). Volume tambahan yang dapat secara maksimal dihirup melebihi tidal volume istirahat. VCI dihasilkan
oleh kontraksi maksimum diafragma, otot antariga eksternal, dan otot inspirasi
tambahan. Nilai rata-ratanya = 3.000 ml.
§ Kapasitas
Inspirasi (KI). Volume maksimum udara yang dapat dihirup pada akhir ekspirasi
normal tenang (KI = VCI + TV). Nilai rata-ratanya 3.500 ml.
§ Volume
Cadangan Ekspirasi (expiratory reserve
volume, VCE). Volume tambahan udara yang dapat secara aktif dikeluarkan
oleh kontraksi maksimum melebihi udara yang dikeluarkan secara pasif pada akhir
tidal volume biasa. Nilai
rata-ratanya = 1.000 ml.
§ Volume
Residual (VR). Volume minimum udara yang tersisa di paru bahkan setelah ekspirasi masimum. Nilai rata-ratanya
= 1.200 ml. Volume residual tidak dapat diukur secara langsung dengan
spirometer karena volume udara ini tidak keluar-masuk paru. Namun, volume ini
dapat diukur secara tidak langsung melalui teknik dilusi-gas berupa penghirupan
(inspirasi) gas-pelacak (tracer gas)
yang tidak berbahaya dalam jumlah tertentu, misalnya helium.
§ Kapasitas
Residual Fungsional (KRF). Volume udara di paru pada akhir ekspirasi pasir
normal (KRF = VCE + VR). Nilai rata-ratnya = 2.200 ml.
§ Kapasitas
Vital (KV). Volume maksimum udara yang dapat dikeluarkan selama satu kali
bernapas setelah inspirasi maksimum. Subyek mulu-mula melakukan inspirasi
maksimm, kemudian melakukan ekspirasi maksimum (KV = VCI + TV + VCE). KV
mencerminkan perubahan volume maksimum yang dapat terjadi di dalam paru. Volume
ini jarang dipakai karena kontraksi otot maksimum yang terlibat menimbulkan
kelelahan, tetapi bermanfaat untuk menilai kapasitas fungsional paru. Nilai
rata-ratanya = 4.500 ml.
§ Kapasitas
Paru Total (KPT). Volume udara maksimum yang dapat ditampung oleh paru (KPT =
KV + VR). Nilai rata-ratanya = 5.700 ml
§ Volume
Ekspirasi Paksa dalam Satu Detik (forced
expiratory volume, FEV1). Volume udara yang dapat diekspirasi
selama detik pertama ekspirasi pada penentuan KV. Biasanya FEV1
adalah sekitar 80% udara yang dapat dipaksa keluar dari paru yang mengembang
maksimum dapat dikeluarkan dalam 1 detik pertama. Pengukuran ini memberikan
indikasi laju aliran udara maksimum yang dapat terjadi di paru.
Manfaat
pengukuran berbagai volume dan kapasitas paru lebih dari sekedar pengetahuan
akademik. Pengukuran tersebut memberikan petunjuk bagi dokter yang merawat
berbagai penyakit saluran pernapasan. Terdapat dua kategori umum disfungsi
pernapasan yang menimbulkan hasil spirometri yang abnormal penyakit paru obstruktif dan restriktif. Walaupun demikian, anda jangan beranggapan bahwa
keduanya adalah satu-satunya kategori disfungsi pernapasan atau bahwa
spirometri adalah satu-satunya uji fungsi paru. Penyakit lain yang mengenai
fungsi pernapasan mencakup (1) penyakit yang mengganggu difusi O2
dan CO2 menembus membran paru; (2) penurunan ventilasi akibat
kegagalan mekanis, seperti dada penyakit neuromuskulus yang mengenai otot-otot
pernapasan, atau akibat penekanan pusat kontrol pernapasan oleh alkohol, obat,
atau zat kimia lain; (3) gangguan aliran darah paru; atau (4) kelainan
ventilasi/perfusi yang melibatkan ketidakcocokan udara dan darah, sehingga
pertukaran gas menjadi idak efisien. Sebagian penyakit paru sebenarnya adalah
campuran dari berbagai jenis gangguan fungsional. Untuk menentukan kelainan apa
yang ada, dokter menggunakan berbagai uji fungsi pernapasan selain spirometri,
termasuk pemeriksaan sinar-X, penentuan gas-darah, dan pemeriksaan untuk
mengukur kapasitas membran kapiler alveolus.
5.14. Ventilasi Alveolus
Lebih Rendah dari pada Ventilasi Paru karena Adanya Ruang-Mati
Berbagai
perubahan volume hanya mencerminkan satu faktor dalam penentuan ventilasi paru
atau minute ventilation, yaitu volume udara yang dihirup dan dihembuskan dalam
satu menit. Faktor lain yang penting adalah frekuensi pernapasan (kecepatan bernapas),
yang rata-rata sebesar dua belas kali napas per menit.
Ventilasi paru = tidal volume x frekuensi pernapasan
(ml/menit) (ml/napasa) (napas/menit)
Pada tidal volume rata-rata sebesar 500 ml/napas dan frekuensi
pernapasan 12 kali per menit, ventilasi paru adalah 6.000 ml atau 6 liter udara
yang dihirup dan dihembuskan masuk-keluar paru dalam satu menit dibawah kondisi
istirahat. Untuk jangka waktu yang singkat, seorang pria dewasa muda sehat
dapat secara sengaja meningkatkan ventilasi paru total ini dua puluh lima kali
lipat, menjadi 150 liter/menit. Untuk meningkatkan ventilasi paru, baik tidal volume maupun frekuensi pernapasan
ditingkatkan, tetapi kedalaman bernapas lebih meningkat dibandingkan dengan
frekuensi bernapas.
Pada saat meningkatkan ventilasi
paru, akan lebih menguntungkan jika yang ditingkatkan lebih besar adalah tidal volume dibandingkan dengan
frekuensi pernapasan, karena adanya ruang-mati anatomik. Tidak semua udara yang
dihirup akan mencapai tempat pertukaran gas di alveolus. Sebagian tetap
tertinggal di saluran pernapasan, tidak ikut serta dalam pertukaran gas. Volume
saluran pernapasan tersebut pada seorang dewasa adalah sekitar 150 ml. Volume
ini dianggap sebagai ruang-mati anatomik (anatomic
dead space atau ruang-rugi anatomik) karena udara di dalam saluran
pernapasan tidak dapat dimanfaatkan untuk pertukaran gas. Ruang mati anatomik
memiliki efek besar pada efisiensi ventilasi paru. Pada kenyataannya, walaupun
udara yang masuk-keluar selama setiap kali bernapas adalah 500 ml, hanya 350 ml
yang benar-benar dipertukarkan antara atmosfer dan alveolus karena 150 ml
menempati ruang-mati anatomik seperti Gambar 5.14.1
Gambar 5.14.1 Efek Volume Ruang Mati
Sumber: Sherwood. 2001:
434
Karena jumlah udara atmosfer yang
mencapai alveolus dan benar-benar tersedia untuk pertukaran gas lebih penting
daripada jumlah total udara yang masuk-keluar, ventilasi alveolus – volume
udara yang dipertukarkan antara atmosfer dan alveolus per menit – lebih lebih
penting dari ventilasi paru. Dalam menentukan ventilasi alveolus, jumlah udara
yang masuk dan keluar ruang-mati anatomik harus harus diperhitungkan sebagai
berikut:
Ventilasi alveolus = (tidal volume – volume ruang mati) x
frekuensi pernapasan
Pada pernapasan tenang, ventilasi
alveolus adalah 4.200 ml/menit [(500 ml/napas – 150 ml volume ruang-mati) x 12
napas/menit = 4.200 ml/menit], sementara ventilasi paru adalah 6.000 ml/menit.
Untuk memahami seberapa penting
volume ruang-mati dalam menentukan tingkat ventilasi alveolus, kajilah efek
berbagai pola bernapas pada ventilasi alveolus di Tabel 5.14. Jika seseorang dengan
sengaja bernapas dalam (sebagai contoh, tidal
volume 1.200 ml) dan lambat (misalnya frekuensi pernapasan 5 kali/menit),
ventilasi paru adalah 6.000 ml, sama seperti selama bernapas tenang pada
keadaan istirahat, tetapi ventilasi alveolus meningkat menjadi 5.250 ml/menit
dibandingkan pada saat istirahat yang sebesar 4.200 ml/menit. Sebaliknya,
apabila seseorang secara sengaja bernapas dangkal (sebagai contoh, tidal volume 150 ml/menit) dan cepat
(frekuensi 40 kali/menit), ventilasi paru akan tetap 6.000 ml/menit; tetapi
ventilasi alveolus akan menjadi 0 ml/menit. Sebenarnya orang tersebut hanya
menghirup dan menghembuskan udara ke ruang-mati anatomik tanpa adanya
pertukaran udara antara atmosfer dan alveolus yang dapat berguna.
Tabel
5.14.2 Pengaruh Berbagai Pola
Bernapas pada Ventilasi Alveolus
Pengaruh
|
|||||
Pola Bernapas
|
Tidal Volume (Munapas)
|
Frekuensi Pernapasan
(Napas/Menit)
|
Volume Ruang-Mati (Ml)
|
Ventilasi Paru (Ml/Menit)*
|
Ventilasi Alveolus (Ml/Menit)**
|
Bernapas
tenang pada saat istirahat
Bernapas
lambat- dalam
Bernapas
cepat-dangkal
|
500
1.200
150
|
12
5
40
|
150
150
150
|
6.000
6.000
6.000
|
4.200
5.250
0
|
*setara dengan tidal volume kali frekuensi pernapasan.
**setara dengan
(tidal volume dikurangi volume
ruang-mati) dikali frekuensi kecepatan
pernapasan
Orang tersebut dapat mempertahankan
pola bernapas seperti itu untuk selama beberapa menit saja sebelum kehilangan
kesadaran, yakni pada saat pola bernapas akan kembali normal.
Jelaslah sekarang bahwa peningkatan
kedalaman bernapas yang lebih besar ketika ventilasi paru meningkat karena
berolahraga secara refleks akan lebih bermanfaat daripada peningkatan frekuensi
bernapas. Hal tersebut merupakan cara paling efisien untuk menaikan ventilasi
alveolus. Jika tidal volume
meningkat, keseluruhan peningkatan tersebut menyebabkan peningkatan ventilasi
alveolus. Jika frekuensi bernapas meningkat, frekuensi udara yang tersia-sia di
ruang-mati juga meningkat, karena setiap kali bernapas sebagian udara akan
masuk-keluar ruang-mati. Karena kebutuhan berubah-ubah, ventilasi biasanya
disesuaikan dengan tidal volume dan
frekuensi bernapas yang memenuhi kebutuhan tersebut secara paling efisien dalam
kaitannya dengan biaya energi.
Kita menganggap bahwa semua udara
atmosfer yang memasuk alveolus ikut serta dalam perukaran O2 dan CO2
dengan darah paru. Walaupun demikian, kecocokan antara udara dan darah tidak
selalu sempurna, karena tidak semua alveolus secara merata mendapat ventilasi
udara dan dialiri oleh darah. Setiap alveolus yang mendapat ventilasi namun
tidak ikut serta dalam pertukaran gas dengan darah karena perfusinya tidak
adekuat dianggap sebagai ruang-mati alveolus (alveolar dead-space). Pada orang normal, ruang-mati alveolus cukup
kecil dan kurang penting, tetapi ruang ini dapat meningkat bahkan ke tingkat
fatal pada beberapa jenis penyakit paru.
6. Pertukaran Gas
6.1. Gas
Berpindah Mengikuti Penurunan Gradien Tekanan
Tujuan akhir bernapas adalah secara
terus-menrus menyediakan pasokan O2 segar untuk diserap oleh darah
dan mengelurkan CO2 dari darah. Darah berfungsi sebagai sistem
transportasi untuk O2 dan CO2 antara paru dan jaringan,
dengan sel jaringan mengekstraksi O2 dari darah dan mengeliminasi CO2
ke dalamnya. Pertukaran gas ditingkat kapiler paru dan kapiler jaringan terjadi
melalui difusi pasif sederhana O2 dan CO2 mengikuti
penurunan gradien tekanan parsial.
Tidak terdapat mekanisme transportasi aktif bagi kedua gas tersebut. Marilah
kita membahas apa yang dimaksud dengan gradien tekanan parsial dan bagaimana
gradien tersebut terbentuk.
Udara atmosfer normal yang kering
adalah campuran gas-gas yang mengandung sekitar 79% nitrogen (N2)
dan 21% O2, dengan persentase CO2, uap H2O,
gas lain, dan polutan hampir dapat diabaikan. Secara bersama-sama, gas-gas ini
menghasilkan tekanan atmosfer total sebesar 760 mmHg pada ketinggian permukaan
laut. Tekanan total ini setara dengan jumlah tekanan setiap gas dalam campuran
tersebut. Tekanan yang ditimbulkan oleh gas tertentu berbanding lurus dengan
persentase gas tersebut dalam campuran udara total. Setiap molekul gas,
berapapun ukurannya, menimbulkan besar tekanan yang sama; sebagai contoh,
sebuah molekul N2 menimbulkan teknanan yang sama besarnya dengan
yang ditimbulkan oleh sebuah molekul O2. Karena 79%% udara terdiri
dari molekul N2, 79% dari 760 mmHg tekanan atmosfer, atau 600 mmHg,
ditimbulkan oleh molekul N2. Demikian juga, karena O2
mewakili 21% atmosfer, 21% dari tekanan atmosfer 760 mmHg, atau 160 mmHg,
ditimbulkan oleh O2 seperti Gambar 6.1. Setiap tekanan yang secara
independen ditimbulkan oleh gas tertentu di dalam campuran gas dikenal sebagai
tekanan parsial, yang dinyatakan sebagai Pgas. Dengan demikian,
tekanan parsial O2 di udara atmosfer, Po, dalam keadaan
normal adalah 160 mmHg. Tekanan parsial CO2 di atmosfer, PCO2,
dapat diabaikan, yaitu 0,3 mmHg.
Gambar 6.1.
Konsep Tekanan Parsial
Sumber: Sherwood. 2001: 436
Gas-gas yang larut dalam cairan,
misalnya darah atau cairan tubuh lain, juga dianggap menimbulkan tekanan
parsial. Jumlah gas yang akan larut dalam darah bergantung pada daya larut
(solubilitas) gas dalam darah dan tekanan parsial gas dalam udara alveolus
tempat darah terpajan. Karena daya larut O2 dan CO2 dalam
darah konstan, jumlah O2 dan CO2 yang larut dalam darah
kapiler paru berbanding lurus dengan PO2 dan PCO2 alveolus.
Tekanan parsial alveolus dari suatu gas tertentu dapat dianggap “menahan” gas
tersebut dalam larutan darah.
Seperti pada kasus O2
tekanan parsial suatu gas dalam alveolus lebih tinggi daripada tekanan gas
parsial gas tersebut dalam darah yang
memasuki kapiler paru, tekanan parsial alveolus yang lebih tinggi mendorong
lebih banyak O2 masuk ke daam darah. Oksigen berdifusi dari alveolus
dan larut dalam darah sampain PO2 darah setara dengan PO2 alveolus.
Sebaliknya, apabila tekanan parsial suatu gas dalam alveolus lebih rendah
daripada tekanan parsialnyanya di darah seperti yang terjadi pada CO2
tekanan parsial alveolus yang lebih rendah menyebabkan sebagian CO2
keluar dari larutan (jadi, tidak lagi terlarut) dalam darah. Setelah keluar
dari larutan, CO2 berdifusi ke dalam alveolus PCO2 darah
setara dengan PCO2 alveolus. Perbedaan tekanan parsial antara darah
paru dan udara alveolus tersebut dikenal sebagai gradien tekanan parsial. Suatu gas selalu berdifusi mengikuti
penurunan gradien tekanan parsial dari daerah dengan tekanan parsial tinggi ke
daerah dengan tekanan parsial rendah, serupa dengan difusi mengikuti penurunan
gradien konsentrasi.
6.2. Oksigen
Masuk dan CO2 Keluar dari Darah di Paru Secara Pasif Mengikuti
Penurunan Gradien Tekanan Parsial.
Komposisi udara alveolus tidak sama
dengan udara atmosfer yang dihirup karena dua alasan. Pertama, segera setelah
udara atmosfer memasuki saluran pernapasan, udara tersebut mengalami kejenuhan
H2O akibat pajanan ke saluran pernapasan yang lembab.
Uap air juga menimbulkan tekanan
parsial seperti gas lainnya. Pada suhu tubuh, tekanan parsial uap H2O
adalah 47 mmHg. Pelembaban (humidifikasi) udara yang masuk pada dasarnya
menyebabkan “Pengenceran” tekanan parsial gas-gas yang masuk sebesar 47 mmHg,
karena jumlah tekanan parsial harus sama dengan tekanan atmosfer sebesar 760
mmHg. Pada udara lembab, P H2O = 47 mmHg, PN2 = 563 mmHg,
dan PO2 = 150 mmHg.
Kedua, PO2 alveolus juga
lebih rendah daripada PO2 atmosfer karena udara inspirasi segar
tercampur dengan sejumlah besar udara lama yang berada di paru da ruang mati
pada akhir ekspirasi sebelumnya (kapasitas residual fungsional). Hanya sekitar
sepertujuh udara alveolus total yang diganti oleh udara segar dari atmosfer
setiap kali bernapas. Dengan demikian, pada akhir inspirasi, kurang dari 15%
udara di alveolus yang merupakan udara segar. Akibat humidifikasi dan rendahnya
tingkat pertukaran udara alveolus, PO2 alveolus rata-rata adalah 100
mmHg, dibandingkan dengan PO2 atmosfer sebesar 160 mmHg.
Masuk akal apabila ada anggapan
bahwa PO2 alveolus akan meningkat selama inspirasi dengan datangnya
udara segar dan akan menurun selama ekspirasi. Namun, fluktuasi kecil PO2,
hanya beberapa mmHg, terjdi karena dua alasan. Pertama, setiap kali bernapas,
hanya sebagian kecil dari udara alveolus total yang dipertukarkan. Volume udara
inspirasi ber- PO2-tinggi yang relatif kecil dengan cepat tercampur
dengan udara yang tertahan di alveolus yang jumlahnya jauh lebih besar dan
memiliki PO2 lebih rendah. Dengan demikian, O2 dalam
udara inspirasi hanya dapat meningkatkan sedikit PO2 alveolus total.
Bahkan peningkatan kecil PO2 ini akan hilang karena sebab lain.
Oksigen secara terus-menerus berpindah melalui proses difusi pasif mengikuti
penurunan gradien tekanan parsial dari alveolus ke dalam darah. Oksigen yang
tiba di alveolus dalam udara inspirasi hanya menggantikan O2 yang
berdifusi ke luar alveolus dan masuk ke dalam kapiler paru. Dengan demikian, PO2alveolus
tetap konstan sekitar 100 mmHg sepanjang siklus pernapasan. Karena PO2
darah paru berada dalam keseimbangan dengan PO2 alveolus, PO2
darah juga akan berada dalam kisaran yang cukup konstan pada angka tersebut.
Karenanya, selama siklus inspirasi jumlah O2 dalam darah yang
tersedia untuk jaringan tidak banyak berubah-ubah.
Situasi
serupa dalam arah berlawanan berlaku untuk CO2. Karbon dioksida,
yang secara terus-menerus diproduksi oleh jaringan tubuh sebagai produk sisa
metabolisme, secara konstan ditambahkan ke darah ditingkat kapiler sistemik. Di
kapiler paru, CO2 berdifusi mengikuti penurunan gradien tekanan
parsial dari darah ke dalam alveolus dan kemudian dikeluarkan dari tubuh
melalui ekspirasi. Seperti O2, PCO2 alveolus relatif
konstan sepanjang siklus pernapasan, tetapi dengan angka yang lebih rendah,
yaitu 40 mmHg. Ventilasi secara terus-menerus mengganti PO2
alveolus, sehingga tekanan gas tersebut relatif tinggi, dan secara terus menerus mengeluarkan CO2,
sehingga PCO2 alveolus relatif rendah. Dengan demikian, gradien
tekanan parsial antara alveolus dan darah dapat dipertahankan, sehingga O2
dapat masuk ke darah dan CO2 keluar dari darah.
Darah yang masuk ke kapiler paru
adalah darah vena sistemik yang dipompa ke paru melalui arteri pulmonalis.
Darah ini, yang baru kembali dari jaringan tubuh, mengandung O2 yang
relatif rendah dengan PO2 40 mmHg, dan relatif mengandung banyak CO2,
dengan PCO2 46 mmHg. Pada saat mengalir melalui kapiler-kapiler
paru, darah ini terpajan ke udara alveolus seperti Gambar 6.2. Karena PO2 alveolus
100 mmHg (lebih tinggi daripada PO2 darah yang masuk ke paru yaitu
40 mmHg), O2 berdifusi mengikuti penurunan gradien tekanan parsial
dari alveolus ke dalam darah sampai tidak lagi terdapat gradien. Pada saat
meninggalkan kapiler paru, darah memiliki PO2 setara dengan PO2
alveolus, yaitu 100 mmHg. Gradien tekanan parsial untuk CO2 memiliki
arah yang berlawanan. Darah yang masuk ke kapiler paru memiliki PCO2
46 mmHg, sementara PCO2 berada dalam keseimbangan alveolus dengan PCO2
alveolus. Dengan demikian, darah yang meninggalkan kapiler paru memiliki PCO2
40 mmHg. Sewaktu melewati paru, darah menyerap O2 dan menyerahkan CO2
hanya dengan proses difusi mengikuti penurunan gradien tekanan parsial yang
terdapat antara darah dan alveolus.
Gambar 6.2. Pertukaran
O2 dan CO2
Sumber: Sherwood. 2001: 437
PO2 alveolus relatif
tetap tinggi dan PCO2 alveolus relatif tetap rendah karena sebagian
udara alveolus ditukar dengan udara atmosfer segar setiap kali bernapas.
Sebaliknya, darah vena sistemik yang memasuki paru relatif kurang mengandung O2
dan banyak mengandung CO2, setelah melepaskan O2 dan
menyerap CO2 di tingkat kapiler sistemik. Hal ini menciptakan
gradien tekanan parsial antara udara dan alveolus dan darah kapiler paru yang
menginduksi difusi pasif O2 ke dalam darah dan CO2 keluar dari darah sampai tekanan parsial di
darah dan alveolus seimbang. Dengan demikian, darah yang meninggalkan paru
relatif lebih banyak mengandung O2 dan lebih sedikit mengandung CO2
dibandingkan dengan tekanan parsial di sel-sel jaringan pengkonsumsi O2
dan penghasil CO2. Akibatnya, gradien tekanan parsial untuk
pertukaran gas di tingkat jaringan mendorong perpindahan pasif O2
keluar dari darah dan masuk ke sel untuk menunjang kebutuhan metabolisme sel
tersebut serta juga mendorong perpindahan CO2 ke dalam darah. Darah
kemudian kembali ke paru untuk sekali lagi terisi O2 dan
mengeluarkan CO2. PO2 dan PCO2 arteri
sistematik biasanya relatif konstan setelah melakukan keseimbangan dengan
tekanan parsial alveolus, yang pada dasarnya selalu konstan. Sebaliknya, PO2
dan PCO2 vena sistemik berubah-ubah, bergantung pada tingkat
aktivitas metabolisme.
Setelah meninggalkan paru, darah,
yang sekarang memiliki PO2 100 mmHg dan PCO2 40 mmHg,
kembali ke jantung untuk kemudian dipompa ke jaringan tubuh sebagai darah
arteri sistematik.
Perhatikan bahwa darah yang kembali
ke paru masih mengandung CO2 (PCO2 darah vena sistematik
= 40 mmHg) dan bahwa darah yang keluar dari paru masih mengandung CO2 (PO2
darah vena sistemik = 40 mmHg) dan bahwa darah yang keluar dari paru masih
mengandung CO2 (PCO2 darah arteri sistemik = 40 mmHg). Tambahan O2
yang diangkut dalam darah melebihi jumlah normal yang diserahkan ke jaringan
mencerminkan cadangan O2 yang dapat segera digunakan oleh sel-sel
jaringan manakala kebutuhan O2 mereka meningkat. Karbon dioksida
yang menetap dalam darah bahkan setelah darah melewati paru berperan penting
pada keseimbanagan asam-basa tubuh, karena CO2 menghasilkan asam
karbonat. Selain itu, PCO2 arteri penting untuk mengendalikan
pernapasan. Mekanisme ini, akan dibahas kemudian.
Jumlah O2 yang diserap
oleh paru sesuai dengan jumlah yang diekstraksi dan digunakan oleh jaringan.
Apabila jaringan melakukan metabolisme secara lebih aktif (misalnya pada saat
berolahraga), lebih banyak O2 yang diekstraksi dari darah di tingkat
jaringan, sehingga PO2 vena sistemik berkurang menjadi lebih rendah
daripada 40 mmHg – misalnya PO2 menjadi 30 mmHg. Sewaktu darah ini
kembali ke paru, terbentuk gradien PO2 yang lebih besar dari normal
antara darah yang baru datang dan udara alveolus. Perbedaan PO2
antara alveolus dan darah sekarang menjadi 70 mmHg (PO2 alveolus 100
mmHg dan PO2 darah 30 mmHg), dibandingkan dengan gradien PO2
normal sebesar 60 mmHg (PO2 alveolus 100 mmHg dan PO2
darah 40 mmHg). Dengan demikian, lebih banyak O2 yang berdifusi dari
alveolus ke dalam darah mengikuti penurunan gradien tekanan parsial sebelum PO2
darah setara dengan PO2 alveolus. Peningkatan perpindahan O2
ke dalam darah ini menggantikan peningkatan jumlah O2 yang
dikonsumsi, sehingga penyerapan O2 sesuai dengan pemakaian O2
bahkan sewaktu konsumsi O2 ditingkatkan. Pada saat yang sama ketika
lebih banyak O2 berdifusi dari alveolus ke dalam darah karena
peningkatan gradien tekanan parsial, ventilasi terangsang sehingga O2
dari atmosfer yang masuk ke alveolus lebih cepat untuk mengganti O2
yang berdifusi ke dalam darah.
Demikian
juga, jumlah CO2 dari darah yang dipindahkan ke alveolus sesuai
dengan jumlah CO2 yang diserap di jaringan. Sekali lagi, peningkatan
ventilasi yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas akan memastikan bahwa
terjadi peningkatan jumlah CO2 yang disalurkan ke alveolus untuk
dikeluarkan ke atmosfer.
6.3.
Faktor di luar gradien tekanan parsial mempengaruhi kecepatan perpindahan gas.
Kita telah membahas difusi O2
dan CO2 antara darah dan alveolus seolah-olah gradien tekanan
parsial gas-gas ini merupakan penentu satu-satunya kecepatan difusi mereka.
Ingatlah bahwa, menurut hukum difusi Fick, kecepatan difusi suatu gas melintasi
selembar jaringan juga bergantung pada luas permukaan dan ketebalan membran
yang harus dilewati gas serta koefisien difusi gas tertentu seperti pada Tabel 6.3. Dalam keadaan normal,
perubahan kecepatan pertukaran gas terutamam ditentukan oleh perubahan gradien
tekanan parsial antara darah dan alveolus, karena pada keadaan istirahat faktor
lain ini relatif konstan.
Tabel 6.3 Faktor yang Mempengaruhi
Kecepatan Pertukaran Gas Melintasi Membran Alveolus
Faktor yang Mempengaruhi
Kecepatan Pertukaran Gas
|
||
Faktor
|
Pengaruh Pada Kecepatan
Pertukaran Gas Melintasi Membran Alveolus
|
Komentar
|
Gradien tekanan parsial
O2 dan CO2
Luas permukaan membran
alveolus
Ketebalan sawar
memisahkan udara dan dara melintasi membran alveolus
Koefisien difusi (daya
larut gas dalam membran)
|
Kecepatan pertukaran ↑
jika luas permukaan ↑
Kecepatan pertukaran ↑
jika luas permukaan ↑
Kecepatan pertukaran ↓
jika ketebalan ↑
Kecepatan pertukaran
gas ↑ jika koefisien difusi ↑
|
Penentu utama kecepatan
pertukaran
Luas permukaan bersifat
tetap pada keadaan istirahat
Luas permukaan ↑ selama
olahraga karena semakin banyak jumlah paru yang terbuka saat curah jantung
meningkat dan alveolus lebih banyak yang mengembang karena bernapas menjadi
lebih dalam
Luas permukaan turun ↓
pada keadaan patologis, misalnya emfisema atau atelektasis
Dalam keadaan normal,
ketebalan tidak berubah
Ketebalan ↑ pada
keadaan patologis, misalnya edema paru, fibrosis paru, dan pneumonia
Koefisien difusi untuk
CO2 lebih besar20 kali lipat dibandingkan O2,
mengimbangi gradien tekanan parsial CO2 yang dipindahkan menembus
membran kira-kira setara
|
Walaupun demikian, selama olahraga,
luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran dapat meningkat secara fisiologis
untuk meningkatkan kecepatan pertukaran gas. Pada keadaan istirahat, sebagian
kapiler paru biasanya tertutup karena tekanan sirkulasi paru, yang secara
normal rendah, tidak mampu membuka semua kapiler yang ada. Selama olahraga,
pada saat tekanan darah paru meningkat akibat peningkatan curah jantung, banyak
kapiler paru yang sebelumnya tertutup menjadi terbuka. Hal ini meningkatkan
luas permukaan darah yang tersedia untuk proses pertukaran. Selain itu, selama
olahraga membran alveolus lebih teregang daripada normal karena peningktan tidal volume (bernapas lebih dalam).
Peregangan itu meningkatkan luas permukaan alveolus dan menurunkan ketebalan membran
alveolus. Secara kolektif, perubahan-perubahan di atas meningkatkan pertukaran
gas selama olahraga.
Di pihak lain, beberapa keadaan
patologis sangat menurunkan luas permukaan paru, dan pada gilirannya,
menurunkan kecepatan pertukaran gas. Luas permukaan berkurang pada emfisema
karena banyak didnding alveolus yang lenyap, sehingga terbentuk ruang-ruang
udara yang lebih besar tetapi lebih sedikit. Berkurangnya luas permukaan untuk
pertukaran gas juga dapat terjadi akibat adanya atelekstasis paru serta serta
akibat hilangnya sebagian jaringan paru karena pengangkatan secara bedah –
misalnya dalam pengobatan kanker paru.
Pertukaran gas yang tidak adekuat
juga dapat terjadi apabila ketebalan sawar yang memisahkan udara dan darah
meningkat secara patologis. Pabila ketebalan meningkat, kecepatan pertukaran
gas berkurang karena gas harus menempuh lintasan yang lebih jauh untuk
berdifusi. Ketebalan meningkat pada (1) edema
paru, suatu penimbunan berlebihan cairan interstisium di antara alveolus
dan kapiler paru akibat peradangan paru atau gagal jantung kongestif (2) fibrosis
paru yang melibatkan penggantian jaringan paru oleh jaringan fibrosa tebal
sebagai respons terhadap iritasi kronik tertentu, dan (3) pneumonia, yang ditandai oleh penimbunan cairan peradangan di dalam
atau di sekitar alveolus. Biasanya pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri
atau virus, tetapi juga dapat terjadi dari aspirasi (masuk ke jalan napas)
secara tidak sengaja makanan, muntahan, atau bahan kimiawi.
Kecepatan perpindahan gas berbanding
lurus dengan koefisien difusi (D), suatu konstanta yang berkaitan dengan daya
larut gas tertentu di jaringan paru dan dngan berat molekulnya (D ∞ sol√bm).
Koefisien difusi untuk CO2 adalah dua puluh kali lebih besar dari O2
karena CO2 jauh lebih muda larut dalam jaringan tubuh
daripada O2.
Dengan demikian, kecepatan difusi CO2
menembus membran pernapasan dua puluh kali lebih cepat daripada kecepatan O2
untuk gradien tekanan parsial yang sama. Perbedaan dalam koefisien difusi ini
secara normal diimbangi oleh perbedaan gradien tekanan parsial yang terdapat
untuk O2 dan CO2 melintasi membran kapiler alveolus.
Gradien tekanan parsial CO2 adalah 6 mmHg (PCO2 darah 46
mmHg; PCO2 alveolus 40 mmHg), dibandingkan dengan gradien tekanan
parsial O2 60 mmHg (PO2 di alveolus 100 mmHg; PO2 di darah
40 mmHg).
Secara normal, diperkirakan terjadi
pertukaran O2 dan CO2 dalam jumlah setara-sebesar kuosien
pernapasan. Walaupun volume tertentu darah menghabiskan tiga-perempat detik
melewati jaringan kapiler paru, PO2 dan PCO2 biasanya sudah berada
dalam keseimbangan dengan tekanan parsial alveolus pada saat darah sudah
menjalani sepertiga lintasan kapiler paru. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan
normal paru memiliki cadangan difusi yang besar, suatu kenyataan yang sangat
penting selama kita berolahraga berat. Waktu yang dipakai oleh darah untuk
transit di kapiler paru berkurang apabila aliran darah paru meningkat seiring
dengan peningkatan curah jantung yang menyertai olahraga. Walaupun waktu yang
tersedia untuk pertukaran gas memendek, PO2 dan PCO2
darah secara normal tetap mampu menyamai kadar alveolus karena adanya cadangan
difusi paru tersebut.
Pada paru yang sakit, difusi
mengalami gangguan akibat penurunan luas permukaan atau penebalan sawar
darah-udara. Pada keadaan demikian, pertukaran O2 biasanya jauh
lebih terpengaruh daripada pertukaran CO2 karena koefisien difusi CO2
yang lebih besar. Pada saat darah mencapai akhir jaringan kapiler paru, darah
tersebut kemungkinan telah lebih berhasil menyetarakan PCO2 –nya dengan PCO2
alveolus, daripada PO2-nya , karena CO2 mungkin adekuat
sewaktu dalam keadaan istirahat, tetapi selama berolahraga, ketika waktu
transit di paru berkurang, gas-gas darah, terutama O2, mungkin belim
mencapai keseimbangan dengan gas-gas alveolus setelah darah meninggalkan paru.
6.4. Pertukaran
Gas Melintasi Kapiler Sistemik juga Mengikuti Penurunan Gradien Tekanan Parsial
Seperti
di kapiler paru, O2 dan CO2 berpindah antara darah
kapiler sistemik dan sel jaringan melalui proses difusi pasif mengikuti
penurunan gradien tekanan parsial. Darah arteri yang mencapai kapiler sistemik
pada dasarnya adalah darah yang sama dengan yang meninggalkan paru melalui vena
pulmonalis, karena dari keseluruhan sistem sirkulasi hanya terdapat dua tempat
pertukaran gas, yaitu kapiler paru dan kapiler sistemik. PO2 arteri adalah 100 mmHg dan PCO2
arteri adalah 40 mmHg; sama seperti PO2 dan PCO2 alveolus.
Sel secara terus-menerus
mengkonsumsi O2 dan menghasilkan CO2 melalui metabolisme
oksidatif. PO2 sel besarnya rata-rata 40 mmHg dan PCO2-nya
sekitar 46 mmHg, walaupun angka-angka ini sangat bervariasi, bergantung pada
tingkat aktivitas metabolisme sel. Oksigen berpindah mengikuti penurunan
gradien tekanan parsial dari memasuki darah kapiler sistemik (PO2 =
100 mmHg) sampai tercapai keseimbangan. Dengan demikian, PO2 darah
vena yang meninggalkan kapiler sistemik setara dengan PO2 jaringan
dengan rata-rata 40 mmHg. Situasi yang berlawanan berlaku untuk CO2.
Karbon dioksida dengan cepat berdifusi ke luar sel (PCO2 = 46 mmHg)
untuk masuk ke darah kapiler (PCO2 = 40 mmHg) mengikuti penurunan
gradien tekanan parsial yang tercipta akibat produksi terus-menerus CO2.
Perpindahan CO2 berlangsung terus sampai PCO2 darah
seimbang dengan PCO2 jaringan1.
Dengan demikian, darah yang meninggalkan kapiler sistemik meiliki PCO2
rata-rata 46 mmHg. Darah vena sistemik ini, yang secara relatif mengandung
sedikit O2 (PO2 = 40 mmHg) dan banyak CO2 (PCO2
= 46 mmHg), kembali ke jantung dan kemudian dipompa ke paru untuk mengulangi
siklus peredaran darah.
Semakin aktif suatu jaringan
melakukan metabolisme, semakin rendah PO2 sel turun dan semakin
tinggi PCO2 sel meningkat.
Akibat peningkatan gradien tekanan parsial darah ke sel-sel, lebih banyak O2
yang berdifusi dari darah ke dalam sel dan lebih banyak CO2 yang
keluar dengan arah berlawanan sampai PO2 dan PCO2 darah
mencapai keseimbangan dengan sel-sel di sekitarnya. Dengan demikian, jumlah O2
yang dipindahkan ke sel dan jumlah CO2 yang di bawa keluar sel
bergantung pada tingkat metabolisme sel.
Perhatikan bahwa difusi netto O2
pertama-tama terjadi antara alveolus dan darah dan kemudian antara darah dan
jaringan akibat gradien tekanan parsial O2 yang tercipta oleh
penggunaan terus-menerus O2 oleh sel dan penggantian terus-menerus O2
segar di alveolus oleh proses ventilasi alveolus. Difusi netto CO2
berlangsung dengan arah berlawanan, pertama antara jaringan dan darah dan
kemudian antara darah dan alveolus, akibat adanya gradien tekanan parsial CO2
yang tercipta oleh pembentukan terus-menerus CO2 di sel dan
pengeluaran CO2 oleh alveolus melalui proses ventilasi alveolus
seperti pada Gambar 6.4.
Gambar 6.4.
Gradien Difusi Netto O2 dan CO2
Sumber: Sherwood. 2001: 440
7.
Transportasi
Gas
Sebagian besar O2
dalam darah diangkut oleh hemoglobin. Oksigen yang diserap oleh darah harus
diangkut ke jaringan agar dapat digunakan oleh sel-sel. Sebaliknya CO2
yang diproduksi oleh sel-sel harus diangkut ke paru-paru untuk dieliminasi.
Di dalam darah,
oksigen terdapat dalam dua bentuk: larut secara fisik dan terikat secara
kimiawi ke hemoglobin seperti pada Tabel 6.1.
O2 yang secara fisik larut dalam air plasma, jumlahnya sangat
sedikit karena O2 kurang larut dalam cairan tubuh. Jumlah yang
terlarut berbanding lurus dengan PO2 darah; semakin tinggi PO2
semakin mudah larut O2. Pada PO2 arteri normal sebesar
100 mmHg, hanya 3 ml O2 yang dapat larut dalam 1 liter darah. Dengan
demikian, hanya 15 ml O2/menit yang dapat dilarutkan dalam aliran
darah yang paru normal yang besarnya 51/menit (curah jantung istirahat). Bahkan
pada keadaan istirahat, sel mengkonsumsi sampai 250 ml O2/menit, dan
jumlah dapat meningkat sampai dua puluh lima kali lipat selama olahraga berat.
Untuk menyalurkan O2 yang diperlukan oleh jaringan bahkan dalam
keadaan istirahat, curah jantung harus mencapai 83,3 liter/menit apabila O2
hanya dapat diangkut dalam bentuk terlarut. Jelaslah, harus terdapat mekanisme
lain untuk mengangkut O2 ke jaringan. Mekanisme ini adalah
hemoglobin (Hb). Hanya 1,5% O2 dalam darah yang larut; sisanya
(98,5%) diangkut bersama dengan Hb. O2 yang terikat ke Hb ini tidak ikut menentukan PO2 darah;
dengan demikian, PO2 darah
bukan ukuran kandungan O2 total dalam darah melainkan hanya bagian O2
yang larut.
Tabel 7.a Metode Transportasi
Gas dalam Darah
Gas
|
Metode
Transportasi Dalam Darah
|
Persentase
Yang Diangkut Dalam Bentuk Ini
|
O2
CO2
|
Larut secara fisik
Terikat ke hemoglobin
Larut secara fisik
Terikat ke hemoglobin
Sebagai bikarbonat (HCO2)
|
1,5
98,5
10
30
60
|
Hemoglobin,
suatu molekul protein yang mengandung besi, memiliki kemampuan untuk membentuk
ikatan longgar-reversibel dengan O2. Apabila tidak berikatan dengan
O2, Hb desebut sebagai hemoglobin tereduksi; apabila berikatan
dengan O2, Hb disebut sebagai oksihemoglobin (HbO2).
Hb + O2 HbO2
Hemoglobin Reduksi Oksihemoglobin
Kita perlu menjawab beberapa
peratanyaan penting mengenai peranan Hb dalam transportasi O2. Apa
yang menentukan apakah O2 dan Hb akan berikatan atau berdisiosasi
(terpisah)? Mengapa Hb berikatan denganO2 di paru dan membebaskan O2
di jaringan? Bagaimana O2 di bebaskan dalam jumlah bervariasi di
tingkat jaringan, bergantung pada tingkat aktivitas jaringan? Bagaimana kita
membahas perpindahan O2 antara darah dan jaringan di sekitarnya
berdasarkan gradient tekanan parsial O2 ketika 98,5% O2
terikat ke Hb dan dengan demikian sama
sekali tidak ikut menentukan PO2?
Akibat ventilasi alveolus yang
secara terus menerus memasukkan O2 segar dan sel-sel secara terus
menerus menggunakan O2, tercipta gradien netto untuk
difusi CO2 mula-mula dari alveolus ke darah dan kemudian dari darah
kejaringan. Dalam arah yang berlawanan terbentuk gradien netto untuk difusi CO2
mula-mula dari sel jaringan ke darah dan kemudian dari darah ke alveolus.
Gradiend ini disebabkan oleh produksi terus menerus CO2 di tingkat
jaringan dan pengeluaran terus menerus CO2 dari alveolus oleh
ventilasi alveolus.
PO2 adalah faktor utama yang menentukan persen
saturasi hemoglobin. Masing-masing dari ke empat atom besi di bagian hem
molekul hemoglobin mampu berikatan dengan sebuah molekul O2,
sehingga setiap molekul Hb dapat mengangkut sampai empat molekul O2. Hemoglonin
dianggap jenuh apabila semua Hb yang ada mengakut O2 secara
maksimum. Persen saturasi hemoglobin (%Hb), suatu ukuran seberapa banyak Hb
yang berikatan dgn O2, dapat bervariasi dr 0% sampai 100%.
Faktor terpenting yang menentukan %
saturasi Hb adalah PO2 darah,
yang pada gilirannya, berkaitan dengan konsentrasi O2 yang secra
fisik larut dalam darah. Menurut hukum aksi massa, apabila konsentrasi salah
satu bahan terlibat dalam sebuah reaksi reversible meningkat, reaksi akan
mengarah ke sisi yang berlawanan. Sebaliknya, apabila konsentrasi salah satu
zat berkurang, reaksi akan mengarah ke sisi tersebut. Dengan menerapkan hukum
ini pada reaksi reversible yang melibatkan Hb
dan O2
(Hb + O2 HbO2),
apabila PO2 darah meningkat, misalnya ketika kapiler paru, reaksi
akan mengarah ke sisi kanan persamaan, sehingga terjadi peningkatan
pembentukan HbO2 (peningkatan % saturasi Hb). Apabila PO2 darah berkurang, misalnya pada saat di kapiler
sistemik, reaksi akan mengarah ke sisi kiri persamaan dan oksigen akan
dibebaskan dari Hb ketika HbO2 terurai (penurunan % saturasi Hb).
Dengan demikian, karena adanya perbedaan PO2 di paru dan jaringan lain, Hb secara otomatis
“mendapat” O2 di paru, tempat pasokan O2 segar secara
terus menerus diberikan oleh ventilasi, dan “menumpahkan” O2 di
jaringan, yang secara terus menerus menggunakan O2.
Walaupun demikian, hubungan antara PO2
darah dan % saturasi
hemoglobin tidaklah linier, suatu hal yang sangat penting secara fisiologis.
Peningkatan dua kali lipat tekanan parsial tidak menyebabkan peningkatan dua
kali lipat % saturasi Hb. Hubungan antara variabel-variabel tersebut dinyatakan
dalam suatu kurva berbentuk huruf S yang dikenal sebagai kurva disosiasi
(saturasi) O2 –Hb seperti pada Gambar 6.1. Perhatikan bahwa di ujung bagian
atas, antara PO2 darah 60 dan 100 mmHg, kurva mendatar, atau
membentuk plateu. Dalam rentang
tekanan ini peningkatan PO2 hanya sedikit
meningkatkan tingkat saturasi hemoglobin. Sebaliknya, dalam rentang PO2 0 sampai 60 mmHg, perubahan kecil PO2 menimbulkan perubahan besar tingkat saturasi
hemoglobin, seperti diperlihatkan oleh bagian bawah kurva yang curam. Baik
bagian atas maupun bawah kurva tersebut memiliki makna fisiologis.
Gambar 7.b.
Kurva Disosiasi (Saturasi) Oksigen-Hemoglobin (O2-Hb)
Sumber: Sherwood. 2001: 441
Makna Bagian Mendatar pada Kurva O2-Hb Bagian mendatar kurva terletak pada
rentang PO2 darah yang
terdapat di kapiler paru tempat O2 sedang digabungkan dengan Hb.
Darah arteri sistemik yang keluar dari paru, setelah mengalami keseimbangan
dengan PO2 100 mmHg. Dengan melihat kurva O2-Hb,
perhatikan bahwa pada PO2 darah 100 mmHg, 97,5% Hb mengalami
saturasi. Dengan demikian, Hb dalam darah arteri sistematik hampir tersaturasi
sempurna.
Apabila PO2 alveolus dan
dengan demikian PO2 arteri turun di bawah normal, hanya terjadi
sedikit penurunan jumlah total O2 yang diangkut oleh darah sampai O2
turun di bawah 60 mmHg karena adanya daerah mendatar di kurva tersebut. Apabila
PO2 arteri turun 40% dari 100 mmHg menjadi 60 mmHg, konsentrasi O2
terlarut yang tercermin pada PO2 juga akan berkurang 40%. Akan
tetapi, pada PO2 darah 60 mmHg, % saturasi Hb masih tinggi, yaitu
90%. Dengan demikian, kandungan O2 total darah hanya sedikit
berkurang walaupun terjadi penurunan PO2 sebesar 40% karena
Hb masih mengangkut O2 dalam jumlah yang hampir maksimum, dan
seperti dinyatakan sebelumnya, sebagian besar O2 diangkut oleh Hb
dan bukan dilarutkan dalam darah. Di pihak lain, bahkan apabila PO2
darah sangat meningkat, misalnya menjadi 600 mmHg dengan menghirup O2
murni, hanya sedikit terjadi penambahan O2 ke dalam darah. Sejumlah
kecil tambahan O2 larut, tetapi % saturasi Hb hanya dapat
ditingkatkan maksimum sebesar 21/2% menjadi 100%. Oleh karena itu, dalam
rentang PO2 60 sampai 600 mmHg atau bahkan lebih tinggi, hanya
terjadi 10% perbedaan dalam jumlah O2 yang diangkut oleh Hb. Bagian
mendatar pada kurva O2-Hb membentuk batas-batas yang aman bagi darah
dalam kaitannya dengan kemampuan mengangkut O2.
PO2 arteri dapat
berkurang akibat penyakit paru yang disertai ventilasi yang tidak adekuat atau
pertukaran gas atau akibat gangguan sirkulasi yang menyebabkan aliran darah ke
paru tidak adekuat. Pada orang sehat, PO2 arteri juga dapat
berkurang akibat dua akibat : (1) Berada di ketinggian, tempat tekanan atmosfer
total (dan, dengan demikian PO2) udara inspirasi berkurang, atau (2)
Berada di lingkungan setinggi permukaan laut yang kurang mengandung O2,
misalnya pada saat seseorang secara tidak sengaja terkunci di dalam sebuah
kubah. Kecuali apabila PO2 turun drastis (turun di bawah 60 mmHg)
baik pada keadaan patologis maupun akibat lingkungan yang abnormal, jumlah O2
yang diangkut ke jaringan tetap dapat mendekati normal.
Makna Bagian Curam pada Kurva O2-Hb.
Bagian curam pada kurva antara 0 dan 60 mmHg terletak pada rentang PO2
darah yang terdapat di kapiler sistemik, tempat O2 dibebaskan dari
Hb. Dalam kapiler sistemik, darah melakukan keseimbangan dengan sel-sel
jaringan di sekitarnya pada PO2 rata-rata 40 mmHg. Perhatikan di
Gambar 13-29 bahwa pada PO2 40 mmHg % saturasi Hb adalah 75%. Darah
sampai ke kapiler jaringan dengan PO2 100 mmHg dan % saturasi Hb
97,5%. Karena Hb hanya dapat mengalami saturasi 75% pada PO2 40 mmHg
di kapiler sistematik, hampir 25% HbO2 harus berdisosiasi,
menghasilkan Hb tereduksi dan O2. O2 yang dibebaskan ini
berdifusi mengikuti penurunan gradient tekanan parsial dari sel darah merah
melalui plasma dan cairan interstisium ke dalam sel jaringan.
Hemoglobin di dalam darah vena yang
kembali ke paru 75% masih tersaturasi. Apabila sel jaringan melakukan
metabolism secara lebih aktif, PO2 darah kapiler sistemik akan turun
(sebagai contoh, dari 40 mmHg menjadi 20 mmHg) karena sel-sel mengkonsumsi O2
secra lebih cepat. Perhatikan pada kurva, penurunan PO2 sebesar 20
mmHg ini menurunkan % saturasi Hb dari 75% menjadi 30%; jadi sekitar 45% lebih
banyak dari total HbO2 yang normal memberikan O2-nya
untuk digunakan oleh jaringan. Penurunan normal PO2 sebesar 60 mmHg
dari 100 mmHg menjadi 40 mmHg di kapiler sistemik menyebabkan sekitar 25% dari
total HbO2 membebaskan O2-nya. Sebagai perbandingan
penurunan, lebih jauh PO2 hanya sebesar 20% menyebabkan tambahan 45%
dari HbO2 total melepaskan O2-nya karena tekanan parsial
O2 dalam rentang ini beroperasi pada bagian yang curam dari
kurva. Dalam rentang ini, penurunan
sedikit saja PO2 sistemik dapat secara otomatis menyediakan sejumlah
besar O2 untuk dengan segera memenuhi kebutuhan jaringan yang
melakukan metabolism lebih aktif. Pada
saat berolahraga sampai sebanyak 80% Hb mengkin melepaskan O2-nya
kepada sel yang secara aktif bermatabolisme. Pada saat berolahraga selain
terjadi pelepasan lebih banyak O2 dari darah, juga terjadi
peningkatan ketersediaan O2 bagi sel-sel yang aktif melakukan
metabolisme, misalnya otot, akibat penyesuaian-penyesuaian sirkulasi dan pernapasan
yang menyebabkan peningkatan kecepatan aliran darah beroksigen ke
jaringan-jaringan yang efektif tersebut.
7.1. Dengan Bertindak
sebagai Depot Penyimpanan, Hemoglobin Mendorong Transfer Netto O2
Dari Alveolus ke Darah
Sampai saat ini kita belum
mengklarifikasi peran Hb dalam pertukaran gas. Karena PO2 darah
semata-mata bergantung pada konsentrasi O2 yang terlarut, kita dapat
mengabaikan O2 yang terikat ke Hb dalam diskusi sebelumnya mengenai
perpindahan O2 dari alveolus ke darah oleh gradien PO2.
Akan tetapi, Hb memang berperan penting dalam memungkinkan perpindahan sejumlah
besar O2 sebelum PO2 darah seimbang dengan jaringan di
sekitarnya seperti pada Gambar 7.1.1 Hb melakukannya dengan
bertindak sebagai “depot penyimpanan” untuk O2, menyingkirkan O2
dari larutan segera setelah O2 memasuki darah dari alveolus. Karena
hanya O2 yang larut yang berperan menentukan PO2, O2
yang tersimpan di Hb tidak ikut menentukan PO2. Pada saat darah vena
sistemik masuk ke kapiler paru, PO2-nya jauh lebih rendah dari PO2
alveolus, sehingga O2 segera berdifusi ke dalam darah dan
meningkatkan PO2 darah. Segera setelah PO2 darah
meningkat, persentase Hb yang dapat
mengikat O2 juga meningkat, seperti dinyatakan dalam kurva O2-Hb. Akibatnya, sebagian besar O2
yang berdifusi ke dalam darah berikatan dengan Hb dan tidak lagi menentukan
PO2 darah. Pada saat O2 disingkirkan dari larutan karena
berikatan dengan Hb, PO2 darah turun ke tingkat yang kira-kira sama
dengan waktu masuk ke paru, walaupun jumlah total O2 dalam darah
sebenarnya sudah meningkat. Karena PO2 darah kembali lebih rendah
dari PO2 alveolus, lebih banyak O2 yang berdifusi dari
alveolus ke dalam darah untuk kembali di serap oleh Hb.
Gambar 7.1.1
Hemoglobin Mempermudah Perpindahan Netto
Sumber: Sherwood. 2001: 443
Walaupun kita menganggap bahwa
proses ini berlangsung secara bertahap agar mudah dimengerti, difusi netto O2
dari alveolus ke darah berlangsung secara kontinu sampai Hb tersaturasi sejenuh
mungkin pada PO2 tertentu tersebut. Pada PO2 normal
sebesar 100 mmHg, Hb 97,5% tersaturasi. Jadi, dengan menyerap O2Hb
menjadi PO2 darah tetap rendah dan memperpanjang adanya gradien
tekanan parsial, sehingga dapat berlangsung perpindahan netto O2
dalam jumlah besar ke dalam darah. Baru setelah Hb tidak lagi dapat menyimpan O2
(yaitu Hb mengalami saturasi maksimum pada PO2 tersebut) semua O2
yang masuk ke dalam darah tetap terlarut dan menentukan PO2 secara
langsung. Pada saat inilah PO2 darah cepat seimbang dengan PO2
alveolus, tidak dapat terjadi perpindahan O2 lagi, tanpa
memperhitungkan seberapa banyak atau sedikit O2 total yang telah
dipindahkan.
Situasi yang sebaliknya berlaku di
tingkat jaringan. Karena PO2 darah yang masuk ke kapiler darah
sistemik lebih tinggi daripada PO2 jaringan disekitarnya, O2
segera berdifusi dari darah ke dalam jaringan, sehingga PO2 darah
turun. Pada saat PO2 darah turun, Hb dipaksa untuk melepaskan
sebagian O2 simpanannya karena
% saturasi Hb menurun. Ketika O2 yang dilepaskan oleh Hb
larut dalam darah, PO2 darah meningkat dan kembali lebih tinggi
daripada PO2 jaringan di sekitarnya. Hal ini mendorong perpindahan O2
lebih lanjut keluar dari darah, walaupun sebenarnya jumlah total O2
dalam darah sudah berkurang. Hanya setelah Hb tidak lagi mampu melepaskan O2
ke dalam larutan (sewaktu Hb melepaskan O2 sebanyak mungkin yang
diperbolehkan pada PO2 di kapiler sistemik) PO2 darah
baru dapat menjadi serendah PO2 jaringan di sekitarnya. Pada saat
ini, perpindahan lebih lanjut O2 terhenti. Hemoglobin, karena
mangandung sejumlah besar simpanan O2 yang dapat dibebaskan apabila
terjadi sedikit penurunan PO2 di tingkat kapiler sistemik,
memungkinkan pemindahan O2 dari darah ke dalam sel dalam jumlah yang
jauh lebih besar dibandingkan dengan apabila tidak terdapat Hb.
Dengan demikian Hb berperan penting
menentukan jumlah total O2 yang dapat di serap oleh darah di paru
dan diserahkan ke jaringan. Jika kadara Hb berkurang sampai separuh dari
normal, misalnya pada pasien anemia berat, kapasitas darah mengangkut O2
berkurang 50% walaupun PO2 arteri tetap normal 100 mmHg dengan
saturasi Hb 97,5%. Hemoglobin yang tersedia untuk mengalami saturasi hanya
separuh dari normal, yang menekankan sekali lagi betapa pentingnya keberadaan
Hb dalam menentukan jumlah total O2 yang dapat diserap di paru dan
diserahkan ke jaringan.
7.2. Peningkatan CO2,
Keasaman, Suhu, dan 2,3 Difosfogliserat
Menggeser Kurva Disosiasi O2 Hb ke Kanan
Walaupun faktor utama yang
menentukan % saturasi Hb adalah PO2 darah, faktor-faktor lain dapat
mempengaruhi afinitas, atau kekuatan ikatan, antara Hb dan O2-Hb
(yaitu, perubahan % saturasi Hb pada PO2 tertentu). Faktor-faktor
tersebut adalah CO2, keasaman, suhu, dan 2,3-difosfogliserat, yang
akan kita bahas secara terpisah. Kurva disosiasi O2-Hb adalah kurva
tipikal yang kadar keasaman dan CO2 arteri normal, suhu tubuh, dan
konsentrasi 2,3-difosfogliserat yang normal.
Peningkatan PcO2
menggeser kurva disiosasi O2-Hb ke kanan seperti pada
Gambar 7.2.1 Persen saturasi Hb
masih bergantung pada PO2, tetapi untuk setiap PO2,
jumlah O2 dan Hb yang dapat berikatan menurun. Efek ini penting karena, PcO2
darah meningkat di kapiler sistemik ketika CO2 berdifusi mengikuti
penurunan gradiennya dari sel ke dalam darah. Adanya tambahan CO2
dalam darah ini menyebabkan penurunan afinitas Hb terhadap O2,
sehingga Hb lebih banyak membebaskan O2 di jaringan dibandingkan
dengan jika faktor satu-satunya yang mempengaruhi % saturasi Hb adalah
penurunan PO2 di kapiler sistemik.
Gambar 7.2.1
Efek Peningkatan PcO2, H+, Suhu, 2,3-Difosfogliserat, dan
Karbon Monoksida pada Kurva O2-Hb
Sumber: Sherwood. 2001: 444
Peningkatan keasaman juga menggeser
kurva ke kanan. Karena CO2 menghasilkan asam karbonat (H2CO3),
darah menjadi lebih asam tingkat kapiler sistemik karena menyerap CO2
dari jaringan. Penurunan afinitas Hb terhadap O2 akibat peningkatan
keasaman ini membantu meningkatkan jumlah O2 yang dibebaskan di
tingkat jaringan pada PO2 tertentu. Pada sel-sel yang aktif
melakukan metabolism, misalnya otot yang sedang bekerja, tidak saja CO2
penghasil asam yang diproduksi, tetapi juga asam laktat jika sel-sel tersebut menggunakan
metabolisme anaerob. Akibatnya terjadi peningkatan local asam di otot tersebut
yang selanjutnya mempermudah pembebasan O2 di jaringan yang sangat
membutuhkan O2 tersebut.
Pengaruh CO2 dan asam
pada pembebasan O2 dari Hb dikenal sebagai efek Bohr. Baik CO2
maupun komponen ion hydrogen (H+) asam mampu berikatan secara
reversible dengan Hb pada tempat diluar tempat ikatan O2. Hasilnya
adalah perubahan struktur molekul Hb yang menurunkan afinitasnya terhadap O2.
Dengan cara serupa, peningkatan suhu
menggeser kurva O2-Hb ke kanan, menyebabkan lebih banyak O2
yang disebabkan untuk PO2 tertentu. Otot yang berolahraga atau sel
lain yang aktif bermetabolisme menghasilkan panas. Peningkatan lokal suhu yang
terjadi meningkatkan pembebasan O2 dari Hb untuk digunakan oleh
jaringan yang lebih aktif.
Dengan demikian, peningkatan CO2,
keasaman, dan suhu di tingkat jaringan, yang kesemuanya berkaitan dengan
peningkatan metabolism sel dan peningkatan konsumsi O2, meningkatkan efek penurunan PO2 dalam
mempermudah pembebasan O2 dari Hb. Efek ini sebagian besar
dihilangkan di tingkat paru, tempat kelebihan CO2 pembentuk asam
tersebut dikeluarkan dan lingkungan local lebih dingin. Dengan demikian, Hb
memiliki afinitas yang lebih besar untuk
O2 di lingkungan kapiler paru, sehingga efek peningkatan PO2
pada pengikatan O2 dengan Hb meningkat.
Perubahan-perubahan diatas
berlangsung di lingkungan sel darah merah, tetapi suatu faktor didalam sel
darah merah juga dapat mempengaruhi tingkat pengikatan O2-Hb: 2,3-Difosfogliserat
(DPG). Konstituen eritrosit ini, yang dihasilkan selama metabolism sel darah
merah, dapat berikatan secara reversible dengan Hb dan mengurangi afinitasnya
terhadap O2, seperti yang dilakukan CO2 dan H+.
dengan demikian, peningkatan kadar DPG,
seperti faktor-faktor lainnya, menggeser
kurva Hb-O2 ke kanan, meningkatkan pembebasan O2 pada
saat darah mengalir ke jaringan. Produksi DPG oleh sel darah arteri terus
menerus berada dalam keadaan tidak jenuh (unsaturated)
– yaitu apabila HbO2 arteri di bawah normal. Keadaan ini dapat
terjadi pada orang-orang yang tinggal di tempat tinggi atau mereka yang
mengidap jenis-jenis tertentu penyakit-penyakit sirkulasi, pernapasan, atau
anemia. Dengan mendorong pembebasan O2 dari Hb di tingkat jaringan, peningkatan
DPG ini membantu mempertahankan ketersediaan O2 untuk digunakan oleh
jaringan pada keadaan-keadaan yang berkaitan dengan penurunan pasokan O2
arteri. Akan tetapi, tidak seperti faktor lain. DPG terdapat pada sel darah
merah di seluruh system sirkulasi dan,
dengan demikian, menggeser kurva ke kanan dengan derajat yang sama baik di
jaringan perifer maupun di paru. Akibatnya, DPG menurunkan kemampuan Hb
menyerap O2 di tingkat paru, yang merupakan sisi negative dari
peningkatan produksi DPG.
7.3. Tempat Pengikatan
Oksigen di Hemoglobin Memiliki Afinitas Paling Besar untuk Karbon Monoksida
dibandingkan untuk O2
Karbon
monoksida (CO) dan O2 bersaing untuk menempati tempat pengikatan
yang sama di Hb, tetap afinitas Hb terhadap CO2 adalah 240 kali lebih
kuat dibandingkan dengan kekuatan ikatan antara Hb dan O2. Ikatan CO
dan Hb dikenal sebagai Karboksihemoglobin (HbCO). Karena Hb lebih cenderung ke
berikatan dengan CO, keberadaan CO walaupun sedikit dapat mengikat Hb dalam
jumlah yang relatif besar, sehingga tidak tersedia Hb untuk mengangkut O2.
Walaupun konsentrasi Hb dan PO2 normal, kandungan O2
darah sangat berkurang. Apabila CO yang ada cukup banyak sel-sel akan mati
akibat kekurangan O2. Selain toksisitas CO, adanya HbCO menggeser
kurva O2-Hb ke kiri; Hb pengikat O2 yang jumlahnya sudah
terbatas tidak mampu membebaskan O2 di tingkat jaringan untuk PO2
tertentu.
Untungnya, CO bukan merupakan
konstituen norma dalam udara inspirasi. CO merupakan gan beracun yang di
hasilkan selama pembakaran (kombustio) tidak sempuna ptoduk-produk karbon,
misalnya bahan bakar mobil, batubara, kayu, dan tembakau. Karbon moniksida
sangat berbahaya karena bekerja secara tersamar (tersembunyi). Apabila dalam
suatu ruangan tertutup diproduksi CO, sehingga konsentrasinya terus meningkat
(sebagai contoh, di dalam mobil yang sedang di parker dengan mesin hidup dan
jendela tertutup), CO tersebut dapat mencapai kadar mematikan tanpa disadari
oleh korbannya. Karbon monoksida tidak dapat dideteksi karena tidak berbau,
tidak berwarna tidak berasa dan tidak mengiritasi. Selain itu, karena alas
an-alasan yang akan di terangkan kemudian, karbon tidak merasa sesak napas,
sehinnga tidak berusaha meningkatkan ventilasi, walaupun sel-sel tubuhnya
kekurangan O2.
7.4. Sebagian Besar CO2
diangkut di Darah sebagai Bikarbonat
Sewaktu darah arteri
mengalir melalui kapiler jaringan, CO2 berdifusi mengikuti penurunan
gradient tekanan parsialnya dari jaringan ke dalam darah. Karbon dioksida
diangkut dalam darah dengan tiga cara: (1) terlarut secara fisik, (2) terikat
ke Hb, dan (3) sebagai bikarbonat seperti pada Gambar 7.4.1
Gambar 7.4.1
Transportasi Karbon-Dioksida di dalam Darah
Sumber: Sherwood. 2001: 444
Seperti O2 yang larut,
jumlah CO2 yang secara fisik larut dalam darah bergantung pada PO2.
Karena dalam darah CO2 lebih larut daripada O2, proporsi
CO2 total dalam darah yang secara fisik larut lebih besar
dibandingkan dengan O2. Walaupun demikian, hanya 10% dari kandungan CO2 total darah
diangkut dengan cara ini pada kadar PcO2 vena sistematik normal.
Tiga puluh persen CO2
lainnya berikatan dengan Hb untuk membentuk karbamino hemoglobin (HbCO2).
Karbon dioksida berikatan dengan dengan bagian bagian globin dari Hb, berbeda
dengan O2 yang berikatan dengan bagaian hem. Hb tereduksi memiliki
afinitas yang lebih besar untuk CO2
daripada HbO2. Dengan demikian, pembebasan O2 dari Hb di
kapiler jaringan mempermudah Hb menyerap CO2.
Sejauh ini cara terpenting untuk
mengangkut CO2 adalah sebagai bikarbonat (HCO3), yaitu
60% CO2 diubah menjadi HCO3 oleh reaksi kimia berikut,
yang berlangsung di dalam sel darah merah:
Karbonat
anhidrase
CO2 + H2O
H2CO3 H+ + HCO3-
Pada
langkah pertama, CO2 berikatan dengan H2O untuk membentuk
asam karbonat (H2CO3). Reaksi ini dapat
berlangsung dengan semangat lambat di plasma, tetapi berlangsung
cepat di dalam sel darah merah karena adanya enzim eritrosit karbonat anhidrase
yang mengkatalisasi (mempercepat) reaksi. Seperti asam-asam lainnya, sebagian
dari molekul-molekul asam karbonat secara spontan terurai menjadi ion hydrogen
(H+) dan ianbikarbonat (HCO3). Dengan demikian, suatu
atom karbon dan dua atom oksigen dari molekul CO2 smula terdapat
dalam darah sebagai bagian integral dari HCO3- lebih
mudah larut dalam darah dibandingkan dengan CO2.
Ketika reaksi ini berlanjut, HCO3-
dan H+ mulai terakumulasi di dalam sel darah merah di kapiler
sistemik. Membran sel darah merah memiliki pembawa HCO3- -
Cl- yanf secra pasif mempermudah difusi ion-ion ini dalam arah
berlawanan menembus membran. Membran relatif impermiabel terhadap H+.
akibatnya, HCO3- berdifusi mengikuti penurunan gradien
konsentrasinya ke luar eritrosit untuk masuk ke dalam plasma tanpa diikuti oleh
H+. karenan HCO3- yang tindak disertai aliran
keluar ion bermuatan positif yang setara menciptakan gradient listrik. Ion
klorida (Cl-), anion dominan di plasma, berdifusi ke dalam sel darah
merah mengikuti gradien listrik ini untuk memulihkan kenetralan listrik.
Pergeseran masuk Cl- sebagai penukar aliran keluar HCO3-
yang dibentuk dari CO2 ini dikenal sebagai Pergeseran Klorida (Cl-
chloride shift).
Sebagian besar H+ yang
terakumulasi didalam eritrosit, setelah disiosasi H2CO3,
akan terikat ke Hb seperti pada CO2, Hb tereduksi memiliki afinitas
yang lebih besar terhadap H+ dibandingkan HbO2. Dengan
demikian, pembebasan O2 juga memerlukan Hb menyerap H+
yang dibentuk dari CO2. Karena hanya H+ yang tidak larut
menentukan keasaman suatu larutan, darah vena akan jauh lebih asam daripada
darah arteri kalau saja tidak ada Hb yang menyerap sebagaian besar H+
yang dihasilkan di tingkat jaringan.
Kenyataan bahwa pengeluaran O2
dari Hb meningkatkan kemampuan Hb untuk menyerap CO2 dan H+
yang di hasilkan oleh CO2 dikenal sebagai efek Haldane. Efek Haldane
dan efek Bohr bekerja secara sinkron untuk mempermuda pembebasan O2
dan penyerapan CO2 dan H+ yang dihasilkan oleh CO2
di tingkat jaringan. Peningkatan CO2 dan H+ menyebabkan
peningkatan O2 yang di bebaskan dari Hb melalui efek Bohr,
peningkatan pengeluaran O2 dan Hb, pada gilirannya menyebabkan
peningkatan penyerapan CO2 dari H+ dan Hb melalui efek
Haldane. Keseluruhan proses berlangsung sangat efisien. Hb tereduksi harus
diangkut kembali ke paru untuk diisi ulang oleh O2. Sementara itu,
setelah O2 dibebaskan, Hb mengangkut penumpang baru – CO2
dan H+ - yang memiliki tujuan yang sama yaitu paru.
7.5.
Berbagai
keadaan pernapasan ditandai oleh kelainan kadar gas darah.
Hipoksida mengacu kepada
insufisiensi O2 di tingkat sel adalah kumpulan istilah yang
digunakan untuk menjelaskan berbagai keadaan yang berkaitan dengan kelainan
pernapasan). Terdapat empat kategori Hipoksida :
1. Hipoksida hipoksik
ditandai oleh rendahnya PO2 darah arteri disertai dengan kurangnya
saturasi Hb. Hal ini disebabkan oleh (a) malfungsi pernapasan yang melibatkan
gangguan pertukaran gas, di tandai oleh PO2 alveolus normal, tetapi
PO2 arteri berkurang, atau (b) berada di ketinggian atau di
lingkungan tersekap dengan PO2 atmosfer yang berkurang, sehingga PO2
alveolus dan arteri juga berkurang.
2. Hipoksida anemik
mengacu kepada penurunan kapasitas darah mengangkut O2. Hal ini
dapat ditimbulkan oleh (a) penurunan sel darah merah dalam sirkulasi, (b)
Jumlah Hb yang tidak adekuat di dalam sel darah merah atau (c) keracunan CO.
pada semua kasus hiposia anemic, Po2 arteri normal, tetapi kandungan
O2 darah arteri lebih rendah dari normal karena berkurangnya Hb yang
tersedia.
3. Hipoksida sirkulasi
muncul jika darah beroksigen yang sampai ke jaringan sangat sedikit (kurang).
Hipoksia sirkulasi darah terbatas pada daerah tertentu akibat spasme atau
sumbatan vaskuler local. Di pihak lain, tubuh secara keseluruhan dapat
meengalami hipoksia sirkulasi akibat gagal jantung kongesif atau syok
sirkulasi. Po2 dan kandungan O2 arteri biasanya normal,
tetapi darah beroksigen yang mencapai sel terlalu sedikit.
4. Hipoksida histotoksik
penyaluran O2 ke jaringan normal, tetapi sel-sel tidak mampu
menggunakan O2 yang tersedia untuk mereka, contoh klasik ialah
keracunan sianida. Sianida menghambat enzim-enzim sel yang penting untung respirasi
internal.
Hiperoksia,
Po2 arteri di atas normal, tidak dapat terjadi apabila seseorang
menghirup udara atmosfir di ketinggian permukaan laut. Akan tetapi menghirup
udara yang mengandung tambahan O2 dapat meningkatkan Po2
alveolus dan Po2 arteri. Karena persentase O2 dalam udara
inspirasi lebih besar, persentase tekanan total yang ditimbulkan oleh tekanan
parsial O2 dalam udara inspirasi juga meningkat, sehingga lebih
banyak O2 yang larut dalam darah sebelum Po2 arteri
seimbang dengan Po2 alveolus. Walaupun Po2 arteri
meningkat, kandungan O2 darah total tidak meningkat secara bermakna
karena Hb hampir mengalami saturasi penuh pada Po2 arteri normal.
Namun, pada penyakit paru tertentu yang berkaitan dengan penurunan Po2
arteri menghirup udara yang mengandung tambahan O2 dapat bermanfaat
untuk menciptakan gradien alveolus-ke darah yang lebig besar sehingga PO2
arteri membaik. Di lain pihak Po2 arteri yang sangat meningkat
bukannya menguntungkan, tetapi dapat berbahaya. Jika Po2 arteri
terlalu tinggi, dapat terjadi keracunan (toksisitas) oksigen. Walaupun
kandungan O2 total darah hanya sedikit meningkat, sebagian sel dapat
mengalami kerusakan akibat pajanan Po2 yang tinggi. Kerusakan otak
dan retina yang menimbulkan kebutaan merupakan masalah yang berkaitan dengan
toksisitas O2. Dengan demikian terapi O2 harus diberikan
secara hati-hati.
Hiperkapnia
mengacu pada kelebihan Co2 dalam darah arteri; hal ini disebabkan
oleh hipoventilasi (ventilasi yang tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhanmetabolik untuk penyaluran O2 dan pembuangan CO2).
Pada sebagian besar penyakit paru, terjadi penimbunan CO2 dalam
darah arteri disertai defisit O2, karena pertukaran O2
dan CO2 antara paru dan udara atmosfir sama-sama terpengaruh seperti
pada Gambar 7.5.1 Namun, apabila
penurunan Po2 darah arteri disebabkan oleh penurunan kapasitas difusi
paru, misalnya pada edema paru atau emfisema, pertukaran O2 lebih terpengaruh
daripada pertukaran CO2 karena koefisien difusi untuk CO2
dua puluh kali lebih besar daripada koefisien difusi O2. Akibatnya,
pada keadaan-keadaan ini hipoksia hipoksik lebih mudah terjadi daripada
hiperkapnia.
Gambar
7.5.1 Efek Hipoventilasi
dan Hiperventilasi pada Po2 dan PCO2 Arteri
Sumber: Sherwood. 2001:
447
Hipokapnia,
Po2 arteri di bawah normal, ditimbulkan oleh hiperventilasi terjadi
apabila seorang “bernapas berlebihan”, yaitu pada saat kecepatan ventilasi
metabolik tubuh untuk pengeluaran CO2, sehingga lebih banyak CO2
yang dikeluarkan ke atmosfir di bandingkan dengan yang diproduksi di jaringan dan Po2
arteri turun. Hiperventilasi dapat dipicu oleh keadaan cemas, demam, dan
keracunan aspirin. Po2 alveolus meningkat selama hiperventilasi
karena lebih banyak O2 yang segar sampai ke alveolus dari atmosfer
daripada yang diekstrasi dari alveolus oleh darah untuk dikonsumsi jaringan,
dan dengan demikian Po2 arteri meningkat. Namun karena Hb hampir
mengalami saturasi penuh pada Po2 arteri normal, hanya sedikit O2
yang ditambahkan ke darah. Kecuali sedikit peningkatan jumlah O2
yang larut, kandungan O2 darah pada dasarnya tidak berubah selama
hiperventilasi.
Peningkatan
ventilasi tidak sama dengan (bukan sinonim) hiperventilasi. Peningkatan
ventilasi yang menyamai peningkatan kebutuhan metabolic, misalnya peningkatan
kebutuhan penyaluran O2 dan pembuangan Co2 pada saat
bnerolahraga, disebut hiperpnu. Selama berolahraga Po2 dan PCO2
alveolus tetap konstan dengan peningkatan pertukaran atmosfer hanya untuk
menyamai peningkatan konsumsi O2 dan produksi CO2.
Konsekuensi
penurunan ketersediaan O2 ke jaringan selama hipoksia tampak jelas.
Sel-sel membutuhkan pasokan O2 yang adekuat untuk mempertahankan
aktivitas metabolic pembentuk energi.
Konsekuensi kadar CO2 darah yang abnormal tidak terlalu
jelas. Perubahan konsentrasi CO2 dalam darah terutama mempengaruhi
keseimbangan asam-basa. Hiperkapnia menyebabkan peningkatan produksi asam
karbonat. Hal tersebut menyebabkan peningkatan pembentukan H+ yang
kemudian menimbulkan kondisi asam (asidio)
yang disebut asidosis respiratorik, sebaliknya pada hipokapnia jumlah H+
yang dihasilkan melalui pembentukan asam karbonat berkurang. Keadaan alkalotik
(kurang asam dibandingkan normal) yang terjadi disebut alkalosis respiratorik.
8.
Kontrol
Pernapasan
8.1. Pusat Pernapasan di
Batang Otak Menentukan Pola Bernapas Ritmik
Bernapas,
seperti denyut jantung, harus berlangsung dalam pola siklik dan kontinu agar
proses kehidupan dapat terus berjalan. Otot jantung harus berkontraksi dan
berelaksasi secara berirama untuk secara bergantian mengosongkan darah dari
jantung dan mengisinya kembali. Demikian juga oto-otot pernapasan harus secara
berirama berkontraksi dan berelaksasi agar udara dapat masuk dan keluar paru
secara bergantian. Kedua aktivitas berlangsung secara otomatis tanpa usaha
sadar.
Mekanisme
yang mendasari dan kontrol terhadap kedua sistem ini sangat berbeda. Jantung
mampu menghasilkan iramanya sendiri melalui aktifitas pemacu intrinsik,
sedangkan otot pernapasan karena merupakan otot rangka, membutuhkan rangsangan
saraf agar berkontraksi. Pola ritmik bernapas diciptakan oleh aktivitas saraf
siklis ke otot-otot pernapasan. Dengan kata lain, aktivitas pemacu yang
menciptakan ritmisitas bernapas terletak di pusat kontrol pernapasan diotak,
bukan di paru atau otot pernapasan itu sendiri. Persarafan ke jantung, hanya
berfungsi untuk memodifikasi kecepatan dan kekuatan kontruksi jantung.
Sebaliknya pernafasan ke sistem pernapasan merupakan kebutuhan mutlak untuk
mempertahankan pernapasan dan untuk secara refleks menyesuaikan tingkat
ventilasi untuk memunuhi kebutuhan penyerapan O2 dan pengeluaran CO2
yang terus berubah-ubah. Selain itu, tidak seperti aktifitas jantung, yang
tidak berada dibawah kontrol kesadaran, aktivitas pernapasan dapat dimodivikasi
secara sengaja untuk berbicara, berbunyi, bersiul, memainkan instrument tiup,
atau menahan napas ketika berenang.
Kontrol
saraf atas pernapasan melibatkan tiga komponen terpisah: (1) faktor-faktor yang
bertanggung jawab untuk menghasilkan irama inspirasi/ekspirasi berganti-ganti,
(2) faktor-faktor yang mengatur kekuatan ventilasi (yaitu kecepatan dan
kedalaman bernapas) agar sesuai dengan kebutuhan tubuh, dan (3) faktor-faktor
yang memodifikasi aktifitas pernapasan untuk memenuhi tujuan lain. Modifikasi
yang terakhir dapat bersifat volunteer, misalnya kontrol bernapas pada saat
berbicara, atau involunter, misalnya manuver pernapasan yang terjadi pada saat
batuk atau bersin.
Pusat
kontrol pernapasan yang terletak di batang otak bertanggung jawab untuk
menghasilkan pola bernapas yang berirama. Pusat kontrol pernapasan primer,
pusat pernapasan medulla (medullary
respiratory center), terdiri dari beberapa agregat badan sel saraf di dalam
medula yang menghasilkan keluaran ke otot pernapasan. Selain itu, terdapat dua
pusat pernapasan lain yang lebih tinggi di batang otak pons-pusat apnustik dan
pusat pneumataksik. Pusat-pusat di pons ini mempengaruhi keluaran dari pusat
pernapasan medulla seperti pada Gambar 8.1.1.
Gambar 8.1.1.
Pusat Kontrol Pernapasan di Batang Otak
Sumber: Sherwood. 2001: 449
Neuron
Inspirasi dan Ekspirasi di Pusat Medula. Dalam keadaan tenang, kita bernapas
secara berirama karena kontraksi dan relaksasi berganti-ganti oto-otot
pernapasan, yaitu diafragma dan otot antariga eksternal, yang masing-masing
dipersarafi oleh saraf frenikus dan saraf interkostalis. Badan sel dari serat-serat
saraf yang membentuk saraf-saraf tersebut terletak di korda spinalis. Impuls
yang berasal dari pusat medulla berakhir di badan sel neuron motorik ini
seperti pada Gambar 8.1.2. Pada saat diaktifkan,
neuron-neuron motorik ini kemudian merangsang otot-otot pernapasan, sehngga
terjadi inspirasi; sewaktu neuron-neuron ini tidak aktif, otot-oton inspirasi
melemas dan terjadi ekspirasi.
Gambar 8.1.2.
Kontrol Inspirasi oleh DRG
Sumber: Sherwood. 2001: 449
Pusat
pernapasan medulla terdiri dari dua kelompok neuron yang dikenal sebagai
kelompok pernapasan dorsal dan kelompok pernapasan ventral. Kelompok Respirasi
Dorsal (dorsal respiratory group, DRG)
terutama terdiri dari neuron inspirasi yang serat-serat desendensnya berakahir
di neuron motorik yang mempersarafi otot-otot inspirasi. Neuron-neuron
inspirasi ini diperkirakan memperlihatkan aktivitas pemacu dan secara
repetitive mengalami potensial aksi spontan seperti nodus SA di jantung. Pada
saat neuron-neuron inspirasi DRG membentuk potensial aksi, terjadi inspirasi;
ketika mereka berhenti melepaskan muatan. Dengan demikian, DRG pada umumnya
dianggap sebagai penentu irama dasar ventilasi. Namun, kecepatan neuron
inspirasi membentuk potensial aksi dipengaruhi oleh masukan sinaptik dari
daerah-daerah lain di otak dan dari bagian tubuh lainnya. Dengan demikian,
sifat on-off siklus pernapasan
kompleks karena interaksi DRG dengan daerah-daerah lain tersebut.
DRG
memiliki interkoneksi penting dengan kelompok respirasi ventral (ventral respiratory group, VRG). VRG terdiri
dari neuron inspirasi dan neuron ekspirasi, yang keduanya tetap inaktif selama
bernapas tenang. Daerah ini doiaktifkan oleh DRG sebagai mekanisme “overdrive” (penambahan kecepatan) selama
periode pada saat kebutuhan akan ventilasi meningkat. VRG terutama penting pada
ekspirasi aktif. Selama bernapas tenang tidak ada impuls yang dihasilkan di
jalur-jalur desendens dari neuron ekspirasi. Hanya selama ekspirasi aktif
neuron-neuron ekspirasi merangsang neuron motorik yang mempersarafi otot
ekspirasi (otot abdomen dan antariga internal). Selain itu, neuron inspirasi
VRG, apibila dirangsang oleh DRG, memacu aktifitas inspirasi saat kebutuhan
akan ventilasi meningkat.
Pengaruh
Pusat Pneumatik dan Apnustik. Pusat-pusat di pons menghasilkan pengaruh “fine tuning” pada pusat medulla untuk
membantu menghasilkan inspirasi dan ekspirasi yang normal dan mulis. Pusat
pneumotaksik mengirim impuls ke DRG yang membantu mematikan (switch off) neuron inspirasi, sehingga
durasi inspirasi dibatasi. Sebaliknya, pusat apnustik mencegah neuron inspirasi
dari proses switch off, sehingga
menambah dorongan inspirasi. Pada sistem check-and-balance
ini, pusat pneumotaksik lebih dominan daripada pusat apnustik, membantu
inspirasi berhenti dan memungkinkan ekspirasi berlangsung normal. Tanpa rem
pneumotaksik, pola bernapas akan berupa inspirasi berkepanjangan yang mendadak
berhenti karena diselang-selingi oleh ekspirasi. Pola bernapas abnormal ini
disebut apnusis; dengan demikian, pusat yang bertanggung jawab untuk pola
bernapas ini adalah pusat apnustik. Apnusis dapat terjadi pada kerusakan otak
jenis tertentu yang parah.
Refleks
Hering-Breuer. Apabila tidal volume besar (lebih dari 1 liter), misalnya ketika
berolahraga, reflex Hering-Breuer dipicu untuk mencegah pengembangan paru berlebihan.
Reseptor regang paru (pulmonary stretch
reflex) yang terletak didalam lapisan otot polos saluran pernapasan
diaktifkan oleh peregangan paru jika tidal volume besar. Potensial aksi dari
reseptor-reseptor regang ini berjalan melalui serat saraf aferen ke pusat
medulla dan menghambat neuron inspirasi. Umpan balik negative dari paru yang
sangat teregang ini membantu menghentikan inspirasi sebelum paru mengalami
pengembangan berlebihan.
8.2. Konsentrasi Ion
Hydrogen yang Dihasilkan oleh Karbon Dioksida Di Cairan Ekstrasel Otak Dalam Keadaan Normal
adalah Pengatur Utama Besarnya Ventilasi
Seberapapun
banyaknya O2 yang diekstraksi dari darah atau CO2 yang
ditambahkan ke dalamnya di tingkat jaringan, Po2 dan Pco2
darah arteri sistemik yang meninggalkan paru tetap konstan, yang menunjukkan
bahwa kandungan gas darah arteri di atur secara ketat. Gas-gas darah arteri
dipertahankan dalam rentang normal secara ekslusif dengan mengubah-ubah
kekuatan ventilasi untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan penyerapan O2
dan pengeluaran CO2. Jika lebih banyak O2 yang
diekstraksikan dari alveolus dan lebih banyak CO2 yang masuk ke
darah karena jaringan lebih aktif melakukan metabolisme, ventilasi akan
meningkat untuk menyerap lebih banyak O2 segar dan mengeluarkan CO2.
Pusat
pernapasan medulla menerima masukan yang member informasi mengenai kebutuhan
tubuh akan pertukaran gas. Kemudian pusat ini berespons dengan mengirim
sinyal-sinyal yang sesuai ke neuron motorik yang mempersarafi otot-otot
pernapasan untuk menyesuaikan kecepatan dan kedalaman ventilasi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dua sinyal yang paling jelas untuk meningkatkan
ventilasi adalah penurunan Po2 arteri dan peningkatan Pco2
arteri. Secara intuitif anda akan menduga bahwa apabila kadar O2
dalam darah arteri turun atau jika terjadi akumulasi CO2, ventilasi
akan dirangsang untuk memperoleh lebih banyak O2 atau mengeliminasi
kelebihan CO2. Kedua faktor ini memang mempengaruhi tingkat
ventilasi, tetapi tidak dengan derajat yang sama dan memulai jalur yang sama.
Juga terdapat faktor ketiga, H+, yang berpengaruh besar pada tingkat
aktivitas pernapasan. Kita akan membahas peran tiap-tiap faktor kimia penting
ini dalam kontrol ventilasi seperti pada Tabel 8.2.1
Tabel
8.2.1 Pengaruh Faktor Kimia
pada Pernapasan
Faktor Kimia
|
Efek Pada Kemoreseptor
Perifer
|
Efek Pada Kemoreseptor
Sentral
|
Po2 di darah arteri
Pco2 di darah arteri
( H+ di CES otak)
H+ di darah arteri
|
Merangsang hanya jika
Po2 arteri telah turun ke titik yang mengancam nyawa (<
60mmHg); mekanisme darurat
Merangsang secara lemah
Merangsang; penting
dalam keseimbangan asam-basa
|
Secara langsung menekan
kemoreseptor sentral dan pusat pernapasan itu sendiri jika < 60 mmHg
Merangsang secara kuat;
kontrol ventilasi yang dominan (kadar >70-80mmHg secara langsung menekan
pusat pernapasan dan kemoreseptor sentral)
Tidak mempengaruhi;
tidak dapat menembus sawar darah otak
|
Peran Penurunan Po2
Arteri dalam Mengatur Ventilasi. Po2 arteri dipantau oleh
kemoreseptor perifer yang dikenal sebagai badan karotis dan badan aorta, yang
masing-masing terletak di bifurkasio (percabangan) arteri karotis komunis dan di arkus (lengkung) aorta seperti
pada Gambar 8.2.2.
Kemoreseptor yang berespons terhadap perubahan spesifik kandungan kimia darah
arteri yang membasahi mereka ini, berbeda dari baroreseptor sinus karotikus kan
arkus aorta yang terletak berdekatan. Yang terakhir, karena penting dalam
pengaturan tekanan darah arteri sistemik, memantau perubahan tekanan dan bukan
perubahan kimia.
Gambar 8.2.2.
Lokasi Kemoreseptor Perifer
Sumber: Sherwood. 2001: 451
Kemoreseptor
tidak peka terhadap penurunan biasa Po2 arteri. Po2
arteri harus turun di bawah 60 mmHg (reduksi > 40%) sebelum kemoreseptor
perifer berespons dengan mengirim impuls aferen ke neuron inspirasi medulla
untuk secara refleks meningkatkan ventilasi. Karena Po2 arteri turun
di bawah 60 mmHg hanya pada keadaan-keadaan yang tidak lazim, misalnya penyakit
paru berat atau penurunan Po2 atmosfer, Po2 arteri tidak
berperan dalam pengaturan pernapasan normal. Pada permulaan, kenyataan ini
tampaknya mengejutkan karena salah satu fungusi primer ventilasi adalah
menyediakan cukup O2 untuk diserap oleh darah. Namun, ventilasi
tidak perlu ditingkatkan sampai Po2 arteri turun di bawah 60 mmHg
karena batas keamanan % saturasi Hb yang ditimbulkan oleh bagian datar (plateau) kurva disosiasi O2-Hb.
Hemoglobin masi 90% tersaturasi pada Po2 arteri 60 mmHg, tetapi %
saturasi Hb turun drastic jika Po2 turun di bawah kadar tersebut.
Dengan demikian, stimulasi refleks pernapasan oleh kemoresptor perifer
berfungsi sebagai mekanisme darurat penting pada keadaan Po2 arteri
yang sangat rendah dan membahayakan. Memang, mekanisme refleks ini bersifat
menyelamatkan nyawa, karena Po2 arteri yang rendah cenderung secara
langsung menekan pusat pernapasan, seperti yang dilakukannya pada bagian otak
lainnya seperti pada Gambar 8.2.3.
Kecuali kemoreseptor perifer, di tingkat aktifitas di semua jaringan saraf akan
menurun jika terjadi kekurangan O2. Jika tidak terdapat intervensi
stimulus dari kemoreseptor perifer saat Po2 arteri turun sangat
rendah, terjadi lingkaran setan yang akhirnya menyebabkan pernapasan berhenti.
Penekanan langsung pusat pernapasan oleh Po2 arteri yang sangat
rendah akan semakin menurunkan ventilasi, sehingga Po2 arteri
semakin turun, yang pada gilirannya semakin menekan pusat pernapasan sampai
ventilasi berhenti dan yang bersangkutan meninggal.
Gambar 8.2.3.
Efek Peningkatan Pco2 Arteri pada Ventilasi
Sumber: Sherwood. 2001: 451
Karena
kemoreseptor perifer berespons terhadap Po2 darah, bukan kandungan O2
total, kandungan O2 dalam darah arteri dapat turun ke tingkat
atau kadar yang berbahaya bahkan fatal tanpa menimbulkan respons pada
kemoreseptor perifer. Ingatlah bahwa hanya O2 yang larut secara
fisik yang menetukan Po2 darah. Kandungan O2 total dalam
darah arteri dapat menurun pada keadaan anemia, ketika Hb pengangkut O2
berkurang, atau pada keracunan CO, pada saat Hb lebih cenderung mengikat
molekul ini daripada O2. Pada kedua keadaan tersebut, Po2
arteri normal sehingga respirasi tidak terstimulasi, walaupun penyaluran O2
ke jaringan mungkin sangat berkurang, sehingga yang bersangkutan meninggal
akibat sel-selnya kekurangan O2.
Peran
Peningkatan Pco2 Arteri dalam Mengatur Ventilasi. Berbeda dengan Po2 arteri,
yang tidak berperan dalam pengaturan pernapasan secara terus menerus
(menit-ke-menit), Pco2 arteri merupakan masukan terpenting yang
mengatur besarnya ventilasi pada keadaan istirahat. Peran ini sesuai, karena
perubahan ventilasi alveolus menimbulkan efek yang segera dan mencolok pada PCO2
arteri, sementara perubahan ventilasi kurang member efek pada % saturasi Hb dan
ketersediaan O2 ke jaringan sampai Po2 turun lebih daro
40%. Bahkan perubahan ringan Pco2 arteri akan menginduksi efek
refleks yang bermakana pada ventilasi. Peningkatan Pco2 arteri
secara refleks merangsang pusat pernapasan, yang menyebabkan Peningkatan
ventilasi yang mendorong eliminasi kelebihan CO2 ke atmosfer.
Sebaliknya, penurunan Pco2 secara refleks menurunkan dorongan untuk
bernapas. Ventilasi yang menurun selanjutnya menyebabkan CO2 yang
diproduksi melalui metabolism terakumulasi, sehingga pco2 kembali ke
tingkat normal.
Yang
mengejutkan, walaupun Pco2 arteri berperan sentral dalam mengaturesr
pernapasan, tidak ada kemoreseptor Pco2 sendiri. Badan karotis dan
aorta berespons secara lemah terhadap perubahan Pco2, sehingga keduanya
kurang berperan dalam merangsang ventilasi secara refleks sebagai respons
terhadap peningkatan Pco2 arteri. Yang lebih penting dalam kaitan
antara perubahan Pco2 arteri dan penyesuaian-penyesuaian
kompensatorik ventilasi adalah kemoreseptor sentral, yang terletak di medula di
dekat pusat pernapasan. Namun kemoreseptor sentrel ini tidak memantau CO2
itu sendiri; kemoreseptor ini peka terhadap perubahan konsentrasi H+
yang diinduksi oleh CO2 dalam cairan eksirasel (CES) yang membasahinya.
Perpindahan berbagai zat menembus kapiler otak
dibatasi oleh sawar-darah otak. Karena sawar ini mudah dilewati oleh CO2,
setiap peningkatan Pco2 arteri akan menyebabkan peningkatan serupa
Pco2 CES otak karena CO2 berdifusi mengikuti penurunan
gradient tekana dari pembuluh darah otak ke CES otak. Peningkatan Pco2 di
CES otak menyebabkan peningkatan konsentrasi H+ sesuai hukum aksi
massa yang berlaku untuk reaksi CO2 + H2O
H2CO3 H++HCO3-.
Peningkatan konsentrasi H+ di CES otak secara langsung merangsang
kemoreseptor sentral yang pada gilirannya meningkatkan ventilasi dengan
merangsang pusat pernapasan melalui hubungan sinaps seperti pada Gambar 8.2.4. Setelah kelebihan CO2
kemudian dikurangi, Pco2 arteri dan Pco2 serta
konsentrasi H+ CES otak kembali ke normal. Sebaliknya, penurunan Pco2
arteri di bawah normal akan diikuti oleh penurunan Pco2 dan H+
di CES otak, menyebabkan penurunan ventilasi melalui jalur yang diperantarai
oleh kemoreseptor sentral. Setelah CO2 yang dihasilkan oleh
metabolisme dibiarkan terakumulasi, Pco2 arteri serta Pco2
dan H+ CES otak kembali pulih ke normal.
Gambar 8.2.4.
Efek Peningkatan Pco2 Arteri pada Ventilasi
Sumber: Sherwood. 2001: 452
Tidak
seperti CO2, H+ tidak mudah menembus sawar otak, sehingga
H+ yang terdapat di plasma tidak dapat mencapai kemoreseptor
sentral. Dengan demikian, kemoreseptor sentral hanya peka terhadap H+
yang dihasilkan di dalam CES otak itu sendiri akibat masuknya CO2.
Dengan demikian, mekanisme utama yang mengomtrol ventilasi pada keadaan
istirahat secara khusus ditujukan untuk mengatur konsentrasi H+ CES
otak, yang pada gilirannya merupakan pencerminan langsung Pco2
arteri. Kecuali apabila terjadi keadaan-keadaan yang meringankan, misalnya
berkurangnya ketersediaan O2 dalam udara inspirasi, Po2
arteri secara “kebetulan” juga di pertahankan dalam nilai normalnya oleh
mekanisme ventilasi yang di dorong oleh H+ CES otak.
Pengaruh
kuat kemoreseptor sentral pada pusat pernapasan merupakan penyebab utama anda
dapat menahan napas secara sengaja lebih dari sekitar satu menit. Sementara
anada menahan napas, CO2 yang di hasilkan melalui proses metabolism
terus terus tertimbun dalam darah anda dan selanjunya meningkatkan konsentrasi
H+ di CES otak. Akhirnya, stimulus terhadap penapasan yang
ditimbulkan oleh Pco2-H+ menjadi sedemikian kuat,
sehingga masukan eksitatorik kemoreseptor sentral mengalahkan masukan
inhibitorik volunteer untuk respirasi, sehingga bernapas kembali dimulai
walaupun anda berusaha menghentikannya. Bernapas telah pulih jauh sebelum Pco2
arteri turun ke kadar yang sangat rendah yang mengancan nyawa dan memicu
kemoreseptor perifer. Dengan demikian, anda tidak dapat menahan napas untuk
menciptakan kadar CO2 yang tinggi atau kadar O2 yang
rendah di dalam arteri yang dapat mengancam nyawa.
Berbeda
dengan efek stimulatorik normal yang ditimbulkan peningkatan Pco2-H+
pada aktivitas pernapasan, kadar CO2 yang sangat tinggi secara
langsung menekan seluruh otak, termasuk pusat pernapasan, seperti kadar O2
yang sangat rendah. Sampai Pco2 70-80 mmHg, kadar Pco2
yang secara progresif meningkat akan menginduksi usaha yang semakin kuat
sebagai cara untuk mengeluarkan kelebihan CO2. Namun, peningkatan
lebih lanjut Pco2 melebihi 70-80 mmHg tidak semakin meningkatkan ventilasi,
tetapi sebenarnya menekan neuron-neuron pernapasan. Karena itu, di
lingkungan-lingkungan yang tertutup, misalnya mesin anestesi sirkuit-tertutup,
kapal selam, atau pesawat ruang angkasa, harus ditambahkan O2 dan CO2
harus dikeluarkan. Apabila tidak demikian, CO2 dapat mencapai kadar
yang mematikan, tidak saja karena efek penekanan pada pernapasan, tetapi juga
karena timbulnya asidosis respiratorik yang hebat.
Selama
hipoventilasi berkepanjangan yang disebabkan oleh jenis-jenis tertentu penyakit
paru kronik, terjadi peningkatan Pco2 bersamaan dengan penurunan
mencolok Pco2. Pada sebagian besar kasus, Pco2 yang
meningkat (bekerja melalui kemoreseptor sentral) dan Po2 yang
menurun (bekerja melalui kemoreseptor perifer) bersifat senergistik; yaitu, efek stimulatorik gabungan pada pernapasan dari
kedua faktor tersebut bersama-sama lebih besar daripada jumlah pengaruh
independen mereka. Namun sebagian pasien dengan penyakit paru kronik yang parah
kehilangan kepekaan terhadap peningkatan Pco2 arteri. Karena terjadi
peningkatan pembentukan H+ di CES otak akibat retensi CO2
berkepanjangan, cukup banyak HCO3- yang dapat melintasi
sawar darah otak untuk menyangga, atau “menetralisasi”, kelebihan H+.
Tambahan HCO3- berikatan dengan kelebihan H+,
menyingkirkannya dari larutan sehingga tidak lagi menentukan konsentrasi H+
bebas. Dengan meningkatkan konsentrasi HCO3- CES otak,
konsentrase H+ CES otak dipulihkan ke normal walaupun Pco2
arteri dan Pco2 CES otak tetap tinggi. Kemoreseptor sentral tidak
lagi menyadari adanya peningkatan Pco2 karenan H+ CES
otak normal. karena reseptor sentral tidak lagi merangsang pusat pernapasan
secara refleks sebagai respons terhadap peningkatan Pco2, pada
pasien-pasien ini dorongan untuk mengeliminasi CO2
hilang; yaitu, tingkat ventilasi mereka terlalu rendah dibandingkan dengan Pco2
arterimereka yang tinggi. Pada para pasien ini, dorongan terhadap
ventilasi terutama ditimbulkan oleh hipoksia, berbeda dengan orang normal,
dengan kadar Pco2 arteri yang merupakan faktor dominan yang mengatur
tingkat ventilasi. Ironisnya pemberian O2 kepada para pasien
tersebut untuk mengurangi hipoksia dapat secara mencolok menekan keinginan
mereka untuk bernapas karena terjadi peningkatan Po2 arteri yang
menghilangkan stimulus utama yang mendorong respirasi. Karena bahaya ini,
terapi O2 harus di berikan secara hati-hati pada pasien dengan
penyakit paru kronik.
8.3. Peran Peningkatan
Konsentrasi H+ Arteri dalam Mengatur Ventilasi
Perubahan
konsentrasi H+ arteri tidak dapat mempengaruhi kemoreseptor sentral
karena H+ tidak mudah menembus sawar darah otak. Namun, kemoreseptor
perifer badan aorta kan karotis sangat tanggap terhadap fluktuasi konsentrasi H+
arteri, berbeda dengan rendahnya kepekaan mereka terhadap penyimpangan Pco2
arteri serta ketidakpekaan mereka terhadap Po2 arteri sampai tekanan
parsial itu turun 40% di bawah normal.
Setiap
perubahan Pco2 arteri akan menimbulkan perubahan yang setara
konsentrasi H+ darah serta CES otak. Perubahan H+ di darah
arteri yang diinduksi oleh CO2 ini dideteksi oleh kemoreseptor
perifer, hasilnya adalah stimulus ventilasi secara refleks sebagai respons
terhadap peningkatan konsentrasi H+ arteri dan depresi ventilasi
yang berkaitan dengan penurunan konsentrasi H+ arteri. Walaupun
demikian, perubahan-perubahan ventilasi yang diperantarai oleh kemoreseptor
perifer ini kurang penting dibandingkan dengan mekanisme kemoreseptor sentral
yang jauh lebih kuat dalam menyesuaikan ventilasi sebagai respons terhadap
perubahan konsentrasi H+ yang ditimbulkan oleh CO2.
Kemoreseptor
perifer berperan besar pada penyesuaian ventilasi sebagai respons terhadap
perubahan konsentrasi H+ arteri yang tidak berkaitan dengan
fluktuasi Pco2. Pada berbagai keadaan walau Pco2 normal,
konsentrasi H+ berubah akibat penambahan atau pengurangan asam
non-karbonat dari tubuh. Sebagai contoh, konsentrasi H+ arteri
meningkat pada diabetes mellitus karena adanya asam-asam keto penghasil H+
yang di produksi secara abnormal dan ditambahkan ke darah. Peningkatan
konsentrasi H+ arteri secara refleks merangsang ventilasi melalui
kemoreseptor perifer. Sebaliknya, kemoreseptor perifer secara refleks menekan
aktifitas pernapasan sebagai respons terhadap penurunan konsentrasi H+
arteri yang ditimbulkan oleh kausa non-respirasi. Perubahan ventilasi oleh
mekanisme ini sangat penting untuk mengatur keseimbangan asam-basa tubuh.
Dengan mengubah-ubah tingkat ventilasi,
jumlah CO2 penghasil asam yang dieliminasi dapat diubah-ubah.
Penyesuaian jumlah H+ yang ditambahkan ke darah oleh CO2
dapat mengkompensasi perubahan konsentrasi H+ arteri yang
ditimbulkan oleh kausa non-respirasi yang pertama kali memicu respons
pernapasan tersebut gambar:
8.3.1
Gambar 8.3.1 Efek Peningkatan Ion
Hidrogen Non-Asam Karbonat
Sumber: Sherwood. 2001:
454
8.4.
Olahraga
Sangat Meningkatkan Ventilasi, tetapi Mekanisme yang Berperan Masih belum Jelas
Ventilasi
alveolus dapat meningkat sampai dua puluh kali lipat selama olahraga berat
untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan penyerapan O2 dan
pengeluaran CO2. Penyebab peningkatan ventilasi selama olahraga
masih bersifat spekulatif. Dapatlah diterima akal sehat bahwa perubahan “tiga
besar” faktor kimia – penurunan PO2, dan peningkatan H+ -
dapat menyebabkan peningkatan ventilasi tersebut. Namun, tampaknya hal ini
tidak sepenuhnya benar.
§ Walaupun
terjadi peningkatan mencolok pemakaian O2 selama olahraga, PO2
arteri tidak menurun tetapi tetap normal atau bahkan sedikit meningkat. Hal ini
disebabkan oleh karena peningkatan ventilasi alveolus mengimbangi atau bahkan
sedikit melebihi peningkatan kecepatan konsumsi O2.
§ Demikian
juga, walaupun terjadi peningkatan mencolok produksi CO2 selama
olahraga, PCO2 arteri tidak meningkat tetapi tetap normal atau
sedikit berkurang. Hal ini terjadi karena CO2 tambahan itu
dikeluarkan sama cepatnya atau bahkan lebih cepat daripada tingkat
pembentukannya akibat peningkatan ventilasi.
§ Selama
olahraga ringan atau sedang, konsentrasi H+ ditahan dalam kadar
konstan. Selama olahraga berat, konsentrasi H+ memang agak meningkat
karena pembebasan asam laktat penghasil H+ ke dalam darah akibat
metabolisme anaerob di otot. Walaupun demikian, peningkatan konsentrasi H+
yang terjadi akibat pembentukan asam laktat tidak cukup besar untuk menimbulkan
peningkatan ventilasi yang menyertai olahraga.
Beberapa
peneliti berpendapat bahwa menetapnya ketiga faktor regulatorik kimia di atas
selama olahraga merupakan bukti bahwa respons ventilasi terhadap olahraga
memang dikontrol oleh faktor-faktor tersebut–terutama oleh PCO2,
karena faktor tersebut merupakan pengontrol yang dominan selama bernapas
tenang. Sesuai dengan pemahaman ini, bagaimana lagi ventilasi alveolus dapat
ditingkatkan setara persis dengan produksi CO2 sehingga PCO2
konstan? Akan tetapi, pendapat ini tidak dapat menjelaskan pengamatan bahwa
selama olahraga berat ventilasi alveolus dapat meningkat relatif terhadap
peningkatan produksi CO2, sehingga sebenarnya terjadi penurunan
ringan PCO2. Demikian juga, ventilasi meningkat dengan cepat pada
permulaan olahraga (dalam beberapa detik), jauh sebelum perubahan gas darah
arteri menjadi cukup berpengaruh terhadap pusat pernapasan (yang memerlukan
waktu beberapa menit).
Tidak ada
diantara faktor-faktor atau kombinasi faktor tersebut yang benar-benar
memuaskan untuk menjelaskan efek olahraga pada ventilasi yang bersifat mendadak
dan kuat. Faktor-faktor tersebut juga tidak dapat secara menyeluruh menentukan
tingginya korelasi antara aktivitas pernapasan dan kebutuhan tubuh akan
pertukaran gas selama olahraga. (untuk pembahasan mengenai bagaimana pengukuran
konsumsi O2 selama olahraga dapat digunakan untuk menentukan
kapasitas kerja maksimum seseorang, lihat fitur penyerta dalam otak, Lebih
Dekat tentang Fisiologi Olahraga).
9.Penyakit Sistem
Pernapasan pada Manusia
Beberapa diantaranya penyakit
yang terdapat pada sistem pernfasan pada manusia. Makalah
yang ditulis ini ada beberapa diantaranya yaitu:
1.
Asma
Penyebab yang umum ialah hipersensitivitas bronkiolus
terhadap benda-benda asing diudara. Serangan asma ditandai dengan kontraksi
spastik dari otot polos bronkiolus (yang menyebabkan kesukaran bernafas).
2.
Faringitis
Merupakan peradangan pada tenggorokan (faring) yang
disebabkan oleh bakteri streptokokus
grup A. Virus juga dapat menyebabkan faringitis, seperti virus. Faringitis ini
dapat menular melalui percikan ludah dari orang yang menderita faringitis.
Faktor pendukung seperti adanya rangsangan oleh asap, uap, zat kimia, udara
yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi dan
konsumsi alcohol yang berlebihan.
3.
Influenza
Disebabkan oleh infeksi virus A, B, dan jarang virus
influenza C. Penyakit ini terutama berdampak pada tenggorokan dan paru-paru,
tetapi juga dapat mengakibatkan masalah jantung dan bagian lain tubuh, terutama
di kalangan penderita penyakit lain missal diabetes.
4.
Pneumonia
Merupakan penyakit saluran pernafasan bawah akut,
biasa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus. Kuman penyebab yang sering
adalah pneumonia bacterial berbentuk kokus, disebut pneumokokus. Penyakit
infeksi dalam menyebabkan membran beradang dan berlubang-lubang, sehingga
cairan serum/plasma sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk
ke dalam alveoli. Infeksi desebarkan oleh perpindahan bakteri dari satu
alveolus ke alveolus.
5.
Emfisema
Disebabkan oleh menurunnya elastisitas paru-paru
sehingga volume udara di dalam paru-paru berlebih. Penyebab emfisema jangka
panjang adalah merokok jangka lama.
6.
Kanker paru-paru
Merupakan tumor ganas paru khususnya pada epitel
bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal,
tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada
epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi
pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan perubahan
bentuk epitel dan menghilangnya silia.
7.
TBC
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik, yang dapat
bermanifestasi pada hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru
yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Tuberkulosis paru merupakan
penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil, anak dengan malnutrisi, dan
anak dengn gangguan imunologis.
8.
Batuk
Merupakan salah satu upaya pertahanan tubuh (dalam hal
ini saluran pernafasan) yang alamiah yaitu suatu reflex perlindungan yang
primitive untuk membuang sekresi trakeobronkial yang berlebihan ataupun benda
asing yang masuk ke saluran pernafasan. Rangsangan yang dapat menyebabkan batuk
antara lain: udara dingin, benda asing seperti debu, radang/edema mukosa
saluran nafas, tekanan terhadap saluran nafas misalnya oleh tumor, lender pada
saluran pernafasan dan kontraksi otot pada saluran nafas.
9.
ISPA (infeksi
saluran pernafasan atas)
Merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang salah
satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga bronkiolus
termasuk jaringan adneksnya seperti sinus/rongga hidung (sinus para nasal),
rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi saluran pernafasan disebabkan oleh
beberapa golongan kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya
lebih dari 300 macam. Menurut Depkes, klasifikasi dari ISPA secara terbagi tiga
bagian yaitu: ringan, sedang dan berat.
10.Mengatasi gangguan/ penyakit dari pernafasan
manusia
Beberapa cara mengatasi penyakit gangguan pernafasan manusia yang
dibahas di makalah ini yaitu sebagai berikut:
10.1. Influenza (flu), cara yang cukup
efektif untuk mencegah serangan flu. Yakni dengan vaksin influenza. Sayangnya,
kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan edukasi dari petugas medis
menyebabkan vaksin itu kurang dikenal secara luas oleh masyarakat.
10.2. Tuberkulosis
(TBC), Aroma mengkudu memang tak sedap sehingga banyak orang menjauhinya.
Bakteri Mycobacterium tuberculosis yang mematikan itu juga menghindar. Mungkin
bukan karena aroma itu, tetapi lantaran si noni menyimpan senjata andalan
bernama antrakuinon dan akubin. Kedua senyawa itu bersifat antibakteri sehingga
makhluk liliput penyebab penyakit tuberkulosis pun bertekuk lutut. Dalam
pengobatan, mengkudu Morinda citrifolia dipadukan dengan rimpang jahe Zingiber
officinalis. Duet buah dan rimpang itu tokcer mengatasi serangan bakteri yang
pertama kali ditemukan pada 24 Maret 1882 itu. Ampuhnya obat itu dibuktikan
secara klinis.
10.3. Emfisema,
Pencegahan dan solusi: Menghindari asap rokok adalah langkah terbaik untuk
mencegah penyakit ini. Berhenti merokok juga sangat penting. Emfisema,
Ekspectoran dan Mucolitik merupakan usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi
mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru.
Ekspectoran dan mucolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin dan karboksi
metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistein selain
bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran
aspas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidans .
10.4.
Pneumonia, Pencegahan dan solusi: Selalu memelihara kebersihan dan menjaga daya
tahan tubuh tetap kuat dapat mencegah agar bakteri tidak mampu menembus
pertahanan kesehatan tubuh. Biasakan untuk mencuci tangan, makan makanan
bergizi atau berolahraga secara teratur. Pengobatan: Apabila telah menderita
pneumonia, biasanya disembuhkan dengan meminum antibiotik. Pneumonia,
Pengobatan awal biasanya adalah antibiotik, yang cukup manjur mengatasi
penumonia oleh bakteri, mikoplasma dan beberapa kasus rickettsia. Biasanya
dokter yang menangani peneumonia akan memilihkan obat sesuai pertimbangan
masing-masing, setelah suhu pasien kembali normal, dokter akan menginstruksikan
pengobatan lanjutan untuk mencegah kekambuhan. Soalnya, serangan berikutnya
bisa lebih berat dibanding yang pertama. Selain antibiotika, pasien juga akan
mendapat pengobatan tambahan berupa pengaturan pola makan dan oksigen untuk
meningkatkan jumlah oksigen dalam darah. Pasien sebaiknya dijaga tidak banyak
bergerak. Pasien maupun para petugas kesehatan yang menangani dianjurkan untuk
selalu mencuci tangan dengan sabun untuk menghindari penyebaran.
10.5. Kanker
paru-paru, Pencegahan dan solusi: Menghindari rokok dan asap rokok juga banyak
mengkonsumsi makanan bergizi yang banyak mengandung antioksidan untuk mencegah
timbulnya sel kanker. Kanker paru-paru, Beberapa prosedur yang dapat memudahkan
diagnosa kanker paru antara lain adalah foto X-Ray, CT Scan Toraks, Biopsi
Jarum Halus, Bronkoskopi, dan USG Abdomen.Pengobatan kanker paru dapat
dilakukan dengan cara-cara seperti dengan membuang satu bagain dari paru –
kadang melebihi dari tempat ditemukannya tumor dan membuang semua kelenjar
getah bening yang terkena kanker.
11. Miskonsepsi
Miskonsepsi yang umum ditemukan di antara siswa dalam biologi adalah
bahwa respirasi dan pernapasan adalah proses yang sama. Namun, istilah
respirasi mengacu pada metabolisme sel dan pernapasan mengacu pada inhalasi dan
pengeluaran udara. Gagasan respirasi selular cukup sulit untuk dipahami bagi
siswa karena mereka tidak bisa melihat itu terjadi. Namun, istilah seperti
'sistem pernapasan' 'permukaan pernapasan', dan 'pusat pernapasan', di mana
'pernapasan' sebenarnya berarti 'bernapas', masih umum digunakan. Ini adalah
sumber utama kebingungan bagi siswa. Tidak hanya siswa, tetapi juga guru
'miskonsepsi pada berbagai proses fisiologis yang sebagian disebabkan
kecenderungan beberapa penulis untuk mendefinisikan istilah-istilah tersebut
hampir secara eksklusif dalam kaitannya dengan hewan terutama manusia (Driver,
1987).
5.1.Organ-organ penyusun pernafasan manusia yaitu: Hidung, Laring, Pharing,
Trachea, Bronchus, dan Paru-paru.
5.2. Pharing bukan termaksud organ-organ pernafasan
manusia melainkan sistem pencernaan makanan. Sehingga yang termaksud sistem
pernafasan manusia yaitu: Hidung, Laring, Trachea, Bronchus, dan Paru-paru.
Konsep: Pernafasan anaerob adalah
pernafasan yang tidak memerlukan oksigen
Definisi
tersebut kurang tepat, karena
pada hakikatnya tidak ada proses pernafasan (respirasi) yang tidak membutuhkan
oksigen. Ingat respirasi adalah rekasi oksidasi dan reduksi, jadi memerlukan
oksigen. Pada waktu yang bersamaan terdapat zat yang direduksi dan ada zat yang
dioksidasi. Pada reaksi oksidasi dan reduksi terjadi prosdes berikut
Tabel:
Perbedaan Oksidasi dan Reduksi (Black, 2009)
Oksidasi
|
Reduksi
|
Kehilangan electron
|
Penambahan elektron
|
Penambahan oksigen
|
Kehilangan oksigen
|
Kehilangan Hidrogen
|
Penambahan Hidrogen
|
Pembebasan Energi
|
Penyimpangan energy dalam bentuk senyawa tereduksi
|
Eksothermik, exergonik, member energy panas
|
Endothermik, endergonik, membutuhkan energy, misalnya panas
|
Jadi semua proses respirasi memerlukan oksigen,
hanya saja sumber energy oksigen yang digunakan berbeda. Oksigen bias berasal
dari udara bebas, oksigen yang terdapat di dalam molekul lain, atau oksigen
yang berasal dari molekul itu sendiri. Dari sini kita mengenal dua macam
istilah pernafasan yaitu antarmolekul dan intramolekul. Pernafasan antar
molekul terjadi bila oksigen berasal dari molekul lain. Sedangkan respirasi
intramolekul bila pksigen yang digunakan berasal dalam molekul itu sendiri.
Konsep:
Pernafasan aerob adalah pernafasan yang membutuhkan oksigen
Pernyataan ini tidak lengkap dan menyeluruh
(tidak komprehensif). Semua proses pernafasan adalah peristiwa oksidasi dan
reduksi. Oleh karena itu pasti memerlukan oksigen, hanya saja asal oksigen yang
diguanakan berbeda.
Saran
Perbaikan: Pernafasan aerob
adalah pernafasan yang menggunakan oksigen bebas.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Yang dapat disimpulkan dalam pembahasan
ini adalah:
1.
Pernafasan
merupakan upaya memasukkan dan mengeluarkan udara ke/dari dalam paru-paru,
selain itu juga melibatkan proses pertukaran gas yang meliputi pengambilan
oksigen dari lingkungan dan pembuangan karbon dioksida ke lingkungan.
Pertukaran gas ini terjadi antara udara dalam paru-paru dan darah, serta antara
darah dan sel-sel.
2.
Organ Pernafasan
Manusia: Hidung, Laring,Trachea,
Bronchus, dan Paru-paru.
3.
Sistem pernafasan
manusia ada dua yaitu:
a.Pernafasan Perut
b.Pernafasan Dada
4. Mekanisme
pernafasan manusia yaitu:
a.
Fase
inspirasi
b.
Fase Ekspirasi
5. Pertukaran Gas Meliputi:
Gas
Berpindah Mengikuti Penurunan Gradien Tekanan, Oksigen Masuk dan CO2 Keluar
dari Darah di Paru Secara Pasif Mengikuti Penurunan Gradien
Tekanan Parsial,
Pertukaran Gas Melintasi Kapiler Sistemik juga Mengikuti Penurunan Gradien Tekanan Parsial, Saluran Pernafasan, Terdapat Kontrol Lokal
yang Bekerja pada Otot Polos Saluran Pernafasan dan Arteriol, Sifat Elastik Paru, Surfaktan Paru
Menurunkan Tegangan Permukaan dan Berperan dalam StabilitasParu, Defisiensi Surfaktan Paru, Pernafasan
normal, Ventilasi Alveolus.
6. Transportasi Gas
Sebagian
besar O2 dalam darah diangkut oleh hemoglobin. Oksigen yang diserap
oleh darah harus diangkut ke jaringan agar dapat digunakan oleh sel-sel.
Sebaliknya CO2 yang diproduksi oleh sel-sel harus diangkut ke
paru-paru untuk dieliminasi.
7. Kontrol Pernapasan
Pusat
Pernapasan di Batang Otak Menentukan Pola Bernapas Ritmik Bernapas,
Pengatur Utama Besarnya Ventilasi, Peran
Peningkatan Konsentrasi H+ Arteri dalam Mengatur Ventilasi, Pengaruh olahraga dapat
meningkatkan ventilasi.
8. Penyakit Sistem
Pernapasan pada Manusia
Beberapa
diantaranya penyakit yang terdapat pada sistem pernfasan pada manusia. Makalah
yang ditulis ini ada beberapa diantaranya yaitu:
10. Asma
Penyebab yang umum ialah hipersensitivitas bronkiolus
terhadap benda-benda asing diudara. Serangan asma ditandai dengan kontraksi
spastik dari otot polos bronkiolus (yang menyebabkan kesukaran bernafas).
11. Faringitis
Merupakan peradangan pada tenggorokan (faring) yang
disebabkan oleh bakteri streptokokus
grup A. Virus juga dapat menyebabkan faringitis, seperti virus. Faringitis ini
dapat menular melalui percikan ludah dari orang yang menderita faringitis.
Faktor pendukung seperti adanya rangsangan oleh asap, uap, zat kimia, udara
yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi dan
konsumsi alcohol yang berlebihan.
12. Influenza
Disebabkan oleh infeksi virus A, B, dan jarang virus
influenza C. Penyakit ini terutama berdampak pada tenggorokan dan paru-paru,
tetapi juga dapat mengakibatkan masalah jantung dan bagian lain tubuh, terutama
di kalangan penderita penyakit lain missal diabetes.
13. Pneumonia
Merupakan penyakit saluran pernafasan bawah akut,
biasa disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus. Kuman penyebab yang sering
adalah pneumonia bacterial berbentuk kokus, disebut pneumokokus. Penyakit
infeksi dalam menyebabkan membran beradang dan berlubang-lubang, sehingga
cairan serum/plasma sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk
ke dalam alveoli. Infeksi desebarkan oleh perpindahan bakteri dari satu
alveolus ke alveolus.
14. Emfisema
Disebabkan oleh menurunnya elastisitas paru-paru
sehingga volume udara di dalam paru-paru berlebih. Penyebab emfisema jangka
panjang adalah merokok jangka lama.
15. Kanker paru-paru
Merupakan tumor ganas paru khususnya pada epitel
bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak normal,
tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses keganasan pada
epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker. Perubahan pertama yang terjadi
pada masa prakanker disebut metaplasia skuamosa yang ditandai dengan perubahan
bentuk epitel dan menghilangnya silia.
16. TBC
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik, yang dapat
bermanifestasi pada hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru
yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Tuberkulosis paru merupakan
penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil, anak dengan malnutrisi, dan
anak dengn gangguan imunologis.
17. Batuk
Merupakan salah satu upaya pertahanan tubuh (dalam hal
ini saluran pernafasan) yang alamiah yaitu suatu reflex perlindungan yang
primitive untuk membuang sekresi trakeobronkial yang berlebihan ataupun benda
asing yang masuk ke saluran pernafasan. Rangsangan yang dapat menyebabkan batuk
antara lain: udara dingin, benda asing seperti debu, radang/edema mukosa
saluran nafas, tekanan terhadap saluran nafas misalnya oleh tumor, lender pada
saluran pernafasan dan kontraksi otot pada saluran nafas.
18. ISPA (infeksi saluran pernafasan atas)
Merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang salah
satu bagian atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung hingga bronkiolus
termasuk jaringan adneksnya seperti sinus/rongga hidung (sinus para nasal),
rongga telinga tengah dan pleura. Infeksi saluran pernafasan disebabkan oleh
beberapa golongan kuman yaitu bakteri, virus, dan ricketsia yang jumlahnya
lebih dari 300 macam. Menurut Depkes, klasifikasi dari ISPA secara terbagi tiga
bagian yaitu: ringan, sedang dan berat.
9.Mengatasi gangguan/ penyakit dari pernafasan
manusia
Beberapa cara mengatasi penyakit gangguan pernafasan manusia yang
dibahas di makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Influenza (flu), cara
yang cukup efektif untuk mencegah serangan flu. Yakni dengan vaksin influenza
2. TBC, Dalam pengobatan, mengkudu Morinda citrifolia dipadukan dengan
rimpang jahe Zingiber officinalis. Duet buah dan rimpang itu tokcer mengatasi
serangan bakteri yang pertama kali ditemukan pada 24 Maret 1882 itu. Ampuhnya
obat itu dibuktikan secara klinis.
3. Emfisema, Pencegahan dan solusi: Menghindari asap rokok adalah
langkah terbaik untuk mencegah penyakit ini. Berhenti merokok juga sangat
penting. Emfisema, Ekspectoran dan Mucolitik merupakan usaha untuk mengeluarkan
dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema
paru.
4. Pneumonia, Pencegahan dan solusi: Selalu memelihara kebersihan dan
menjaga daya tahan tubuh tetap kuat dapat mencegah agar bakteri tidak mampu
menembus pertahanan kesehatan tubuh. Biasakan untuk mencuci tangan, makan
makanan bergizi atau berolahraga secara teratur. Pengobatan: Apabila telah
menderita pneumonia, biasanya disembuhkan dengan meminum antibiotik.
5. Kanker paru-paru, Pencegahan dan solusi: Menghindari rokok dan asap
rokok juga banyak mengkonsumsi makanan bergizi yang banyak mengandung
antioksidan untuk mencegah timbulnya sel kanker. Kanker paru-paru, Beberapa
prosedur yang dapat memudahkan diagnosa kanker paru antara lain adalah foto
X-Ray, CT Scan Toraks, Biopsi Jarum Halus, Bronkoskopi, dan USG Abdomen.
B. Saran
Dari uraian diatas da hal-hal yang perlu kita perhatikan dan perlu kita
jaga kesehatan kita terutama mengenai pernafasan. Ada beberapa saran yang
penyaji perlu sampaikan diantaranya:
1. Mari kita hindari merokok karena dari segi
agama hukumnya makruh dan juga ulama mengtakan hukumnya haram, ini menurut
pandangan islam serta dari segi kesehatan juga ada pengaruhnya seperti sesak
nafas, kanker, dan lain-lain.
2. Mari
kita sejak dini untuk menjaga kesehatan kita terutama pada anak-anak kita kita
supaya kita ingatkan untuk tidak merokok.
3. Mari
kita jaga lingkungan kita agar tetap terjaga kebersihan terutama dari
lingkungan kita dirumah, di lingkungan tempat tinggal kita agar terjaga
kesehatan dan lingkungan sehat dan saling untuk mengingatkan mengenai kesehatan
terutama mengenai dampak yang diakibatkan dari pernafasan dan kita untuk
engeathui cara mengatasi penyakit/gangguan dari sistem pernfasan. Terutama kita
konsultasi kepada dokter atau dinas kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Basoeki,
Soedjono. 1988. Anatomi dan Fisiologi
Manusia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Proyek pengembangan Lembaga dan pendidikan Tenaga
Kepenidikan.
Campbell,
Neil A. Jane B. Reece and Lawrence G.Mitchell. 2008. Biologi Edisi 8 Jilid 1. Diterjemahkan oleh Damaring Tyas
W.2010. Jakarta: Erlangga.
Kimball, John. W. 1983. Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Rosenberg, J.L. 1965. Photosynthesis: The Basic Process of
Food-making in Green Plants. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Schulz, E., M.M Caldwell. 1995. Ecophysiology of Photosynthesis. New
York : Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Sherwood,
Lauralee. 2001. Human Physiology: From Cells to Systems. Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC.
Sugiarti.
2000. Fisiologi Manusia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi.
Tim
Penyusun Karya Pembina. 2011. Anatomi Manusia, Bagaimana Tubuh Kita Bekerja.
Surabaya: PT Karya Pembina Surabaya.
11bet - vntopbet.com
BalasHapus11bet is one 바카라 사이트 of the top providers in the gambling and 샌즈카지노 entertainment industry. Their games include baccarat, roulette, keno and 11bet much more. They offer fast withdrawals,